30 Oct 2015

Di Mataku, Gramedia adalah Sebentuk Cinta

Aku tidak ingat kapan pertama kali aku mengunjungi Gramedia.

Yang aku ingat, aku beruntung memiliki orang tua yang membesarkanku menjadi seorang pencinta buku. Bapak dan Ibu mengantarku tidur dengan segelas susu cokelat hangat dan cerita-cerita dari buku dongeng. Disaat orang tua-orang tua lain membelikan boneka untuk anak perempuan mereka, Bapak dan Ibu memberiku buku. Bagi kami, pergi berjalan-jalan di akhir minggu berarti pergi ke pusat kota dan mengunjungi toko buku.

Masalahnya, di Magelang, kota tempat aku lahir dan tumbuh besar, tidak ada Gramedia. Yang ada hanyalah toko buku dengan spanduk besar bertuliskan “Menjual Buku-Buku Terbitan Gramedia.” Tentu saja koleksinya tidak terlalu lengkap. Serial dongeng terbitan Elex Media Komputindo tidak semuanya tersedia, pun buku cerita rakyat yang dulu aku koleksi. Mungkin karena itu, karena tidak tahan melihat kekecewaanku setiap kali buku yang kucari tidak ada, Bapak dan Ibu membawaku ke Gramedia. Waktu itu aku masih duduk di Sekolah Dasar.

Mengunjungi Gramedia berarti pergi ke luar kota, tepatnya ke Jogjakarta. Itu berarti, Bapak dan Ibu harus menyiapkan dana ekstra untuk transportasi, makan siang dan jajanan entah apa, juga terutama, menuruti keinginanku berbelanja buku. Wajar saja kalau akhirnya pergi ke Gramedia adalah sebuah kemewahan. Gramedia adalah hadiah dari Bapak dan Ibu kalau prestasiku bagus saat akhir tahun ajaran, saat aku memenangkan perlombaan, atau saat Bapak dan Ibu mendapat rezeki tak terduga.

Setiap kali mengunjungi Gramedia, kami akan pergi pagi-pagi dan baru pulang saat matahari hampir tenggelam. Aku tidak terlalu ingat detilnya, tapi menurut cerita Ibu, aku betah berdiri berjam-jam membaca buku di Gramedia, lalu memilih banyak buku yang aku anggap bagus. Kadang Ibu akan bercerita betapa dia dulu sebenarnya lelah menemaniku berlama-lama menghabiskan waktu di Gramedia.

Mungkin karena kemewahan itu, setiap kami sekeluarga mengunjungi kerabat di Bandung, jika ada yang bertanya kemana aku ingin dibawa jalan-jalan, aku selalu menjawab “Gramedia!” Bahkan saat diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang, hal pertama yang aku katakan pada Bapak adalah “Asyik, di Semarang ada dua Gramedia!”

Di mataku, Gramedia adalah sebentuk cinta. Ketika sekarang aku tinggal di Jakarta, kota dengan banyak Gramedia, setiap aku mengunjungi toko ini, aku mengenang cinta Bapak dan Ibu yang selalu sabar menungguiku menghabiskan waktu disana. Aku juga mengingat cinta teman-temanku yang membawaku ke Gramedia dan membiarkan aku memilih sendiri hadiah ulang tahunku. Kata mereka, “Kami tidak hafal buku apa yang kamu punya atau tidak punya. Jadi daripada salah, lebih baik kamu pilih sendiri.” Di toko ini, aku juga mengingat cinta sahabat-sahabat priaku yang selalu siap mengantarku ke Gramedia dengan motornya setiap pulang kuliah, walaupun pertanyaan mereka selalu sama, “Kamu ngga bosan ke Gramedia setiap hari?”

Ah, aku tahu, bahkan untuk mereka yang bekerja di Gramedia, hari-hari yang mereka lewatkan di toko ini adalah juga sebentuk cinta, untuk keluarganya, untuk kolega mereka, juga untuk pelanggan yang datang dan pergi. Aku melihat sebentuk cinta itu dari susunan buku-buku yang dijaga rapi di raknya masing-masing, termasuk dari satu buku yang dibiarkan terbuka tanpa plastik pembungkus agar pelanggan dapat mengetahui isi buku sebelum membeli. Aku juga merasakan sebentuk cinta itu dari sapaan di pintu toko kalau kebetulan aku datang tepat saat toko dibuka. “Selamat pagi, selamat datang di Gramedia…”, begitu kata mereka. Sebentuk cinta itu juga ada pada senyum pramuniaga dalam ketergesaan mereka menemukan buku yang dicari pelanggan. Kadang mereka akan menyusuri rak demi rak, mencari di katalog elektronik, atau bahkan meminta bantuan kolega mereka agar buku itu ditemukan. Aku bahkan ingat, beberapa cabang Gramedia akan menyediakan kurma dan air mineral saat bulan puasa, sehingga pelanggan tidak perlu repot pergi ke luar toko untuk membatalkan puasanya. Jika tanpa sebentuk cinta, bagaimana toko ini bisa begitu nyaman, walaupun label diskon jarang ditemukan di antara tumpukan buku-buku yang dijual?

Sungguh, aku tidak ingat kapan pertama kali mengunjungi Gramedia, sama halnya seperti aku tidak tahu sudah berapa kali aku pergi kesana. Yang aku tahu, aku selalu kembali ke Gramedia karena disana aku melihat sebentuk cinta.







*postingan ini diikutkan pada kontes Gramedia Blogger Competition edisi Oktober. Info lengkap bisa dibaca disini.

18 Oct 2015

How did it feel to travel without you?

We've promised that when we meet again soon, we'll talk about each other's journey. And if you ask me how did it feel to travel without you, it was quite alright.

You went home before me, and suddenly I found myself looking for some places to go. I didn't go much, but I took some nice pictures of the scenery. It was mid-autumn.

Once I visited an old town whose castle was full of people celebrating music. But it felt like every pathway was too wide, because there was no one calling me nerdy when I picked a fallen leave and put it carefully between the pages of a book. The autumn there was so quiet eventhough I've kicked those leaves on the ground so hard. All alone, I tented the wind and the gloomy skies and the birds in that conduit cables until the lamp posts were started to flicker. For the first time, I was thinking about home and wondering why the days seemed so long when the fact those were being shorter. Home never felt this far.

Llwyn Farm, Powys, Wales, the UK

On another time, I went to a small village which quite far from where we used to live. We planned to go to this area but, because of a we-dont-know-why reason, it never happened. The farm I stayed is vast enough to be explored. I knew the summer has ended and the weather started to be cold, but still, cycling around would be so fun. Unfortunately I ended up just walking around looking at the sheeps and horses and cows and the mist in the faraway hills. Apparenly the whole journey was not as adventurous as ours since nobody seemed to be interested with dark bushes or narrow alleys or big rocks. It does not mean that it was boring though. You must have known that I have the gift of enjoyings situations. The thing is, no one challenged me to race up to those birch trees and suddenly I forgot when was the last time I laugh so hard until I was breathless.

I remember the moments you said sorry for every plan that did not come true. yet, my journeys were fine without you, weren't those? It just would simply be better with you, for if I was with you, we must have spent so much times laughing at weird things such as apple trees and wild mushrooms.



13 Oct 2015

Mimpi Satu Halaman

"Sebagian besar mimpi saya sudah saya raih."

Begitu yang sering saya katakan pada mereka yang bertanya tentang hidup saya. Tidak semua saya raih memang. Tapi, saya bahagia. Pertama, karena saya adalah orang yang tahu apa yang saya inginkan. Kedua, karena saya keras kepala dan tidak takut mencoba. Ketiga, karena entah bagaimana semesta begitu baik mendukung mimpi saya.

Bidang ilmu yang saya pelajari di universitas sudah saya impikan sejak saya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saya lulus dengan predikat cum laude dan mendapatkan tawaran menjadi akademisi, yang terpaksa harus saya tolak karena itu bukan impian saya. Saya memimpikan Paris, bahkan Eropa, sejak saya masih duduk di sekolah menengah pertama. Hampir sepuluh tahun kemudian saya menginjakkan kaki di kota itu, yang bahkan lampu jalanannya pun menjadi puisi di buku catatan saya. Impian saya melanjutkan pendidikan tinggi di Inggris juga pada akhirnya terwujud dan menjadi salah satu periode paling menyenangkan di hidup saya. Kesimpulannya, kalau saya melihat ke belakang, membandingkannya dengan daftar mimpi saya, maka yang muncul di wajah saya adalah senyuman. Bahkan Michael Buble, Dewi Lestari dan Remi Sylado sudah saya coret dari daftar orang-orang yang ingin saya temui. 

Pernah ada yang bilang saya beruntung. Tapi saya bukan orang beruntung, saya orang yang diberkati. Dan akhirnya orang itu bilang "You are over-blessed."

Tapi saya tidak ingin berhenti. Satu mimpi tergenapi, maka impian baru sudah menanti.

Kali ini saya memimpikan novel karya saya sendiri terbit dan dijual di toko buku. Masalahnya saya tidak ingin sembarangan, saya mengincar dua penerbit, hanya dua penerbit dan mereka penerbit besar. Jadi novel saya harus bagus, atau dia akan berakhir di tangan penerbit entah apa.

Lalu sudah sejauh apa mimpi saya ini?

Satu halaman.

Iya, satu halaman.

Saya tahu menulis bukan cuma tentang inspirasi, tapi juga disiplin. Sayangnya, saya tidak bersahabat dengan disiplin. Bahkan untuk hal-hal yang serius seperti tugas-tugas kuliah pun saya memegang prinsip "Semua akan indah pada deadline-nya."

Masalahnya tidak ada deadline untuk novel pertama saya.

Entah bagaimana nasib Gadis Musim Semi dan Pria Musim Dingin nanti, Primavera dan Zyma, keduanya protagonis dalam novel saya. Jalan ceritanya, entah, saya belum benar-benar tahu. Tapi setidaknya saat ini saya menikmati proses memilih nama-nama tokohnya. Saya mengulik banyak bahasa, mencari tahu apa artinya, karena saya percaya nama tokoh bisa membentuk nuansa sebuah cerita. Primavera berasal dari bahasa Spanyol, artinya musim semi, sedangkan Zyma adalah bahasa Ukraina yang berarti musim dingin. Nama tokoh-tokoh lain saya ambil dari bahasa Latin, Sansekerta, Jawa, Jepang dan apa saja yang menurut saya unik tapi mudah diingat dan diucapkan.

Karakter Primavera dan Zyma belum utuh, tapi saya sudah menyayangi mereka. Demi mereka berdua, hari ini saya membaca lagi blog Dewi Lestari, Journal of a 55-Days Novel. Dia bercerita tentang perjalanan kreatifnya menulis Perahu Kertas, salah satu novel yang menjadi inspirasi saya. Dee bahkan sampai menyewa kamar kos yang menjadi kantornya untuk menulis. Dia mendisiplin dirinya menulis, setidaknya satu bab, empat sampai lima halaman, setiap hari. Jika dia sibuk, dia menulis di perjalanan, di kafe, di bandara, dimanapun dia punya waktu. Sesuatu yang tidak bisa saya lakukan selama ini. Dee menulis berjam-jam, sementara saya sibuk melawan rasa kantuk. Tapi membaca blog Dee, saya belajar bahwa menciptakan kata-kata memang adalah proses yang lambat. Satu hari empat halaman adalah hasil yang normal. Saya tidak tahu ini sebelumnya, saya lebih banyak duduk di kafe selama dua jam, hanya mendapatkan satu halaman, dan merasa tidak membuat kemajuan.

Semoga Prims dan Zy menemukan jalannya. Semoga mimpi saya yang ini menemukan jalannya.


9 Oct 2015

Nottingham, Suatu Hari Ketika Seorang Gadis Menangis

Gadis itu berjalan dari rumah menuju stasiun dengan perasaan kalut. Ia terus menangis sambil berbicara dengan sahabatnya melalui telepon genggam. Pagi itu gerimis dan udara sudah mulai dingin. Rupanya musim panas sudah akan berlalu.

Ia bercerita kepada sahabatnya mengenai sakit hatinya. Sahabatnya mendengarkan dengan sabar, memastikan gadis itu baik-baik saja.

"Kemana kamu akan pergi?" tanya sahabatnya.

"Nottingham...", sahut gadis itu pelan.

"Sendirian?" tanya sahabatnya lagi.

"Iya," gadis itu menyahut singkat.

Di kereta menuju Nottingham, gadis itu berusaha menenangkan perasaannya. Ia sudah tidak lagi menangis, tapi siapapun yang melihat air mukanya pasti tahu ia sedang bersedih. Meskipun Nottingham bukan kota favoritnya, gadis itu merasa tetap harus pergi dan menenangkan hati. Nottingham adalah kota besar terdekat dari tempat dia tinggal, dia tidak punya pilihan. Entah, kali ini dia hanya ingin berada di tengah keramaian. Mungkin supaya pikirannya teralihkan dari kesedihan. 

Ini bukan pertama kalinya gadis itu pergi ke Nottingham. Kota itu cukup luas, tapi sebenarnya atraksinya tidak terlalu banyak. Dari stasiun, gadis itu membeli tiket tram dan menaiki tram pertama yang lewat tanpa memikirkan tujuannya. Tram itu membawanya ke daerah pemukiman di pinggir kota. Ia melihat jejak-jejak pertama musim gugur di pohon-pohon maple sepanjang jalan. Kawasan yang ia lewati sunyi, ia tidak melihat banyak orang. Akhirnya gadis itu memutuskan turun dan menaiki tram lain menuju pusat kota.

Kawasan city centre di Nottingham cukup menarik baginya. Dia menyukai pertokoannya yang berarsitektur klasik. Tapi meskipun begitu, setelah menyusuri jalanan di kawasan Old Market Square tanpa punya tujuan, gadis itu memutuskan untuk mencari toko buku. Dia sengaja mencari toko buku independen yang selama ini selalu menjadi semacam sanctuary saat dia butuh menenteramkan hati. Akhirnya dia menemukannya, sebuah toko buku mungil di jalan Goose Gate, namanya Bookwise. Ternyata Bookwise juga merangkap menjadi toko musik. Bahkan ruangan depan toko ini dikhususkan untuk memamerkan rekaman-rekaman musik klasik.

Ruangan yang memuat buku-buku yang dijual ada di belakang. Tidak besar, tapi bukunya lumayan beragam. Gadis itu menghampiri rak yang memajang buku-buku fiksi. Ia melihat beberapa buku karangan Louis de Bérnieres, tapi ia ingat, bahkan Captain Corelli's Mandolin yang ia beli bertahun-tahun yang lalu pun belum ia baca. Ia membaca satu demi satu judul buku yang tertata dalam posisi vertikal itu. Aneh sekali, gadis itu bisa berada di toko buku, berkeliling dari satu rak ke rak yang lain, hanya mengamati sampul dan membaca judul-judul buku. 

Tiba-tiba ponsel gadis itu berbunyi. Dari seberang, suara adiknya menyapa, "Mbak dimana?"

Gadis itu memberitahu adiknya ia berada di Nottingham. Ia mendengar adiknya menghembuskan nafas panjang.

"Ceritakan padaku, Mbak..."

Tiba-tiba air mata gadis itu mengalir turun. Ia buru-buru menghapusnya. Ia merasa beruntung toko buku itu dalam keadaan sepi. Hanya ada seorang nenek dan cucunya.

"Kalau aku cerita, aku akan menangis lagi," kata gadis itu, suaranya tertahan.

Di seberang sana, suara adiknya ikut tercekat. "Tapi Mbak harus cerita, setidaknya supaya aku tahu apa yang terjadi..."

Gadis itu meletakkan kembali buku yang sedang ia pegang. Ia berjalan keluar dan mencari bangku yang biasanya banyak berada di tepi jalan. Langit sudah mulai cerah, tapi udara semakin dingin, dirapatkannya jaket yang ia pakai. Akhirnya gadis itu menemukan bangku di depan pertokoan dan menceritakan semua kepada adiknya yang dengan sabar mendengarkan. Ia bicara tentang kekecewaan, perkataan yang melukai hatinya, harapan yang lenyap, dan juga betapa ia sebenarnya ingin bisa memaafkan.

Adiknya selama ini adalah orang yang selalu menghiburnya. Dia adalah laki-laki yang akan ikut berkaca-kaca ketika gadis itu meneteskan air mata. Adiknya akan menemaninya melewati hari-hari yang seperti roller coaster, dan menunjukkan kepadanya sisi dunia yang penuh tawa. Bersama adiknya, gadis itu akan tertawa di antara tangisnya. 

Dia meyakinkan adiknya bahwa dia akan baik-baik saja. 

Adiknya percaya gadis itu akan baik-baik saja. Dia hanya berkata dia menunggu gadis itu pulang ke rumah.

Gadis itu menghapus air matanya. Ia merasa begitu kedinginan. Entah apa yang ada di pikirannya tadi pagi, pergi hanya memakai jaket tipis seperti ini. Ia memutuskan memesan teh di kafe terdekat untuk menghangatkan badannya, lalu ia memutuskan pulang. Bahkan Nottingham Castle pun tidak membuatnya tertarik. Ia hanya ingin pulang.

Ia memutuskan melewati jalan lain menuju stasiun. Kali ini jalanan itu bukan tipe favoritnya. Hanya pedestrian biasa, tidak berestetika dan bahkan agak sedikit kumuh. Melewati salah satu sudut ia mendengar cicit burung. Gadis itu berhenti dan memasang telinga. Benar, itu suara cicit burung, datang dari satu sisi bangunan. Ia menghampirinya, ada satu sisi tembok yang ditutup papan sehingga membentuk ruang diantaranya. Di dalamnya ia melihat seekor burung dara. Ruang di antara tembok dan papan itu terlalu sempit untuk burung itu mengembangkan sayap dan terbang. Papan itu juga terlalu tinggi untuk burung itu melompat. Burung itu terjebak.

Gadis itu mengulurkan tangannya meraih burung itu. Burung itu ketakutan, tapi ia tak melawan ketika kedua tangan gadis itu mengangkatnya. Gadis itu kemudian meletakkan burung itu di tepi trotoar. Awalnya ia heran mengapa burung itu tidak langsung terbang. Tapi mungkin burung itu perlu memulihkan kekuatan. Gadis itu tidak punya waktu lagi untuk menunggui burung itu, keretanya sudah hampir datang. 

Bergegas gadis itu melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari tempat ia menolong burung itu, ia melewati sebuah halte bus. Sepasang kakek dan nenek duduk di bangku halte dan memandangnya. Mereka duduk berdampingan, memegang tongkatnya masing-masing. Ketika pandangan mereka beradu, kakek dan nenek itu tersenyum. Bibir nenek itu bergerak pelan dan mengatakan sesuatu. "Thank you," begitu ia bilang.

Gadis itu terheran-heran. Ia tidak merasa melakukan sesuatu untuk mereka. Tapi kemudian ia paham. Mereka berterima kasih untuk burung itu.

Tiba-tiba gadis itu merasa hatinya hangat. Tiba-tiba ia merasa harinya tidak seburuk yang ia rasakan tadi. Ia merasa perjalanan kali ini sedikit menyembuhkan.






7 Oct 2015

Pulanglah dan Kita Bisa Kembali Membuat Rencana

Kita adalah perencana.

Dulu kita pernah begitu bersemangat merencanakan banyak hal, terutama perjalanan.

Tapi kali ini ketika jarak tak bisa kompromi, kau memutuskan pergi sendiri. Tujuan pertama, ibu kota Sumatera Utara, kota tempat kau menemukan mimpi dan kota tempat aku kehilangan hati. Kota ini dulu menjadi bagian pertama dari rencana kita melangkahkan kaki di seluas-luas nusantara. Kita sudah membayangkan tempat-tempat makan yang melegenda, dan aku sungguh tidak sabar merasakan lagi rasa kue bolu-nya yang khas. 

Tapi rencana memang bisa berwujud berbeda.

Katamu kali ini kau pergi dengan seorang teman. Ah, syukurlah, meskipun tanpa aku, setidaknya kau tidak sendirian. Aku sungguh berharap teman perjalananmu itu seorang yang menyenangkan dan membuat perjalananmu berkesan. Mungkin nanti ketika perjalananmu ini selesai, aku akan banyak bertanya. Apakah kalian pergi melihat boneka sigale-gale? Benarkah dia benar-benar digerakkan roh? Apakah kalian membicarakan ornamen dalam rumah adat Batak yang rumit itu? Konon katanya orang Batak dulu adalah kanibal. Adakah adegan memakan orang tergambar di salah satu tiang? Atau, apakah kalian menertawakan stereotype masyarakat Batak yang kadang tidak masuk akal dan lucu? 

Tapi membaca pesanmu tetap saja saja membuatku pilu. "It would be more fun if you can join us," begitu katamu lewat pesan singkat. Sayangnya aku tak bisa, rumah terasa masih begitu jauh.

Jadi setidaknya untuk saat ini, kita kembali menjadi perencana. Akhir bulan ini ada Festival Penulis dan Pembaca di pulau para dewa, aku berencana bergabung dan sepertinya datang beberapa hari lebih awal bersamamu adalah sebuah pilihan. Kau terdengar bersemangat dan aku membaca kalimat ini di layar ponselku, "Cepatlah pulang, kita makan gulai kepala kakap sesuai rencana dan kita bisa bicara tentang perjalanan."

Setidaknya sampai saat itu, tahukah kamu bagaimana rasanya diingat? Seperti ketika kau bilang, "Di pulau ini ada perpustakaan kecil, dan aku langsung teringat padamu." Lalu kau mengirimkan fotonya: sebuah bangunan sederhana dengan jendela terang. Di dalamnya terlihat rak tinggi berisi buku-buku.

Mungkin begini, rasanya seperti membiarkan kau melakukan perjalanan sendirian namun tanpa penyesalan.

Karena pada akhirnya, meskipun kamu menolak permintaanku untuk masuk ke perpustakaan itu dan melihat buku-buku apa yang ada disana, kau bilang nanti kau akan mengantarku kesana. Aku mengungkapkan keherananku. Lalu kau menceritakan ketidakpuasanmu pada perjalanan kali ini, asap dari propinsi tetangga membuatmu harus membatalkan rencana berkeliling. Kau akan kesana lagi lain kali, tapi kali ini kau akan menungguku pulang. 

Dan semua nampak begitu wajar seperti hari-hari yang telah berlalu.

Kita memang hanya perencana. Tapi bukankah rencana seakan tidak berbatas. Jika memang tidak terjadi, untuk rencana selalu masih ada lain kali.





5 Oct 2015

Poemcard #11



The Distance





it is the distance 
that finds the words to describe the morning breeze
it is the distance
that kindles the flames to overcome the longing of forgetting
it is the distance
that give meaning to every little trace

and hold the memories to stay




2 Oct 2015

Pesan Akhir Musim


Gambar diambil dari sini



  Dear Four Seasons,


You are more than you think you are.
You can more than you think you can.
Walk further. Jump higher.
I pray you countless miracles.



Ciel de Printemps



Musim Semi dalam Botol Berpita Perak

Aku menemukannya sepulang mengantarkanmu ke stasiun. Aku duduk di kamarmu, memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk bersedih. Kamarmu sekarang kosong, hanya tersisa beberapa barang. Di atas lemari kecil, di sebelah meja tempat kamu biasa belajar, aku melihat kantung kertas itu. Sebuah catatan kecil menandakan kantung itu ditujukan untukku. Ada kotak kecil dengan pita putih di dalamnya. Aku membuka kertas pembungkusnya yang berwarna emas, dan aku menemukannya. 

Kamu meninggalkan musim semi dalam botol berpita perak berisi cairan merah jambu. Aku mencium wangi jeruk dan bunga peony. Pikiranku seperti terbawa pada suatu hari di awal April, pada sebuah kota di tepi Mediterania. Hari itu, matahari bersinar hangat dan angin bertiup sejuk.


Gambar diambil dari sini

Pencipta wewangian itu, seorang pria Perancis yang mungkin lebih terkenal dari Presiden, menggambarkannya sebagai a dress embroidered with a thousand tiny flowers atau a floral bouquet. Mereka yang mengenalku pasti tahu keduanya termasuk dalam hal-hal yang menjadi kesukaanku.  Bahkan lagu favoritku, La Vie En Rose, menjadi musik latar komersial pendek mengenai wewangian ini. Belum lagi, Natalie Portman, ikon wewangian yang kamu tinggalkan untukku, mempunyai karakter yang selama ini aku kejar. Dia, aktris jelita lulusan Harvard, kombinasi kecerdasan, kecantikan dan kesuksesan. Bukankah kamu dulu bilang aku adalah utopia? Menurutmu aku berbeda dari gadis-gadis kebanyakan. Kadang ketika kita bercakap berdua, kamu sering menanyakan pertanyaan ini, "Why are you so smart?" Seandainya kamu tahu, aku menghargai anggapan seperti itu, lebih dari ketika orang-orang memuji penampilanku.

Ah, tapi kamu pasti tidak memilihkan parfum itu untukku berdasarkan sebuah deskripsi. Kamu bilang kamu sengaja memilihkan wewangian beraroma bunga, karena kamu tahu selama ini wewangianku beraroma daun. Kamu hanya ingin aku memakai sesuatu yang berbeda. Kamu menyukai wanginya, kamu berpikir itu sesuai untukku, sesederhana itu.

Tapi wewangian dari high end fashion label seperti yang kamu tinggalkan itu bukan barang sederhana. Memberi hadiah memang bukan sebuah hal yang sulit untukmu, tapi bahkan saat kamu pulang, teman-teman dan sahabat-sahabatmu pun tidak mendapatkan hadiah semewah ini. Aku tahu, karena aku yang membantumu memilihkan buah tangan untuk mereka. Beberapa orang kenalan kamu pilihkan hiasan lemari es, lalu beberapa gadis yang kamu anggap dekat mendapatkan apron untuk memasak. Beberapa orang kamu pilihkan sesuatu yang lebih istimewa, tapi, kamu bilang, itu pun karena mereka meminta.

Jadi, mengapa aku? Aku tidak pernah meminta kemewahan musim semi seperti yang kamu tinggalkan itu. Hanya saja, seorang teman pernah berkata, "Don't ask why. Because you deserve that."

I know sometimes we better regard things as simple as that.

Setiap kali aku mencium wangi musim semi yang kamu tinggalkan, aku akan mengingat kepergianmu. Beberapa saat setelah berpamitan, kamu tidak mengijinkanku melihat sorot matamu. Kamu sama sekali tidak menoleh ke belakang. Tapi, sama halnya denganmu, aku tidak mengijinkanmu melihat air mataku. Aku susah payah menahannya sampai tubuhmu hilang di tangga menuju peron. Seandainya kamu tahu, bahkan berjam-jam setelah kepergianmu, aku masih merenungi sebuah kehilangan. 



P.s. : Kamu pasti tidak tahu kan kalau Miss Dior Blooming Bouquet berarti a Promise of Love?