29 Sept 2015

Pesan dari Istanbul


Foto oleh Nur Adhib Angayomi

Istanbul biasanya cerah. Tidak kali ini. Hujan deras. Angin menderu. Di kedai kopi aku berteduh. Hanya sekedar menghabiskan waktu. Lalu datang berita dari negeri seberang. Tentang kamu yang seseorangmu beranjak. Menyisakan aroma musim semi. Terperangkap sunyi. Terkurung dalam kaca merah jambu.

Mungkin, mendung di hatimu menjadi hujan badai di kota ini. Meski kau tak bercerita, aku tahu. Alam sudah mengatakannya kepadaku. Jelas, lugas, tanpa ragu.

Gadis yang Duduk di Sudut Taman, kau tahu? Musim gugur mungkin memang bukan waktumu. Musim dingin juga mungkin akan melayukan tamanmu. Tapi musim semi akan datang lagi. Sampai saat itu tiba, Dia akan membimbingmu, dan Waktu akan memekarkan taman bungamu.



(oleh Nur Adhib Angayomi)

27 Sept 2015

Pesan Dari Praha

 Pesan dari Praha,

Foto oleh Alfia Oktivalerina

Salam hangat dari potongan senja Sungai Vltava untuk sahabatku si Gadis Pencinta Langit...

Aku yakin kamu akan jatuh cinta dengan kota ini pada jejakan kaki pertama. Kubayangkan kau larut dalam sore dengan manisnya trdelnik dan teh (walau kau pasti tergoda mencicip Czech beer! Haha!), memandang Charles Bridge ditemani coretan puisi atau prosa novel perdanamu (ha!). Aku tahu kau tak suka riuh, jadi menyepilah di sekitar Prague Castle yang tinggi kala petang untuk menyambut cantiknya suasana malam kota dari atas sepuasmu. Atau kau bisa sekedar habiskan waktu susuri Pariszka Street yang konon mengimitasi Champs Elysees di kota favoritmu. 

Kemasi tangismu, kubur sedihmu, dan kembangkan senyum termanismu untuk semua mimpi yang belum terbayar. Ya, bernyanyilah, menarilah, rayakan hidupmu dalam kecantikan melegenda bersama kentalnya nuansa medieval dan bangunan-bangunan bergaya gothic yang mempesona nan misterius.

Sahabatku, mencintai Praha akan jauh lebih sederhana sebab ia tak akan membuatmu kehabisan air mata.

***

Jawaban dari London,



Hai Gadis yang Dulu Bermimpi Menjadi Putri,

Aku membaca tulisanmu sambil menyusuri jalanan kota London. Aku beruntung memakai sunglasses karena itu berarti tidak ada yang tahu kalau aku sedang menahan air mata.

Aku tidak pernah mengira London akan menjadi kota yang menenteramkan. Kota ini masih terlalu riuh untukku apalagi ketika aku melewati Leicester Square dan Picadilly. Tapi menyusuri kawasan pemukiman yang sunyi di kota ini, memasuki toko buku-nya satu demi satu, aku merasa bahagia itu sederhana, sesederhana kesanggupanku untuk menghitung hal-hal di genggaman tangan dan kerelaanku  melepas apa yang memang tidak teraih.

Sampai di titik ini aku memutuskan untuk memandang semua seperti sebuah perjalanan. Aku ingat, tidak peduli seberapa dalam aku mencintai Paris dulu, hari itu aku harus pulang, meninggalkan jalanan batu Montmartre, meninggalkan gemerlap Champs Elysees, meninggalkan riak Sungai Seine. Aku ingat aku meninggalkan Paris dengan berat, karena Paris adalah kota yang kuimpikan selama bertahun-tahun, yang pada akhirnya bisa kuraih, tapi yang sejak awal aku tahu waktuku bersamanya hanya sementara. Tapi satu hal yang pasti, selama di Paris, aku bahagia, dan itu cukup.

Tentang perjalanan ini, kalau pada akhirnya waktuku habis dan aku memang tidak bisa tinggal, setidaknya aku berharap aku telah meninggalkan jejak. Semoga jejak itu adalah jejak yang baik, jejak yang memberi pelajaran, jejak yang mengajar bijaksana, dan jejak yang berharga untuk dikenang.

Terima kasih telah berjalan bersamaku di perjalanan ini. Suatu hari nanti, aku akan mengunjungi Praha, dan melakukan semua yang kau tulis, sambil mengingatmu. Semoga pada saat itu, kamu, Gadis yang Dulu Bermimpi Menjadi Putri, sudah mencapai impianmu di Oxford, di antara tumpukan buku-buku dan kesempatan-kesempatan tak terbatas.

Akan ada saatnya kita duduk minum teh dan bertukar cerita-cerita bahagia.



18 Sept 2015

Surat Untuk Gadis Pencinta Langit

Hai Gadis Pencinta Langit, boleh minta waktumu sebentar? Aku tahu akhir-akhir ini banyak yang kau pikirkan. Tentang pertemuan. Tentang perpisahan. Tentang pertanyaan. Tentang kemungkinan. Tentang banyak hal.

Aku tahu beberapa hari ini kau baru saja mengunjungi toko-toko buku terbaik di kota London. Daunt Books di Marylebone dan Foyles di Charing Cross memang ajaib. Hatchhard di Piccadilly kau rasa terlalu mewah, tapi tetap saja kau menyukainya. Tempat-tempat itu menenangkan hatimu, bukankah begitu? Aku bisa melihatnya dari wajahmu, kau bahagia. Matamu melebar melihat buku-buku berjajar dan kau berjalan di tengah udara dingin sambil bersenandung. Beda sekali dengan rautmu kemarin, ketika kau tahu ada kisah yang harus diakhiri. 

Gadis Pencinta Langit, beberapa kali kau memang dipaksa merapikan kepingan-kepingan hatimu. Dan betapa bangganya aku melihatmu selama ini begitu berani. Mengasihani diri sendiri tidak pernah jadi pilihanmu. Kau tidak sembarang mengeluh. Kau bahkan tidak memberi makan kemarahanmu. Kau memilih membereskan air matamu, dan walaupun berat, memilih pergi, melangkahkan kaki menjauhi apa yang melukaimu.

Aku percaya kau pasti masih ingat kisah-kisahmu itu. Waktu itu kau hanya berdoa agar hari cepat berlalu, karena kau tahu luka hanya sementara. Kau hanya membutuhkan sedikit kesabaran dan daya tahan ekstra, dan berdoa memberimu semua itu. Aku tidak akan pernah lupa doamu yang sederhana, yang kau ulangi setiap pagi, "Tuhan, permintaanku hanya satu, tolong aku agar tidak menangis hari ini."

Kau menjaga senyummu dengan menjauhi semua lagu dan film tentang cinta yang terlalu bersifat romansa. Kau memilih tertawa bersama sahabat-sahabatmu, mengunjungi galeri, pergi ke museum, menonton teater, menikmati konser-konser jazz dan akustik, juga mencoba restoran yang suasananya menyenangkan. Kau menenggelamkan dirimu di toko buku dan membaca buku-buku sastra. Kau mengambil keputusan tidak akan lagi membaca terjemahan, kecuali terjemahan bahasa Inggris. Padahal kau tahu selama ini kau tidak pernah berhasil menyelesaikan buku berbahasa asing. Tapi kau memaksa dirimu melakukan sesuatu yang selama ini tidak pernah kau lakukan. Betapa sekarang kau bisa membaca buku non-terjemahan sama santainya dengan membaca buku-buku terbitan lokal.

Lalu kau memutuskan pergi ke negeri yang dulu hanya kau tahu dari buku-buku dongeng. Setelah pria itu pergi, kau tahu kau tidak bisa hanya menunggu. Kau harus mengejar sesuatu, dan pendidikan tinggi menjadi pilihanmu. Keputusanmu itu menyembuhkan. Kau keluar dari ketakutanmu, menerobos area nyaman, dan sekali lagi, memilih petualangan.

***

Sampai saat ini, pernahkah kau mengukur langkah-langkahmu, hai Gadis Pencinta Langit?

Kau sudah menginjakkan kaki di seluruh pulau paling besar di Nusantara, bahkan juga beberapa pulau kecil. Kau telah melihat betapa ibu pertiwimu sangat cantik, dan betapa takjubnya kau pada manusia-manusia yang berlindung di pelukannya. Di negerimu, kau telah membiarkan kakimu dipermainkan ombak di pantai Lasiana. Kau juga membiarkan rambutmu berantakan karena angin di tepi Sungai Mahakam. Kau bahkan tidak keberatan ketika terik matahari di Pulau Meranti menggelapkan rona kulitmu.

Kau memang telah melihat kesedihan di mata para pemuda saat bercerita tentang bencana. Kau mendengar tentang jejak-jejak kematian saat tsunami Aceh, langsung dari mereka yang mengalaminya. Kau juga mendengar tentang kehilangan karena letusan Gunung Gamalama di Ternate. Tapi kau justru belajar dari mereka, tentang ketabahan untuk melanjutkan kehidupan dan kekuatan penerimaan pada apa yang telah digariskan alam.

Di negerimu itu, kau telah melihat senyum anak-anak kepulauan saat kau mengajari mereka bermimpi: anak-anak Tapanuli, anak-anak Nusa Tenggara, hingga anak-anak Papua. Melihat mereka, kau seperti melihat dirimu sendiri ketika imajinasimu tidak mengenal ketakutan. Kau meyakinkan mereka dunia terlalu luas untuk dihabiskan di satu tempat, karena mereka bisa, karena mereka punya kesempatan yang sama.

Lihat betapa luasnya negerimu, Gadis Pencinta Langit. Lalu bayangkan, betapa jauhnya langkahmu, karena kau telah pergi begitu jauh meninggalkannya. Betapa jauh mimpi telah membawamu. Dari gemerlap Los Angeles hingga kesunyian Luxemburg. Dari Jepang yang arif hingga Perancis yang berkelas. Kau telah mengecap musim-musim, menjelajahi kota-kota, mengenal desa-desa, lalu menuliskannya dalam ribuan kata.

Gadis Pencinta Langit, mengunjungi begitu banyak tempat, bertemu begitu banyak orang, seharusnya kau telah begitu akrab dengan pertemuan dan perpisahan. Seharusnya kau telah begitu terbiasa dengan perkenalan dan keakraban yang sementara. Tidak bisakah kau satu kali lagi menanggungnya? Menanggung luka karena kehadirannya yang hanya sementara? Menanggung sekali lagi perasaan kehilangan dan juga sedikit kesepian?

***

Kau memberinya nama Pria Empat Musim, karena sejak awal kau tahu, empat musim adalah waktu kalian. Lebih dari itu adalah keajaiban. Kini musim gugur sudah datang, dan kau sudah membaca pertandanya. Ada yang harus kau lepaskan bersamaan dengan daun-daun yang juga berguguran. Jadi, Gadis Pencinta Langit, lepaskanlah dan tetaplah bahagia. Ingatlah, kau telah menghabiskan empat musim sebagaimana seharusnya. Kau mengenalnya dari bukan siapa-siapa sampai waktu memantrai kalian dengan kedekatan. 

Ah, aku masih ingat desa kecil ketika kau mulai merasa dia istimewa. Salju pasti turun sangat lebat di desa itu pada malam sebelum kalian pergi kesana. Semua nampak putih dan sunyi. Beberapa kali kau harus berpegangan di tas punggungnya karena jalanan terlalu licin. Aku tahu kau tidak akan pernah lupa tatapan canggungnya sebelum dia memegang tanganmu untuk sebuah foto bersama. Iya, tentu bukan karena itu. Kau mulai memperhatikannya karena dia sengaja meminjam telepon genggammu hanya untuk membaca kabar terbaru tentang sebuah kecelakaan pesawat, juga ketika dia mempertanyakan kapan sebenarnya kemerdekaan negaramu diakui oleh Belanda. Kau mulai merasa dia teman bicara yang menyenangkan, dan ternyata memang demikian. Betapa banyak malam kalian habiskan untuk bicara tentang apa saja.

Lalu musim semi datang, begitu juga musim panas. Kalian beberapa kali pergi berdua dan kau begitu bahagia, begitu juga dia.  Tidak semua pasangan bisa melewatkan waktu berdua di tepian Sungai Thames dengan cangkir cokelat panas di tangannya. Kalian beberapa kali memandang senja yang sama, dan tidak peduli apakah hari akan berganti, memaksa kalian kehabisan waktu. Kalian juga mengagumi jalanan-jalanan batu tanpa sungguh-sungguh peduli akan persimpangan yang cepat atau lambat harus kalian lewati. Kalian hanya memilih sebuah hal sederhana: menjadi bahagia. Semua kebahagiaan itu tidak memberimu pilihan untuk menyesal saat ini. Semesta telah begitu baik pada kalian, memberi kalian kesempatan saling menemani dan membuat kenangan.

Dengan waktu yang kalian punya, kalian telah menikmati begitu banyak. Tawa di bawah tangga, pertengkaran-pertengkaran lucu, diskusi-diskusi mengasyikkan, perjalanan-perjalanan menyenangkan. Sekali lagi, semesta tidak memberimu alasan untuk menyesal, karena bersamanya kau bahagia. Kau telah menyayanginya dengan berani, sejauh batas yang bisa kau jalani, dan kini jika Semesta memintamu melepasnya, lepaskan dengan keberanian yang sama, dengan kebahagiaan yang sama.

Karena kini, ketika waktumu habis dengannya, pilihanmu adalah berhenti dan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, atau berjalan menyiapkan petualanganmu yang lain. Bukankah sedikit waktu setelah kau pulang kau sekali lagi akan pergi? Entah dimana nanti, aku yakin kau akan menikmati perasaan menjadi asing, dan seperti biasanya, kau akan berjalan dengan peta di tangan, sambil tersenyum dan bernyanyi pelan. Kau layak bahagia karena hidupmu adalah hidup yang menyediakan banyak kemungkinan, sambutlah dengan mata yang berbinar karena harapan.

***

Gadis Pencinta Langit, berjalanlah seirama dengan skenario Semesta. Lepaskan dia dan tetaplah bahagia. 






Jalanan kota London, awal musim gugur



Dirimu Sendiri


14 Sept 2015

Sepertinya Kita Terlalu Sering Bersama, Berdua.

"Kenapa kau tidak mengajakku?" tanyamu.

Aku terdiam.

"Atau setidaknya beri tahu aku kalau kamu mau pergi," katamu lagi.

Aku masih diam.

"Jadi kamu tidak mau terbuka? Tidak mau cerita alasanmu pergi kemarin?", ada nada mendesak pada suaramu.

"Apakah aku punya pilihan untuk tidak menjawab?" Aku tahu kali ini aku harus bicara. Kau bukan orang yang punya banyak stok kesabaran. 

Kali ini kau yang terdiam.

***

Apakah kau sadar, sepertinya kita terlalu sering bersama, berdua. 

Seringnya, kau adalah orang pertama yang aku temui setiap hari dan orang terakhir dengan siapa aku bicara sebelum aku tidur. Kau adalah orang yang aku minta menemaniku pergi berbelanja. Juga kepada siapa aku bercerita tentang impian dan harapan. Kau adalah orang yang akan tiba-tiba duduk di sebelahku di sofa dan bicara sampai tengah malam.

Sepertinya kita memang terlalu sering bersama, berdua. 

Aku adalah orang yang kau ajak pergi ke pusat kota. Aku adalah orang yang kau minta untuk menunggu waktu latihanmu selesai. Aku adalah orang kepada siapa kau menceritakan setiap keluhan dan ketakutan. Aku adalah orang yang kau minta memasak saat sudah dekat waktu makan. Aku adalah orang yang akan menyuruhmu makan ketika kau baru saja pulang.

Kita sudah begitu terbiasa hingga waktu terasa begitu lalu. Ah, bukankah selama ini kita sudah terbiasa sendiri?

***

Hingga aku memutuskan pergi. Sebentar. Beberapa hari. Mengingat bagaimana rasanya saat aku begitu suka hanya berdua dengan diriku sendiri. 

Lalu pesan itu datang, "Are you alright?" 

Dan aku menjawab singkat, "I'm good."

Kau masih menghubungiku, menanyakan beberapa hal. Aku menjawab seperlunya. Kau tidak bertanya aku dimana dan mengapa. Tapi tiba-tiba kau menyisipkan kalimat itu, 

' y a n g  m e r i n d u k a n m u'

Ah, bukankah cinta itu seharusnya membebaskan? Iya, cinta itu membebaskan. Lalu apa yang membuat jarak kita seperti terlalu dekat? Lalu apa yang membuat aku ingin sejenak menjadi sendiri, menikmati waktu ketika hanya ada aku, secangkir teh dan sebuah buku?

Sepertinya kita memang terlalu sering bersama, berdua. Aku tidak bisa memberitahukan ini padamu. Tapi, mungkin kau perlu tahu, aku pulang karena kata rindumu.