29 Apr 2015

Sepasang Ayunan Di Kota Tetangga

Bermain itu pekerjaan anak kecil. Begitu kata orang-orang. Tapi, sepertinya itu tidak berlaku untuk kita. Lihat saja, akhir minggu kemarin kita pergi ke kota tetangga dan tidak menemukan sesuatu yang menarik disana. Akhirnya, kita justru berakhir di tempat bermain anak-anak, menghabiskan waktu bermain ayunan.

Kita sudah cukup jauh berkeliling waktu itu. Hari sudah sore dan kita tak sempat lagi pergi ke museum. Pertokoan bukan pilihan karena kita bukan tipe pembelanja. Berjalan dari pusat kota ke arah gereja, kita melewati tanah lapang yang cukup luas. Di ujungnya ada tempat bermain anak-anak, lengkap dengan jungkat-jungkit, panjat-panjatan dan ayunan.

Baru beberapa waktu yang lalu aku bilang aku ingin naik ayunan. Katamu di kota kita tidak ada ayunan untuk orang dewasa, tapi kau pernah lihat ada perosotan yang cukup besar dan sepertinya sangat menarik untuk dicoba. Kita belum sempat kesana.

Dari jauh kita melihat tiga pasang ayunan itu. Sebelah kanan dan kiri sudah terokupasi oleh remaja-remaja tanggung. Di ayunan sebelah kiri sepertinya remaja-remaja usia SMA, sementara di ayunan sebelah kanan ada gerombolan gadis-gadis usia SD tahun terakhir. Dua orang bermain ayunan, sementara yang lain duduk di tanah.

Kau menyuruhku berlari ke sepasang ayunan yang di tengah. “Sebelum keduluan orang lain,” katamu waktu itu.

Dan disanalah kita, bermain ayunan sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali melakukan hal yang sama. Ada cerita-cerita tentang masa kecil dulu yang sekarang jadi terdengar lucu.

Sambil bicara kau mengayun tinggi-tinggi sementara irama ayunanku begitu santai. Udara sudah mulai dingin, tapi kita masih saja bermain. Untung di musim semi seperti ini matahari baru tenggelam pukul delapan.

Lalu entah karena kau gemas melihatku yang terlalu memanjakan adrenalin, kau menawarkan diri mendorongku. Aku menolak. Aku tahu kau akan mendorongku sekuat tenaga dan aku sungguh-sungguh tidak suka. Tapi kau berkeras. Kau meloncat dari ayunanmu dan mulai mendorongku. Ayunanku naik lebih tinggi. Kau mendorongku lagi dan ayunanku semakin kencang. Dengan ribut aku memintamu berhenti.

Kau tertawa-tawa sambil mengejekku penakut. Tapi aku tidak peduli.

Kalau saat itu hari tidak berubah gelap, kita mungkin masih akan duduk di sepasang ayunan itu. Atau  kalau saat itu aku tidak mengeluh lapar, kita mungkin akan mencoba permainan lain. Tapi bahkan anak kecilpun tidak menghabiskan waktunya hanya dengan mainan.

Biarpun begitu, menurutku George Bernard Shaw pasti bangga pada kita, karena kita tahu pasti apa arti kalimatnya yang terkenal itu.


"We don't stop playing because we grow old;
we grow old because we stop playing."





P.s. Ketika bermain ayunan itu aku menanyaimu apakah kau membaca atau menonton The Fault in Our Stars. Kau bilang tidak. Seandainya iya, kau pasti tahu Hazel Green dan Augustus Waters juga suka bermain ayunan. Oh, bahkan di film versi terbaru, di taman rahasia, Pangeran juga mendorong Cinderella yang duduk di ayunan. Sepertinya George Bernard Shaw juga akan bangga pada mereka.



No comments:

Post a Comment