20 Apr 2015

Cerita Tentang Gelas dan Piring yang Berbeda

Entah bagaimana awalnya sampai kita bisa bercakap tentang kau yang tidak bisa berbagi makanan atau minuman dari gelas dan piring yang sama dengan orang lain.

"Tapi kau bisa berbagi dengan keluargamu kan? Papa, Mama, adik-adikmu?" tanyaku waktu itu.

Kau menggeleng.

Sejenak aku mengalihkan perhatian dari jam yang kupakai untuk mengukur waktu merebus spaghetti. "Aku bisa paham kau tidak bisa berbagi dengan orang lain, tapi dengan keluarga, menurutku itu aneh..."

"Mungkin karena sudah terbiasa," katamu. "Dulu Mama selalu memakai piring yang berbeda walaupun dia menyuapi kami tiga bersaudara pada waktu yang sama. Ketika dewasa, kalau salah satu dari kami sedang makan, dan yang lain ingin makan makanan yang sama, maka kami akan lari ke dapur dan mengambil porsi kami sendiri."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Sambil menumis bawang putih dalam minyak zaitun aku membalas ceritamu, "Kalau begitu kita sangat berbeda. Di keluargaku, berbagi piring atau gelas justru adalah lambang kedekatan." Lalu aku mulai menjelaskan kalau dalam istilah Jawa ada yang namanya 'kembulan' alias makan bersama dari satu piring. "Dulu, Ibu sering sekali menyuruhku 'kembulan' dengan kakak-kakakku. Aku tidak ingat apakah kami akan berebut lauk, tapi sepertinya tidak. Usiaku dan kakak-kakakku terpaut jauh, jadi aku seringkali mendapat bagian lauk yang paling banyak bahkan tanpa meminta. Ibu juga sering membuat teh dalam gelas besar untuk dirinya sendiri dan Bapak. Segelas teh untuk berdua, bukankah itu romantis? Yah, tidak benar-benar berdua sebenarnya, karena bahkan sampai sedewasa ini, aku masih saja mencuri minum dari gelas teh mereka."

Aku berhenti sebentar untuk mengangkat spaghetti yang sudah mulai melunak. Tidak gampang merebus spaghetti sampai hasilnya al dente, sudah matang namun masih agak keras. 

"Lalu beberapa tahun lalu aku pernah berkencan dengan seorang pria," ujarku lagi. "Setiap kami makan di restoran, aku selalu memesan nasi goreng dan jus melon. Gara-gara itu, dia bilang aku susah keluar dari zona nyaman." Aku berhenti sejenak dan tersenyum. Kau menatapku tanda mendengarkan. "Suatu kali kami makan di tempat yang memiliki jus melon terenak yang pernah kuminum. Karena penasaran dengan kehebohanku, dia minta ijin mencoba jus melonku. Aku ingat sekali waktu itu dia minum dari sedotanku dan aku langsung menegurnya, 'Hei, itu sedotanku!' tapi dia dengan cuek mengatakan tidak apa-apa dan melanjutkan minum."

Bawang putih di dalam penggorengan sudah berwarna keemasan. Sambil terus bercerita, aku mulai memasukkan tuna dan jamur lalu mengaduknya. Setelah itu aku menambahkan spaghetti dan daun basil. "Yah, mungkin itu seperti sesuatu yang biasa. Tapi, entah kenapa waktu itu aku merasa spesial. Aku merasa dia tidak menganggapku orang lain. Aku merasa... dekat. Iya, dekat. Aneh ya, padahal hanya karena dia minum dari gelasku, memakai sedotanku..."

Kau mengerutkan dahimu. "Yang terjadi denganku justru kebalikannya," sahutmu. "Waktu aku SMA, ada seorang gadis yang jatuh cinta padaku. Suatu kali aku iseng memintanya membuatkanku nasi goreng dan dia benar-benar melakukan hal itu. Waktu sedang enak-enak makan, tiba-tiba dia merebut sendokku dan ikut memakan nasi goreng itu. Aku langsung kehilangan selera. Aku bingung sekali mencari cara bagaimana supaya aku tidak lagi memakan nasi goreng itu tanpa menyakiti hatinya."

"Hah? Lalu apa yang kau lakukan?"

Kau tertawa, "Aku memanggil teman-temanku dan menyuruh mereka menyicipi nasi goreng itu. Aku bilang itu nasi goreng terenak di dunia dan mereka harus mencobanya."

Aku menutup mulutku yang membuka karena kaget. "Hah? Kau tidak seharusnya melakukan itu. Gadis itu membuatkan nasi goreng itu untukmu..."

"Aku tahu!" serumu. "Tapi aku sungguh tidak bisa makan nasi goreng itu lagi. Salah sendiri dia merebut sendokku dan ikut makan." Aku menggeleng-gelengkan kepala membayangkan tingkahmu. "Memang sih, setelah itu dia marah padaku." lanjutmu sambil menunjukkan senyum usil. Aku masih menyesali perlakuanmu pada gadis itu dan kau masih membela diri sampai spaghetti aglio olio-ku matang. Akhirnya kita sibuk makan dari piring masing-masing. Seperti biasa kau makan tanpa banyak bicara.

*** 

Lucu sekali bagaimana mengetahui kebiasaan masing-masing memberi warna dalam interaksi kita. Kadang ketika kau makan, kau akan berlagak menawari aku makanan dari piringmu, tapi aku tahu kau tidak sungguh-sungguh. Pernah ketika kita memesan minum di kafe, kau akan mengambil pesananku dan pura-pura akan meminumnya. Tapi aku merebut gelasku sambil berkata, "Tidak, aku harus lebih dulu minum, baru setelah itu kau." Setelah itu kau tidak lagi mencoba hal yang sama, minum dari gelasku.

Di lain waktu, kadang kalau aku sedang iseng, aku akan membujukmu agar membiarkan aku mengambil makanan dari piringmu. Kau lebih banyak menolak, tapi pernah kau membiarkan aku ikut makan sereal dari mangkukmu. Setelah sukses dengan sendok pertama, aku masih membujukmu agar aku boleh mendapat sendok kedua. Aku ingat bagaimana kau membiarkanku walaupun sambil menggerutu.

Dan aku tertawa-tawa karena merasa menang.

Memang ada perbedaan-perbedaan yang dengannya kita harus membuat penyesuaian. Tapi bahkan tanpa penyesuaianpun bisa, sepanjang kita mengijinkan orang lain menjadi berbeda. Seperti puisi yang pernah kubuat,

Betapa berbedanya kita
Betapa menariknya perjalanan