29 Apr 2015

Sepasang Ayunan Di Kota Tetangga

Bermain itu pekerjaan anak kecil. Begitu kata orang-orang. Tapi, sepertinya itu tidak berlaku untuk kita. Lihat saja, akhir minggu kemarin kita pergi ke kota tetangga dan tidak menemukan sesuatu yang menarik disana. Akhirnya, kita justru berakhir di tempat bermain anak-anak, menghabiskan waktu bermain ayunan.

Kita sudah cukup jauh berkeliling waktu itu. Hari sudah sore dan kita tak sempat lagi pergi ke museum. Pertokoan bukan pilihan karena kita bukan tipe pembelanja. Berjalan dari pusat kota ke arah gereja, kita melewati tanah lapang yang cukup luas. Di ujungnya ada tempat bermain anak-anak, lengkap dengan jungkat-jungkit, panjat-panjatan dan ayunan.

Baru beberapa waktu yang lalu aku bilang aku ingin naik ayunan. Katamu di kota kita tidak ada ayunan untuk orang dewasa, tapi kau pernah lihat ada perosotan yang cukup besar dan sepertinya sangat menarik untuk dicoba. Kita belum sempat kesana.

Dari jauh kita melihat tiga pasang ayunan itu. Sebelah kanan dan kiri sudah terokupasi oleh remaja-remaja tanggung. Di ayunan sebelah kiri sepertinya remaja-remaja usia SMA, sementara di ayunan sebelah kanan ada gerombolan gadis-gadis usia SD tahun terakhir. Dua orang bermain ayunan, sementara yang lain duduk di tanah.

Kau menyuruhku berlari ke sepasang ayunan yang di tengah. “Sebelum keduluan orang lain,” katamu waktu itu.

Dan disanalah kita, bermain ayunan sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali melakukan hal yang sama. Ada cerita-cerita tentang masa kecil dulu yang sekarang jadi terdengar lucu.

Sambil bicara kau mengayun tinggi-tinggi sementara irama ayunanku begitu santai. Udara sudah mulai dingin, tapi kita masih saja bermain. Untung di musim semi seperti ini matahari baru tenggelam pukul delapan.

Lalu entah karena kau gemas melihatku yang terlalu memanjakan adrenalin, kau menawarkan diri mendorongku. Aku menolak. Aku tahu kau akan mendorongku sekuat tenaga dan aku sungguh-sungguh tidak suka. Tapi kau berkeras. Kau meloncat dari ayunanmu dan mulai mendorongku. Ayunanku naik lebih tinggi. Kau mendorongku lagi dan ayunanku semakin kencang. Dengan ribut aku memintamu berhenti.

Kau tertawa-tawa sambil mengejekku penakut. Tapi aku tidak peduli.

Kalau saat itu hari tidak berubah gelap, kita mungkin masih akan duduk di sepasang ayunan itu. Atau  kalau saat itu aku tidak mengeluh lapar, kita mungkin akan mencoba permainan lain. Tapi bahkan anak kecilpun tidak menghabiskan waktunya hanya dengan mainan.

Biarpun begitu, menurutku George Bernard Shaw pasti bangga pada kita, karena kita tahu pasti apa arti kalimatnya yang terkenal itu.


"We don't stop playing because we grow old;
we grow old because we stop playing."





P.s. Ketika bermain ayunan itu aku menanyaimu apakah kau membaca atau menonton The Fault in Our Stars. Kau bilang tidak. Seandainya iya, kau pasti tahu Hazel Green dan Augustus Waters juga suka bermain ayunan. Oh, bahkan di film versi terbaru, di taman rahasia, Pangeran juga mendorong Cinderella yang duduk di ayunan. Sepertinya George Bernard Shaw juga akan bangga pada mereka.



20 Apr 2015

Ketika Waktu Berlari Mendekat

ketika waktu berlari mendekat
bersenang-senanglah
karena apa yang niscaya 
hanya bisa disambut
tanpa bisa luput

ketika waktu berlari mendekat
peluk dia selagi bisa
berjalanlah bersama
menarilah sebentar
lalu tertawa

meski mungkin ada kehilangan 
yang dikenalkan waktu
jabat saja tangannya
jadilah akrab
dan rindukanlah sesekali nanti



Leicester, April 2015




Terinspirasi dari pesan seorang sahabat, "Waktu berlari mendekatimu. Bersenang-senanglah!"

Cerita Tentang Gelas dan Piring yang Berbeda

Entah bagaimana awalnya sampai kita bisa bercakap tentang kau yang tidak bisa berbagi makanan atau minuman dari gelas dan piring yang sama dengan orang lain.

"Tapi kau bisa berbagi dengan keluargamu kan? Papa, Mama, adik-adikmu?" tanyaku waktu itu.

Kau menggeleng.

Sejenak aku mengalihkan perhatian dari jam yang kupakai untuk mengukur waktu merebus spaghetti. "Aku bisa paham kau tidak bisa berbagi dengan orang lain, tapi dengan keluarga, menurutku itu aneh..."

"Mungkin karena sudah terbiasa," katamu. "Dulu Mama selalu memakai piring yang berbeda walaupun dia menyuapi kami tiga bersaudara pada waktu yang sama. Ketika dewasa, kalau salah satu dari kami sedang makan, dan yang lain ingin makan makanan yang sama, maka kami akan lari ke dapur dan mengambil porsi kami sendiri."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Sambil menumis bawang putih dalam minyak zaitun aku membalas ceritamu, "Kalau begitu kita sangat berbeda. Di keluargaku, berbagi piring atau gelas justru adalah lambang kedekatan." Lalu aku mulai menjelaskan kalau dalam istilah Jawa ada yang namanya 'kembulan' alias makan bersama dari satu piring. "Dulu, Ibu sering sekali menyuruhku 'kembulan' dengan kakak-kakakku. Aku tidak ingat apakah kami akan berebut lauk, tapi sepertinya tidak. Usiaku dan kakak-kakakku terpaut jauh, jadi aku seringkali mendapat bagian lauk yang paling banyak bahkan tanpa meminta. Ibu juga sering membuat teh dalam gelas besar untuk dirinya sendiri dan Bapak. Segelas teh untuk berdua, bukankah itu romantis? Yah, tidak benar-benar berdua sebenarnya, karena bahkan sampai sedewasa ini, aku masih saja mencuri minum dari gelas teh mereka."

Aku berhenti sebentar untuk mengangkat spaghetti yang sudah mulai melunak. Tidak gampang merebus spaghetti sampai hasilnya al dente, sudah matang namun masih agak keras. 

"Lalu beberapa tahun lalu aku pernah berkencan dengan seorang pria," ujarku lagi. "Setiap kami makan di restoran, aku selalu memesan nasi goreng dan jus melon. Gara-gara itu, dia bilang aku susah keluar dari zona nyaman." Aku berhenti sejenak dan tersenyum. Kau menatapku tanda mendengarkan. "Suatu kali kami makan di tempat yang memiliki jus melon terenak yang pernah kuminum. Karena penasaran dengan kehebohanku, dia minta ijin mencoba jus melonku. Aku ingat sekali waktu itu dia minum dari sedotanku dan aku langsung menegurnya, 'Hei, itu sedotanku!' tapi dia dengan cuek mengatakan tidak apa-apa dan melanjutkan minum."

Bawang putih di dalam penggorengan sudah berwarna keemasan. Sambil terus bercerita, aku mulai memasukkan tuna dan jamur lalu mengaduknya. Setelah itu aku menambahkan spaghetti dan daun basil. "Yah, mungkin itu seperti sesuatu yang biasa. Tapi, entah kenapa waktu itu aku merasa spesial. Aku merasa dia tidak menganggapku orang lain. Aku merasa... dekat. Iya, dekat. Aneh ya, padahal hanya karena dia minum dari gelasku, memakai sedotanku..."

Kau mengerutkan dahimu. "Yang terjadi denganku justru kebalikannya," sahutmu. "Waktu aku SMA, ada seorang gadis yang jatuh cinta padaku. Suatu kali aku iseng memintanya membuatkanku nasi goreng dan dia benar-benar melakukan hal itu. Waktu sedang enak-enak makan, tiba-tiba dia merebut sendokku dan ikut memakan nasi goreng itu. Aku langsung kehilangan selera. Aku bingung sekali mencari cara bagaimana supaya aku tidak lagi memakan nasi goreng itu tanpa menyakiti hatinya."

"Hah? Lalu apa yang kau lakukan?"

Kau tertawa, "Aku memanggil teman-temanku dan menyuruh mereka menyicipi nasi goreng itu. Aku bilang itu nasi goreng terenak di dunia dan mereka harus mencobanya."

Aku menutup mulutku yang membuka karena kaget. "Hah? Kau tidak seharusnya melakukan itu. Gadis itu membuatkan nasi goreng itu untukmu..."

"Aku tahu!" serumu. "Tapi aku sungguh tidak bisa makan nasi goreng itu lagi. Salah sendiri dia merebut sendokku dan ikut makan." Aku menggeleng-gelengkan kepala membayangkan tingkahmu. "Memang sih, setelah itu dia marah padaku." lanjutmu sambil menunjukkan senyum usil. Aku masih menyesali perlakuanmu pada gadis itu dan kau masih membela diri sampai spaghetti aglio olio-ku matang. Akhirnya kita sibuk makan dari piring masing-masing. Seperti biasa kau makan tanpa banyak bicara.

*** 

Lucu sekali bagaimana mengetahui kebiasaan masing-masing memberi warna dalam interaksi kita. Kadang ketika kau makan, kau akan berlagak menawari aku makanan dari piringmu, tapi aku tahu kau tidak sungguh-sungguh. Pernah ketika kita memesan minum di kafe, kau akan mengambil pesananku dan pura-pura akan meminumnya. Tapi aku merebut gelasku sambil berkata, "Tidak, aku harus lebih dulu minum, baru setelah itu kau." Setelah itu kau tidak lagi mencoba hal yang sama, minum dari gelasku.

Di lain waktu, kadang kalau aku sedang iseng, aku akan membujukmu agar membiarkan aku mengambil makanan dari piringmu. Kau lebih banyak menolak, tapi pernah kau membiarkan aku ikut makan sereal dari mangkukmu. Setelah sukses dengan sendok pertama, aku masih membujukmu agar aku boleh mendapat sendok kedua. Aku ingat bagaimana kau membiarkanku walaupun sambil menggerutu.

Dan aku tertawa-tawa karena merasa menang.

Memang ada perbedaan-perbedaan yang dengannya kita harus membuat penyesuaian. Tapi bahkan tanpa penyesuaianpun bisa, sepanjang kita mengijinkan orang lain menjadi berbeda. Seperti puisi yang pernah kubuat,

Betapa berbedanya kita
Betapa menariknya perjalanan



17 Apr 2015

Seperti Nic & Mar

Saat itu kita baru saja turun di tepian utara Sungai Thames. Tujuan kita selanjutnya adalah London Bridge. Sore itu mendung dan berangin. Syalku berkali-kali berkibar diterbangkan angin dan membuatku kerepotan. Baru beberapa langkah, tiba-tiba kau berkata perjalanan kita menjelajah London seperti ini serupa perjalanan Nic & Mar di Paris.

Aku memandangmu keheranan. Selama ini kau tak pernah menunjukkan tanda-tanda mengikuti mini drama itu.

"Habis kalian semua menghebohkan Nic & Mar," kau menjelaskan sambil lalu. "Aku kan jadi penasaran."

Aku tersenyum simpul. Kau memang paling tidak bisa menghadapi rasa penasaran.

"Tapi memang bagus kan dramanya?" tanyaku kemudian. Aku suka sekali mini drama yang sebenarnya adalah strategi promosi sebuah perusahaan layanan sosial percakapan itu. Nic & Mar adalah mantan kekasih, mereka bertemu lagi di Paris setelah sekian tahun dan melakukan perjalanan bersama. Banyak hal-hal kecil yang membuat mereka memikirkan kembali pilihan-pilihan yang dulu pernah mereka ambil.

"Mmm, menurutku Nicholas Saputra tidak seganteng dulu," sahutmu.

Aku menggelengkan kepala tanda tak setuju. "Bagiku dia tetap super ganteng. NicSap itu menurutku berkelas. Kau tahu bagaimana dia mendeskripsikan dirinya di akun twitter?

Kali ini giliranmu yang menggelengkan kepala.

"Full time traveler, part time actor, architect graduate," aku menjelaskan. "Dia adalah pria yang hidup dengan passion, pekerjaan yang menjanjikan dan latar belakang pendidikan yang baik."

"Well, kalau begitu kau harus mengubah profil twittermu seperti dia," balasmu. "Full time traveler, part time student. Karena kau tidak pernah belajar, jalan-jalan saja kerjamu."

Aku terbahak. Tidak pernah sekalipun aku memikirkan hal itu. Mungkin karena kesannya seperti meniru, walaupun itu berarti meniru orang sekeren Nicholas Saputra. Tapi melihat profil orang lain, lalu mengubah profil kita seperti orang itu sungguh tidak keren.

***

Aku tidak ingat berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk sampai ke London Bridge. Yang aku ingat, di tepian itu ada grup pengamen memainkan Nothing's Gonna Change My Love For You. Aku menyuruhmu menebak judul lagu itu dan kau sama sekali tidak ingat. Tapi begitu aku memberitahumu, kau menyanyikan potongan lagu itu di sisa perjalanan kita. Kita juga menemui sekelompok pembuat film yang menenteng-nenteng kamera dan properti lain. Dengan bercanda kau bilang mereka sedang syuting Nic & Mar.

"Bagian yang paling aku suka dari drama itu adalah ketika Nic bilang Mar adalah one of the best traveling partner he ever had," kataku ketika pembicaraan kita kembali kepada Nic & Mar. "Karena tidak semua orang cocok melakukan perjalanan bersama. Mark Twain dulu pernah bilang begini, 'I have found out that there ain't no surer way to find out whether you like people or hate them than to travel with them.'"

"Aku setuju," kau mengganguk. "Kadang kepribadian orang yang sebenarnya baru bisa diketahui setelah menempuh suatu perjalanan panjang bersama-sama."

Lalu aku bercerita tentang salah satu film perjalanan kesukaanku, Before Sunrise, yang kemudian diikuti oleh Before Sunset dan Before Midnight. Film ini mirip seperti Nic & Mar, tentang sepasang anak muda yang melakukan perjalanan keliling kota. Tapi kali ini, settingnya adalah Wina. Selesai mendengar ceritaku, kau menilai Before Sunrise itu tidak masuk akal. Menurutmu berbahaya sekali mengikuti seorang asing di tempat yang asing. Selain itu rasanya tidak mungkin dua orang asing bisa menemukan koneksi karena percakapan yang berlangsung hanya seperjalanan kereta.

Kau bilang kau tidak bisa semudah itu bercakap-cakap dengan orang asing.

***

Sampai di London Bridge tidak banyak yang kita lakukan. Sepertinya kita justru lebih sibuk mengomentari kerangkanya yang dicat biru. Menurut kita, cat warna biru itu tidak selaras dengan nuansa klasik kedua menaranya. Cokelat mungkin akan menghasilkan kesan yang lebih baik.

Lalu malam pun hampir menjelang. Kita memutuskan rehat sejenak di Starbucks. Kau masih saja merasa cukup dengan sebotol air mineral, sementara aku tidak bisa berpindah dari secangkir teh. Dulu kau pernah bilang membuatku bahagia itu mudah, ajak saja aku minum teh di kedai yang cantik atau bawa aku ke toko buku. Untukku bahagia itu memang sesederhana daun-daun teh yang diseduh air panas.

Sore itu, seperti biasa, camomile tea menjadi pilihanku. Kedai kopi mainstream sperti ini tidak punya teh dandelion seperti yang kita temui di Newcastle dulu. Membawa minuman masing-masing, kita duduk di bangku dekat jendela. Dari sana London Bridge terlihat begitu dekat. Aku mengangkat gelasku, menghirup aroma rerumputan yang menenangkan dan berlagak menirukan Mar, "Hey, kau tahu, minum teh itu sebaiknya dengan mata tertutup." Lalu aku menutup mataku.

"Lalu waktu buka mata, aku yang kau lihat..." katamu.

Aku tertawa dan membuka mataku. Dalam mini drama itu Nic menanggapi Mar, yang minum teh sambil menutup mata, dengan mengutip perkataan Andy Warholl, "People should fall in love with their eyes close." Tapi mungkin Mar benar, minum teh dengan mata tertutup saat kita sedih bisa membuat keadaan terasa lebih baik. Teh benar-benar membuat kita merasa lebih bahagia. Untungnya kau tak pernah menolak setiap aku memasukkan agenda minum teh dalam perjalanan kita.

***

Aku tidak tahu apakah kita yang berjalan di London benar-benar seperti Nic & Mar yang berjalan-jalan di Paris. Karena London bukan Paris. Dan kita bukan mereka. Lagipula aku tidak ingat Nic membawakan tas Mar seperti kau membawakan tasku kemarin. Aku juga tidak pernah meminjamimu sarung tangan seperti yang dilakukan Mar untuk Nic.

Tapi, suatu hari nanti, kita akan mewujudkan rencana kita mengunjungi Paris. Aku akan menunjukkan Paris kepadamu. Beberapa tahun yang lalu aku jatuh cinta pada kota itu. Disana aku pertama kali melihat daun-daun kuning kecokelatan di sepanjang jalan dari Charles de Gaulle menuju ke kota. Disana aku juga merasakan butir-butir salju pertama yang turun di atas kepalaku. Disana aku jatuh cinta pada aroma roti di pagi hari, rintik hujan yang lembut khas benua biru dan kelopak-kelopak bunga di jendela.

Mungkin di Paris aku tidak akan menyiapkan bekal makan siang untuk kita seperti yang kulakukan di London. Tapi aku jamin crepe yang dijual di Trocadero tidak akan kalah dengan crepe yang kita makan di Camden Lock Market waktu itu. Di Paris nanti, ganti aku yang akan mentraktirmu makan crepe dan kita bisa duduk menghabiskannya sambil melihat Eiffel yang semakin menua.

Aku yakin kau akan jatuh cinta pada Paris, karena  di tiap sudutnya, Paris berselimutkan sejarah. Aku memang tidak akan menemanimu menjelajah Musee du Louvre, karena aku pernah mengunjungi museum itu dan aku masih ingin melihat lukisan Monet di Musee D'Orsay. Tapi setelah itu, aku akan memenuhi janjiku membawamu ke Montmartre. Tentang Montmartre, sama seperti Mar, aku juga berpikir kawasan itu adalah yang terindah di seluruh Paris. Disana kita akan mencari kebun anggur yang tersembunyi di lembah. Lalu dari pelataran Sacré Coeur, kita bisa berdiri memandang senja yang perlahan menutupi kota.

Saat itu tidak penting lagi apakah kita benar seperti Nic & Mar.

16 Apr 2015

Mimpi yang Berubah Sempurna

Percayakah kamu bahwa Tuhan benar-benar memeluk semua mimpimu? Aku percaya. Karena Tuhan sungguh memeluk mimpi-mimpiku. Misalnya ketika aku menemukan status ini di aplikasi timehop. Aku menuliskannya tepat dua tahun yang lalu, dan membacanya lagi membuatku menyadari betapa hidup ini sungguh ajaib.




Siapa yang mengira dua tahun kemudian aku akan berdiri di sebuah kota kecil di pedesaan tepi laut itu, merasakan angin dan matahari di rambutku. Aku melihat warna biru yang luas, biru lembut yang bersinar dengan warna putih yang terkadang menyilaukan. Ada mercu suar menjulang dan di kejauhan karang-karang terhampar. 

Tempat itu sempurna. Sehingga meskipun aku tak melihat bagaimana senja melewati pantai dan memeluk bukit-bukitnya, aku tahu tempat ini adalah jawaban dari mimpiku waktu itu.

Nanti aku akan kembali. Melihat senja turun di desa itu dan malam menghias pantainya dengan kerlip cahaya. Lalu aku tahu mimpiku berubah sempurna.




Whitby, North Yorkshire, dilukis oleh John Freeman, seniman setempat.
Gambar diperoleh dari sini



Tentang Mengamati dan Merasa Bahagia


Kita berulang kali menyerukan kekaguman pada tempat ini. Whitby, kota tepi laut di utara Yorkshire menjadi penutup yang sempurna untuk perjalanan kita. Bau laut mengingatkan kita pada makan pagi menyenangkan di tempat seorang teman di London. Seorang mahasiswa asing membuatkan kita tiram panggang dengan mentega dan bawang. Aku ingat waktu itu kau memintaku membuat masakan yang sama lain kali. 

Pantai. Langit biru. Matahari. Bukit. Rerumputan. Reruntuhan.

Kita berjalan di antara orang-orang. Aku sibuk menggoda anjing-anjing yang lalu lalang sementara kau memandang ke laut lepas. Aku tahu kau memperhatikan burung-burung itu. Dan ombak. Dan kapal-kapal yang lewat.

Tidak semua orang bisa mengamati hal-hal sederhana dan menjadi bahagia. 

Kadang semua orang sibuk melakukan apa yang dilakukan orang lain. Kadang orang-orang terlalu sibuk mengejar ini itu, hingga lupa memperhatikan bahwa dunia tidak berputar di sekeliling mereka. Seperti satu keluarga Amerika Latin yang kita temui di Abbey Road waktu itu. Seandainya mereka tidak terlalu heboh berpose, mereka akan tahu para pengendara merasa sebal menunggu mereka menyeberang. Setidaknya lima kali mereka menyeberang jalan legendaris itu dengan lambat, mengambil foto dalam berbagai pose dan bicara dengan berisik dan berebutan. Sementara kita hanya duduk di tepi jalan, mengamati mereka dengan mata terbelalak, menangkap suara klakson entah dari mobil yang mana. 

Mengamati mereka, kita tertawa geli bercampur heran tapi juga bangga. Sudah jelas bangsa kita bukan bangsa paling norak sedunia.

Di kesempatan yang lain kita berlama-lama mengamati binatang di Kebun Binatang London. Aku tidak akan lupa betapa kau bertahan melihat seekor ular memakan anak-anak tikus itu, satu demi satu. Sementara aku yang melihat dia melahap anak tikus pertama, langsung bergidik dan buru-buru menghampirimu yang sedang mengamati binatang sejenis kadal. Aku bercerita tentang anak-anak tikus yang malang tadi, tapi kau justru tertarik dan berpindah melihat ular itu, memperhatikan berapa anak tikus yang dia makan. Kau masih saja membujukku melihat pertunjukan mengerikan itu, tapi aku menolak mentah-mentah. Akhirnya ular itu selesai makan dan kau baru beranjak dari sana. Katamu, dia memakan lima ekor anak tikus dan sekarang bergelung kekenyangan. 

Mengamati adalah tentang melepaskan kendali. 

Mengamati adalah tentang membiarkan waktu membuka pelajaran-pelajaran baru.

Mengamati adalah tentang mengharapkan kemungkinan yang serupa kejutan.

Seperti reaksi kita ketika melihat monyet berbulu merah tiba-tiba mengambil bayi monyet dari punggung monyet abu-abu. Lalu seketika kita menyadari, bayi monyet itu memang sebenarnya anak monyet berbulu merah. Selama ini kita mengamati monyet abu-abu menggendongnya dan berpikir dia sedang menjalankan fungsi orang tua dengan sempurna. Tapi ternyata mengamati sedikit lebih lama membawa kita kepada fakta yang berbeda.

Dan sepanjang perjalanan kita mengamati, kita menemukan satu kupu-kupu bersayap transparan diantara puluhan kupu-kupu koleksi Rumah Kupu-Kupu di Kebun Bintang London. Kita juga cukup dikagetkan oleh tupai-tupai di St. James Park yang ternyata sangat agresif, padahal awalnya kita hanya mau melihat rumpun bunga daffodil. Memilih berkeliling dengan bis supaya lebih leluasa mengamati juga membawa kita menemukan bis tingkat merah berbentuk lucu yang membuatmu ingin menjitaknya.

Sayang di Whitby kita tidak punya banyak waktu. Kadang ketika melewati persimpangan, kita akan saling bertukar pandang. Kita masih ingin menjelajah, tapi kita tahu kali ini kita harus bergegas.

"Musim panas nanti kita kesini lagi," kau berseru dengan semangat. "Kita akan bermalam, lalu bangun saat hari masih pagi dan keluar melihat matahari. Lalu kita akan berkeliling menjelajah gang-gang kecil. Kita bisa bermain di pantai, lalu lari ke atas bukit, duduk di rerumputan sambil selonjoran dan makan es krim."

Aku tidak bisa tidak tertawa mendengar rencanamu. Musim panas nanti betapa banyaknya hal yang bisa kita amati. Mungkin kumpulan kuda di padang rumput itu. Mungkin juga deretan pria yang memancing di dermaga. Atau mungkin sekedar awan-awan yang berbentuk lucu. 

Betapa bahagia itu sederhana. Kita hanya perlu sedikit menarik diri, merasa puas dengan mengamati.


14 Apr 2015

Kita dan Percakapan Entah Apa

British Museum sepertinya terlalu kaya dan kita terlalu ambisius. Berkeliling dari satu ruang ke ruang yang lain, membaca setiap informasi tentang setiap objek yang ada, sungguh melelahkan. Kita memang haus akan sejarah, tapi mencerna semuanya bersamaan rasanya seperti memakan kue dengan krim yang manisnya berlebihan.

Hingga akhirnya kita berdiri di depan tiruan kuil Yunani. Entah kuil apa. Mungkin Parthenon. Mungkin juga bukan. Kita terlalu lelah untuk mencari tahu.

Lalu aku menanyakan pertanyaan ini, "Menurutmu Perang Troya itu konyol tidak?"

Kau menjawab dengan pertanyaan juga, "Konyol karena penyebabnya adalah wanita maksudmu?" Rupanya kau sudah bisa menebak jalan pikiranku.

Aku mengangguk. "Iya, maksudku, memperebutkan wanita sampai mengorbankan beratus-ratus, atau mungkin beribu-ribu orang. Aku tidak bisa menganggap itu masuk akal."

Kau tidak mengatakan apapun. Tapi kini kau memalingkan kepalamu, memandangku.

Aku mengedikkan bahu, "Mungkin banyak orang akan menganggap Perang Troya itu romantis. Kau tahu, perang demi cinta, mereka bilang. Tapi aku hanya ingin sedikit lebih logis. Cinta macam apa yang membuat banyak keluarga kehilangan orang-orang yang mereka sayangi karena perang."

"Menurutku justru Perang Troya itu adalah perang yang logis," katamu.

Aku mengerutkan kening. Menyimak.

"Aku tidak akan bilang penyebabnya 'hanya' sekedar perkara memperebutkan perempuan, karena perempuan yang diperebutkan itu adalah istri raja. Dia seorang ratu, wanita yang akan melahirkan calon raja. Di tangan perempuan itu ada masa depan kerajaan."

"Tapi kalau untuk alasan itu, bukankah Menelaus bisa mencari perempuan lain untuk mencari ratu? Yang penting masa depan kerajaan selamat kan?"

"Tapi kenyataannya tidak semua orang pantas menjadi ratu. Menelaus pasti ingin wanita istimewa menjadi ratu Sparta."

Aku menghembuskan nafas panjang. "Kalau begitu apa istimewanya Helen?"

"Konon dia wanita paling cantik," katamu.

"Itu saja?" sahutku. "Hanya karena dia wanita paling cantik sedunia bukan berarti wanita paling istimewa kan? Kenapa kecantikan selalu jadi tolak ukur untuk kalian, para lelaki?"

"Dia keturunan dewa," katamu memotong ucapanku. "Anak Zeus dan Leda. Menelaus mendapatkannya lewat kompetisi yang tidak mudah. Helen adalah kebanggaannya sebagai seorang pria."

Aku manggut-manggut. "Pertama, aku curiga Menelaus berperang bukan karena mempertahankan Helen, tapi menjaga kebanggaannya. Karena, Pride, bagi kalian para pria, adalah segalanya. Iya kan? Kedua, Helen punya pilihan untuk tetap berada di Sparta dan mencegah perang terjadi. Tapi dia memilih Paris dan kabur ke Troy. Dia tidak setia. Dia egois. Apa yang membanggakan dari dia?"

"Pendapatmu masuk akal. Mungkin perang itu memang perang harga diri. Tapi kenapa kau sepertinya sangat antipati pada Helen? Padahal kalian sesama wanita." katamu sambil tertawa. "Menurutku kalau kau ada di posisi Helen, kau akan melakukan hal yang sama."

Aku mengerutkan kening.

Kau memandangku dari sudut matamu. "Iya kan?"

"Melakukan apa?" tanyaku tak sabar.

"Memilih apa yang dipilih hatimu, apapun resikonya."


***


Di hari yang sama kita duduk di depan istana Buckingham. Sore sudah turun,  matahari masih bersinar cerah. Gedung tinggi dengan pagar menjulang ada di depan kita, tapi menurutmu Buckingham terlalu sederhana untuk menjadi istana. Aku sedikit menceritakan tentang Versailles dengan ruangan-ruangan dan tamannya yang mempesona. Lalu kau mulai membayangkan bagaimana rasanya hidup menjadi seorang pangeran.

"Pasti menyenangkan," katamu.

"Tidak," aku membantah. "Rasanya pasti seperti di sangkar emas. Kau mendapat apa saja, kecuali yang benar-benar kau inginkan."

"Memangnya apa yang masih kau inginkan kalau semuanya sudah dan bisa kau dapat?"

"Banyak," kataku. "Mungkin hal-hal sederhana, duduk-duduk di depan Buckingham atau jalan-jalan di tepi Sungai Thames, seperti kita." Aku merapikan rambutku yang ditiup angin. Musim semi rupanya sangat bersemangat membawa serbuk-serbuk sari dari Green Park sampai ke pelataran Buckingham. "Atau, bayangkan saja, misalnya aku jadi putri, lalu Real Madrid main disini dan aku ingin nonton ... Tapi, oh no, tidak semudah itu, jadwalku begitu padat. Kalaupun bisa, maka tempatku adalah di tribun VIP dan aku tidak bisa sembarangan berteriak karena kamera papparazi tidak kenal ampun."

Kau tertawa. "Aku tetap tidak merasa semua itu sebanding dengan semua yang kau dapat dari istana. Tapi aku setuju tentang paparazzi, they can kill you..."

"Seperti Diana..." bisikku.

"Iya. Walaupun banyak juga yang bilang Diana meninggal karena konspirasi Buckingham."

"Nah!" seruku tiba-tiba. "Diana, adalah bukti bahwa hidup di istana tidak menjamin kita bahagia." sahutku dengan nada penuh kemenangan. "Aku tahu dia pasti merindukan hidupnya yang biasa dan sederhana sebelum dia menjadi istri pangeran."

Kau hanya tersenyum mendengarkan kata-kataku. Lalu percakapan kita seperti terhenti disana. Mungkin karena topik kematian Diana yang tiba-tiba muncul, atau karena kita tahu selama apapun kita berdiskusi, gerbang Buckingham tidak akan pernah terbuka untuk membiarkan kita masuk dan mencoba menjadi pangeran atau putri meski untuk sehari.

Kita masih duduk di tepi kolam dekat Victoria Memorial itu untuk beberapa waktu, dan angin masih bertiup dari Green Park ke pelataran Buckingham. Lalu kau tiba-tiba bicara tentang betapa asyiknya jika kita bisa bertingkah seperti Mr. Bean: menggoda penjaga istana Buckingham yang berseragam merah hitam dan bertopi lucu itu. Kita berkutat dengan ide gila itu, tertawa sampai gerimis turun.

***


Kadang saat aku mengingat lagi perjalanan kita, yang paling aku ingat adalah percakapan-percakapan, meskipun kadang begitu acak, tidak jelas dari mana dan mau kemana, kadang terhenti begitu saja. Percakapan tentang mumi tiba-tiba berubah menjadi perbedaan model janggut di Mesir, Babilonia dan Asiria kuno. Lalu pujianku tentang keindahan Centaurus justru menjadi bumerang karena tiba-tiba kau melempar teori tentang centaurus yang memiliki dua organ vital, satu di posisi manusia, satu di posisi kuda. Gara-gara ini, aku mengomel panjang lebar tentang betapa teorimu itu sembarangan dan sangat tidak pantas. Kadang kau juga berlagak menerangkan sesuatu, sementara aku akan mencurigaimu hanya membodohiku. Tapi kita masih saja saling memberi komentar, berdebat, bertanya dan tertawa.

Mungkin memang percakapan-percakapan entah apa itu yang membuat kita bisa duduk atau berjalan, di sudut-sudut London yang riuh, sekian lama, hingga tiba-tiba kehilangan arah waktu.





10 Apr 2015

mencintaimu

mencintaimu
tak kuhitung waktu

tak ada daun yang harus gugur
tak ada pucuk yang perlu tumbuh

yang ada
tahun-tahun dengan cerita
yang ditulis sendirian

karena mencintaimu
tak kuhitung jarak

tak ada bintang yang harus jatuh
tak ada angin yang mesti lalu

yang ada
depa-depa dengan jejak
yang ditempuh rindu



rue de cortambert, desember 2010

metro pagi ini

di metro pagi ini
di gerbong terakhir

ada gelandangan
topinya hijau jaketnya tembaga
kulitnya gelap

baunya merupa-ruap

kereta penuh sesak
tapi dua bangku di depannya
hanya kosong tergeletak

ternyata kemiskinan
memang tak berteman



rue de cortambert, desember 2010

merenungkanmu

merenungkanmu
membawa
detik-detik lumpuh
memaksa malam
larut
dalam keabadian



rue de cortambert, desember 2010

paris

paris dibangun oleh
sejarah

yang samar oleh rangkaian bunga
balada dan potongan kisah

dibungkus oleh temaram
bayangnya berpendar



rue de cortambert, desember 2010

priska dan ayah

priska, gadis kecil ayah
ayah yang menanam pohon mengkudu di
halaman, bersebelahan dengan bunga-bunga ibu

priska, doa kecil ayah
ayah yang tak lelah menopang priska
dan orang-orang lain di bawah salib

priska, senyum kecil ayah
ayah yang senyumnya tak selalu
dimengerti, membuatnya seakan berjuang sendiri

prika, mimpi kecil ayah
ayah yang sekarang tumpukan buku-bukunya
terbaca kenangan tentang cinta paling istimewa

priska, putri kecil ayah
ayah yang sudah pulang ke kerajaan
mengenakan jubah putih dan mahkota



rue de cortambert, desember 2010

darimu

darimu
aku belajar diam
saat kehidupan tak mudah digenggam
dan waktu kadang perlu dibiarkan  hanya berlalu

darimu
aku belajar diam
saat dunia tak lagi akrab
dan orang-orang seakan tinggal jadi kerumunan

darimu
aku belajar diam
saat mimpi terpaksa jadi elegi
dan kisah-kisah tak lagi punya referensi

dari diammu
aku belajar
kamu
dan misteri waktu



rue de cortambert, 2010

kualamatkan padamu

rindu adalah niscaya
tentang jalan kita
yang tak bisa dipilin
dalam jumpa

hanya cerita

satu-satu
seperti robekan penanggalan
bersrerakan di lantai ruang depan

tapi penanggalan yang kurobek
tak sanggup merobek hari
memaksanya mempercepat laju mentari

satu-satu
bertagar ragu
kualamatkan rindu
padamu


rue de cortambert, januari 2011

paris awal januari

paris berwarna abu
reranting pepohonan berderak
menantang angin yang semakin tua

ada gelak yang semakin kering
juga sisa-sisa cerita di depan perapian
tentang tumpukan syal yang belum dibereskan

paris berwarna abu
musim dingin belum lalu



rue de cortambert, januari 2011

selamat pagi, sunyi

apa yang pernah kita bagi
selain waktu?

dilukis dalam tapak sepi
sedikit berlari
menghindar bicara
mimpi

terluka
tanpa saling melukai

sepertinya kau sungguh menikmati
hujan
yang tak juga berhenti

selamat pagi, sunyi
apakah nanti
kita pulang bersama
lagi?



jakarta, oktober 2009

rembulan

ada hasan aspahani
di kompas edisi minggu
pagi ini

dan ada ingatan
tentang rembulan

yang menggandeng gadis kecilnya
yang bermata bulat
yang melangkah gugup
yang menahan air mata

mengejar aspahani
hingga bertemu peri
yang mengejar sapardi

bertiga,
mereka terjebak
dalam dunia sepi



jakarta, juni 2010

perjalanan

betapa berbedanya
kita
betapa menariknya
perjalanan


den haag, maret 2011

tentang sebuah kota

biarkan ku lari pada kata
ketika kota ini tak jauh dari sekedar detik
yang numpang lewat
dan berlalu tergesa

hingga tak pernah lagi ada cakap bersama
segelas teh hangat di sore-sore
dalam gurauan tanpa kesibukan

hingga riak sungai, desir angin,
dan derai hujan berubah kelu

berdua dengan kata,
tergagap kutemukan mereka
tersedu di sudut puisiku


jakarta, juli 2011

Intermezzo

lalu tentangmu
nekat kupaksa pikiranku
tak lagi menyusun keping waktu

sudah kuhapus semua pesan pendekmu
dan untung aku tak pernah punya fotomu

memang
satu atau dua pertemuan
tak cukup bijak diterjemahkan



Magelang, Mei 2008

Di Jalan Yang Sama

sengaja kuhamburkan kata
kusampirkan di dahan
kubiarkan jatuh hingga pinggir selokan
bersama sesal yang kutinggalkan
sepanjang jejak sepanjang jalan
pada matamu yang tak kunjung terbuka
pada sunyi
: pertanda makna para hawa
pudar nelangsa digerus detik-detik duga



Magelang, April 2008

Ingatan, Jalan dan Pepohonan

teringat sebuah jalan dengan pepohonan
di kedua sisi
kata-kata beterbangan
di tepi
kita melaju
berlagak tenang diburu waktu
dan pertanyaan-pertanyaan
bias dan ambigu

andai aku bisa lihat wajahmu
berhadapan bertukar harapan
mungkin rela tak sulit diberi makna
saat di penghabisan tersisa rindu semata



Semarang, Februari 2008

Sepertinya Mungkin

lihat bulan sedang tak bersahabat
dengan awan
bahkan gerimis membebat malam
dan angin tercekat muram

mungkin kesempatan yang kau janjikan
masih sibuk berkonspirasi
dengan waktu
yang tak pernah mengalah meski ku resah

bukankah aku pernah bilang
jalan ke rumahku tak serumit petang
rintasan di reranting lalang
jalur senyap saat matahari pulang

memang sepertinya masih nanti
bila hujan sudah berhenti



Semarang, Januri 2008

Kita Belum ke Keraton

jalanan di kotamu tidak beda dengan kotaku
tua dan rapuh
aku pernah merenunginya

semua pertokoan dan bangunan
sunyi dan angkuh
aku pernah merasakannya

tapi katamu
datang lagi lain kali
karena asing tak pernah bertepi
termasuk kota ini

dan aku dan kamu
dan hari-hari dan tempat-tempat

dan siang itu keraton tutup

jawabku,
sepanjang kau tidak sengaja lupa
kita masih punya rute tersisa



Semarang, Juni 2008

Secangkir Teh Pukul Tiga Pagi

bukan kucari kehangatan
di luar hujan turun
dan angin sibuk mencari kawan

hanya saja memang tak ada pesan
sanggup mengantar aku
tinggalkan keterjagaan

pilu maknai ingatan
kilasan sudut kota, temaram nuansa
dan sepotong romansa

mungkin kedai itu masih disana
tapi sempatkah kita?



Semarang, Februari 2008

Bulan Kota Lama

dinding-dinding kusam
setia temani taman temaram
berbagi bisikan-bisikan malam

derik bangku tua
menanti merasa menerka

purnama

coba temukan rautmu
di sana



Semarang, Oktober 2007

Di Kotamu Hanya Satu Masa

pertemuan kita
beranjak usang
seperti kata di manuskrip tua
karena di kotamu hanya satu masa

sepanjang jalan
siang seketika
lalu tawa
entah tak lagi bersisa

tinggal kepulangan kita
menanti sirna
seperti sisa hujan
bergelayut di ujung dedaunan



Semarang, Oktober 2007

Mungkin di Laut

mari ikut ke laut
mungkin ada bayangmu dalam
ombak yang mengecup pantai
lalu pergi, berlari, kembali
berkali-kali

jangan tolak melihat laut
mungkin ada yang merayu matahari
agar tak pergi
sebelum ombak benar-benar menepi

karena mungkin masih ada sebuah senja
selama ini kusimpan di pelupuk mata



Semarang, September 2007

Giovanni

lalu kau memilih untuk menepi
pasrah menyerah pada resah
terombang-ambing dalam hening
sengaja terasing

karena dia bercanda bersama mimpi
di taman yang sama, bangku yang biasa
tempat kau sering berbagi cerita
pada senja yang lalu ikut berduka

karena mimpi seakan tak mau mengerti
dan kini di sudut matamu
perih tak mampu lagi bersembunyi

tapi, Giovanni
mimpi pasti akan berganti
meski kadang butuh nanti
kadang butuh sebentar lagi




Magelang, September 2007

Sajak Suram

kemana bintang-bintang semalam
juga bulan yang kemarin temaram

oh, mungkin mereka geram
melihat cinta yang hanya bisa kita pendam



Semarang, Mei 2007

Setelah Semua

dengar...
pengamen dan biola tuanya
berdendang sendu lagu kita

tentang rindu yang dulu
menggebu lalu
sekarang jadi begitu lucu

dengar sebentar...
radio memutar lagu kita
tentang cinta dan setia

sesaat pernah
yang tiba
tiba menjadi entah



Semarang, April 2007

Azuri

melihat laut
di kejauhan
seperti biru
di matamu
sekilas mimpi dari
dasar kalbu


Semarang, April 2007

Kala Hujan

seperti gerimis
entah bagaimana begitu
menarik

(karena pernah kulewatkan
bersamamu)

entah bagaimana kamu
tiba-tiba menjadi berarti bagiku
karena sudah kucari
tak juga aku mengerti

aku jatuh hati?



Magelang, April 2007

Intro

kicau-kicau
satu-satu
hingga langit terbeliak
dan aku bersemangat
bersiap
sebentar lagi misteri
hari tersibak



Semarang, Maret 2007

Setelah Pukul Lima

sudah hampir malam
senja perlahan menggurat
remang

bergegas burung-burung pulang
saat ayam-ayam berhimpun ke kandang

seorang laki-laki duduk
diam-diam
mengurai penat yang terasa pekat
memandang wanita di sudut ruang
menunggu air matang terjerang

senyumnya berbisik pelan,
"sebentar lagi tehmu datang..."



Semarang, Maret 2007

Kontemplasi

tik
tik tik
tik tik tik

anak-anak hujan
berebutan mengecup bebatuan

di luar
terdengar



Semarang, Maret 2007

Simbol

ada hati yang sukar dijelaskan
senyum dan tawa
juga air mata
tak pernah cukup jadi pertanda



Magelang, Februari 2007

Sepi

hari-hari
sepi datang lagi

hingga sendiri tak lagi asing
malam yang tak juga pudar
rinai hujan di jendela
daun luruh mengikuti angin

lalu entah sejak kapan
seakan sewajarnya
aku juga



Magelang, Februari 2007

Sepi

hari-hari
sepi datang lagi

hingga sendiri tak lagi asing
malam yang tak juga pudar
rinai hujan di jendela
daun luruh mengikuti angin

lalu entah sejak kapan
seakan sewajarnya
aku juga



Magelang, Februari 2007

Hal Sederhana

memang hidup
adalah tentang pilihan

seperti ketika kau
memilih untuk bersamanya
seperti ketika aku
memilih untuk tetap tertawa

memang semua
adalah tentang pilihan

seperti ketika aku
memilih memandang cinta
secara sederhana



Magelang, November 2006

Untuk Mas Dani

bila malam memang
tak bisa kompromi
hati juga
tak kunjung mengerti
seiring datangnya
sang pagi
waktu pasti bisa
memberi arti



Semarang, Juni 2006

Repertoar Laut

aku bertemu seorang pemuda
yang mencintai laut

     mungkinkah kepadanya
     hatiku akan terpaut?



Semarang, Juni 2006

Kisah

cintai aku dengan
kata-kata
hari-hari
mu
hari-hari
ku
dan sebuah rindu
yang menyatukannya

       (bila bersua
       di kafe atau taman kota)




Semarang, Maret 2006

Kisah Air Mata

mengingat duka
mengingat air mata

mengingat suka
mengingat air mata

karena air mata bukanlah kata-kata
tak adakah yang bisa memberi
makna?



Magelang, November 2005

Konfirmasi

esok pagi
ketika kau langkahkan kaki
tinggalkan pesan di pintuku

suatu hari pasti kembali

kalau pesanmu bukan itu
untuk apa lagi kubuka pintu?



Magelang, Oktober 2005

Elegi Sepi

kembali
karena aku masih disini
walau malam beranjak pergi
dan pagi
ia tak mampu member janji



Magelang, Oktober 2005

Antara Kita

menunggu
kata dari dalamnya
rasa
menunggu
bicara mengubah
semua



Semarang, September 2005

You

wanna hear wanna see
wanna meet wanna talk
wanna know wanna love
wanna you



Magelang, Oktober 2005

Perjalanan

kucari baris-baris puisiku
menelusuri jejak masa lalu
putus asa
entah kutinggal dimana

tiba-tiba kutemukan
tercatat di larik mega
melambai dititup angin
dibisikkan hujan

hanya terdengar
bila kutetap menengadah

perlahan kulihat
puisiku
melukis pelangi



Magelang, Mei 2005

Saat Kembali

nanti aku akan kembali
bila jalan telah lurus lagi
dan hatiku berhenti meracuni diri

hingga kemarin jadi tawa
sedang esok masih kanvas kosong

kita lihat saat kembali
pasti tak lagi takut

sendiri



Semarang, Mei 2005

Lalu

puisiku sisa kesedihan
pada satu hati yang terbagi
: hatimu
keberadaanku hanyalah semu
saat selesai
waktunya memandang bianglala
berkaca bayang air mata



Semarang, Februari 2005

Tanya

beri tahu aku dimana batas
cinta

setipis harapan atau
seluas kesabaran?

jika jawabnya menanti
apakah penantian berbatas?

pada apa?

waktu, rasa atau duka?



Semarang, September 2004
(direvisi di Leicester, April 2015)

Setitik Gelisah

bisakah rindu
koyakkan asa juga percaya?

karena aku terkoyak dalam
bentangan ketiadaan
antara kita

coba sentuh siluetmu
terbingkai dalam rapuh
hatiku



Semarang, April 2004

Aurora Borealis

kutunggu saat turun senja
tak peduli langit sudah lelah
cahaya dan semua pesonanya

sepanjang musim panas, musim semi, musim gugur,
musim dingin
di jalanan, di pasar, di restoran
di dermaga, di kanal, di bandara
di danau, di padang rumput, di hutan cemara
di sungai, di bukit, di laut

di utara
dari utara
cahayaku



Semarang, November 2003

Hanya Sepi

sepi ini
siksa
tapi pelita di ruanganku menyala
dan pulpenku masih penuh tinta

renungan mimpi takkan habis
jawabannya hanyalah pergi
menenggelamkan diri dalam riuh hari-hari
kokain untuk rasa sepi

sepi ini
bukan belenggu
aku takkan hancur!



Semarang, November 2003

8 Apr 2015

For A Writer Like Me

For a writer like me, to write is not only passion but also affection.

So when what I feel inside is unspeakable, I'll write about you. And maybe one day, I'll put you in one of my stories. 

If you don't know what it means, maybe you should know this: stories are part of the writer who writes them. In other words, providing space for you in the words I collate, means, I let you leave indelible traces... in me.

I can not think of another way to love deeper than this.



5 Apr 2015

London, April 2015

there were you and me
the city was just woken up and so were we

got off the train in the daybreak

we saw the pathways and the bright yellow flowers
we saw the tubes and the red double-deckers
the capital was lost itself in a hustle-bustle

maybe years from now we will still remember
all the steps we took from morning til evening
all the stories we shared beside the river Thames
all the laughs that sounded like the fall of London rain

the days we were no longer strangers