Gadis itu berjalan dari rumah menuju stasiun dengan perasaan kalut. Ia terus menangis sambil berbicara dengan sahabatnya melalui telepon genggam. Pagi itu gerimis dan udara sudah mulai dingin. Rupanya musim panas sudah akan berlalu.
Ia bercerita kepada sahabatnya mengenai sakit hatinya. Sahabatnya mendengarkan dengan sabar, memastikan gadis itu baik-baik saja.
Ia bercerita kepada sahabatnya mengenai sakit hatinya. Sahabatnya mendengarkan dengan sabar, memastikan gadis itu baik-baik saja.
"Kemana kamu akan pergi?" tanya sahabatnya.
"Nottingham...", sahut gadis itu pelan.
"Sendirian?" tanya sahabatnya lagi.
"Iya," gadis itu menyahut singkat.
Di kereta menuju Nottingham, gadis itu berusaha menenangkan perasaannya. Ia sudah tidak lagi menangis, tapi siapapun yang melihat air mukanya pasti tahu ia sedang bersedih. Meskipun Nottingham bukan kota favoritnya, gadis itu merasa tetap harus pergi dan menenangkan hati. Nottingham adalah kota besar terdekat dari tempat dia tinggal, dia tidak punya pilihan. Entah, kali ini dia hanya ingin berada di tengah keramaian. Mungkin supaya pikirannya teralihkan dari kesedihan.
Ini bukan pertama kalinya gadis itu pergi ke Nottingham. Kota itu cukup luas, tapi sebenarnya atraksinya tidak terlalu banyak. Dari stasiun, gadis itu membeli tiket tram dan menaiki tram pertama yang lewat tanpa memikirkan tujuannya. Tram itu membawanya ke daerah pemukiman di pinggir kota. Ia melihat jejak-jejak pertama musim gugur di pohon-pohon maple sepanjang jalan. Kawasan yang ia lewati sunyi, ia tidak melihat banyak orang. Akhirnya gadis itu memutuskan turun dan menaiki tram lain menuju pusat kota.
Kawasan city centre di Nottingham cukup menarik baginya. Dia menyukai pertokoannya yang berarsitektur klasik. Tapi meskipun begitu, setelah menyusuri jalanan di kawasan Old Market Square tanpa punya tujuan, gadis itu memutuskan untuk mencari toko buku. Dia sengaja mencari toko buku independen yang selama ini selalu menjadi semacam sanctuary saat dia butuh menenteramkan hati. Akhirnya dia menemukannya, sebuah toko buku mungil di jalan Goose Gate, namanya Bookwise. Ternyata Bookwise juga merangkap menjadi toko musik. Bahkan ruangan depan toko ini dikhususkan untuk memamerkan rekaman-rekaman musik klasik.
Ruangan yang memuat buku-buku yang dijual ada di belakang. Tidak besar, tapi bukunya lumayan beragam. Gadis itu menghampiri rak yang memajang buku-buku fiksi. Ia melihat beberapa buku karangan Louis de BĂ©rnieres, tapi ia ingat, bahkan Captain Corelli's Mandolin yang ia beli bertahun-tahun yang lalu pun belum ia baca. Ia membaca satu demi satu judul buku yang tertata dalam posisi vertikal itu. Aneh sekali, gadis itu bisa berada di toko buku, berkeliling dari satu rak ke rak yang lain, hanya mengamati sampul dan membaca judul-judul buku.
Tiba-tiba ponsel gadis itu berbunyi. Dari seberang, suara adiknya menyapa, "Mbak dimana?"
Gadis itu memberitahu adiknya ia berada di Nottingham. Ia mendengar adiknya menghembuskan nafas panjang.
"Ceritakan padaku, Mbak..."
Tiba-tiba air mata gadis itu mengalir turun. Ia buru-buru menghapusnya. Ia merasa beruntung toko buku itu dalam keadaan sepi. Hanya ada seorang nenek dan cucunya.
"Kalau aku cerita, aku akan menangis lagi," kata gadis itu, suaranya tertahan.
Di seberang sana, suara adiknya ikut tercekat. "Tapi Mbak harus cerita, setidaknya supaya aku tahu apa yang terjadi..."
Gadis itu meletakkan kembali buku yang sedang ia pegang. Ia berjalan keluar dan mencari bangku yang biasanya banyak berada di tepi jalan. Langit sudah mulai cerah, tapi udara semakin dingin, dirapatkannya jaket yang ia pakai. Akhirnya gadis itu menemukan bangku di depan pertokoan dan menceritakan semua kepada adiknya yang dengan sabar mendengarkan. Ia bicara tentang kekecewaan, perkataan yang melukai hatinya, harapan yang lenyap, dan juga betapa ia sebenarnya ingin bisa memaafkan.
Adiknya selama ini adalah orang yang selalu menghiburnya. Dia adalah laki-laki yang akan ikut berkaca-kaca ketika gadis itu meneteskan air mata. Adiknya akan menemaninya melewati hari-hari yang seperti roller coaster, dan menunjukkan kepadanya sisi dunia yang penuh tawa. Bersama adiknya, gadis itu akan tertawa di antara tangisnya.
Dia meyakinkan adiknya bahwa dia akan baik-baik saja.
Adiknya percaya gadis itu akan baik-baik saja. Dia hanya berkata dia menunggu gadis itu pulang ke rumah.
Gadis itu menghapus air matanya. Ia merasa begitu kedinginan. Entah apa yang ada di pikirannya tadi pagi, pergi hanya memakai jaket tipis seperti ini. Ia memutuskan memesan teh di kafe terdekat untuk menghangatkan badannya, lalu ia memutuskan pulang. Bahkan Nottingham Castle pun tidak membuatnya tertarik. Ia hanya ingin pulang.
Ia memutuskan melewati jalan lain menuju stasiun. Kali ini jalanan itu bukan tipe favoritnya. Hanya pedestrian biasa, tidak berestetika dan bahkan agak sedikit kumuh. Melewati salah satu sudut ia mendengar cicit burung. Gadis itu berhenti dan memasang telinga. Benar, itu suara cicit burung, datang dari satu sisi bangunan. Ia menghampirinya, ada satu sisi tembok yang ditutup papan sehingga membentuk ruang diantaranya. Di dalamnya ia melihat seekor burung dara. Ruang di antara tembok dan papan itu terlalu sempit untuk burung itu mengembangkan sayap dan terbang. Papan itu juga terlalu tinggi untuk burung itu melompat. Burung itu terjebak.
Gadis itu mengulurkan tangannya meraih burung itu. Burung itu ketakutan, tapi ia tak melawan ketika kedua tangan gadis itu mengangkatnya. Gadis itu kemudian meletakkan burung itu di tepi trotoar. Awalnya ia heran mengapa burung itu tidak langsung terbang. Tapi mungkin burung itu perlu memulihkan kekuatan. Gadis itu tidak punya waktu lagi untuk menunggui burung itu, keretanya sudah hampir datang.
Bergegas gadis itu melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari tempat ia menolong burung itu, ia melewati sebuah halte bus. Sepasang kakek dan nenek duduk di bangku halte dan memandangnya. Mereka duduk berdampingan, memegang tongkatnya masing-masing. Ketika pandangan mereka beradu, kakek dan nenek itu tersenyum. Bibir nenek itu bergerak pelan dan mengatakan sesuatu. "Thank you," begitu ia bilang.
Gadis itu terheran-heran. Ia tidak merasa melakukan sesuatu untuk mereka. Tapi kemudian ia paham. Mereka berterima kasih untuk burung itu.
Tiba-tiba gadis itu merasa hatinya hangat. Tiba-tiba ia merasa harinya tidak seburuk yang ia rasakan tadi. Ia merasa perjalanan kali ini sedikit menyembuhkan.
No comments:
Post a Comment