26 Mar 2015

Gestur Kecil dan Perasaan Manis

Seseorang mengirimkan saya gambar ini semalam, gambar sebuah toko buku yang seperti gua harta karun, dengan tanaman yang menjulur dari langit-langit.


Dia bilang foto ini sangat saya, toko buku dan taman di dalamnya. Hmm, tentu saja, dia benar.

Entah kenapa saya tersentuh. Padahal hanya karena sebuah foto. Mungkin karena saya merasa diingat. Dan berhubung masa perkenalan kami yang masih tergolong singkat, saya merasa dikenal.

Seperti mendapat gestur kecil yang membuat hati saya penuh dengan perasaan manis.

***

Mereka yang dekat dengan saya akan sangat tahu kecintaan saya kepada dunia buku. Buku dan saya seperti tidak terpisahkan. Kemanapun saya pergi, selalu ada buku di tas saya, setidaknya satu. Perpustakaan dan toko buku menjadi semacam tempat persembunyian dimana saya betah disana berlama-lama. Lalu, entah sudah berapa rupiah yang saya habiskan untuk mengumpulkan buku-buku yang menurut saya bagus. Bahkan alasan saya membuat kartu kredit sebenarnya adalah supaya saya bisa membeli buku secara online. Saat ini, saya masih dalam proses mendesain perpustakaan pribadi di lantai dua rumah saya, bersebelahan dengan kamar tidur.

Beberapa teman menganggap saya berlebihan. Kadang ketika kami akan pergi ke mall, mereka akan membuat saya berjanji untuk tidak menginjakkan kaki di toko buku, karena itu berarti saya akan susah ditarik keluar. Beberapa orang dengan terus terang mengatakan mereka tidak akan pernah menghadiahi saya buku, karena menurut mereka saya sudah punya terlalu banyak buku. Padahal, tentu saja, there is no such thing as having too many books. Tidak, teman-teman saya ini bukan orang jahat, mereka menyayangi saya dan begitu juga sebaliknya. Mereka hanya tidak bisa menganggap bahwa sangat amat menyukai buku adalah ide yang bagus.

Tapi bagaimanapun, bahasa kasih saya adalah buku. Memang buku tidak ada dalam pembagian 'love language' menurut Gary Chapman: words of affirmation, receiving gifts, acts of service, quality time dan physical touch, tapi bagi saya, buku, dan hal-hal yang berhubungan dengannya, adalah gestur yang sangat personal.

Mungkin karena sejak awal buku seperti sebuah legacy masa kanak-kanak dari Bapak dan Ibu. Buku berarti kisah-kisah pengantar tidur yang mereka bacakan, setiap hari, malam demi malam. Buku juga berarti perjalanan bersama mereka ke Jogjakarta, khusus untuk mengunjungi Gramedia sampai hari menjelang senja. Sampai saya beranjak dewasa, buku menjadi cara mereka menghargai pencapaian-pencapaian saya, apapun yang memberi mereka kebanggaan-kebanggaan kecil sebagai orang tua.

Buku pada akhirnya menjadi tanda sebuah kedekatan. Buku berarti waktu-waktu yang dilewatkan sebagai kemewahan. Buku menjadi sebuah gestur kecil dan sederhana tapi membawa perasaan manis di hati saya. Seperti perasaan yang datang ketika saya mengingat Bapak yang, dulu, sebelum saya tidur, membuatkan saya susu kental manis rasa cokelat dan bertanya malam ini saya ingin membaca buku apa.

Lalu saat ini, setiap ada pesan masuk di telepon genggam saya, saya akan selalu tersenyum jika pesan ini yang muncul di layar,

"Hai, dek... Sedang baca buku apa sekarang?"

Mendapat pesan seperti ini, rasanya sama dengan mendapati seseorang menanyakan kabar kita, hanya saja dengan cara yang lebih manis dan menyentuh.

Pengirimnya adalah dia yang selama ini selalu berbagi puisi. Kami adalah dua pembaca dengan selera yang mirip, misalnya kami sama-sama menggemari rubrik sastra di Kompas minggu. Di rak buku saya bahkan ada beberapa buku antologi puisi karyanya, dia khusus membuatnya untuk adiknya, saya dan juga koleksi pribadi. Saya masih ingat puisi yang dia berikan sebagai hadiah ulang tahun saya beberapa tahun lalu, tentang putri peri dan selendang warna pelangi. Memang akhir-akhir ini kami jarang bertemu sejak saya memutuskan merantau, pergi dari kota kelahiran kami, tapi kami masih bertukar puisi, atau sekedar berbagi inspirasi. Kalau saya sedang pulang, kami akan melewatkan waktu  di kedai kopi. Dia akan memesan kopi hitam dan saya masih setia dengan teh. Kapanpun, buku selalu mendominasi pembicaraan kami.

Tentu saja tidak perlu menjadi orang yang juga mencintai buku untuk dapat memberi gestur kecil seperti ini. Dia yang mengirim foto toko buku tadi bukanlah pembaca kelas berat seperti teman-teman saya di klub buku. Tapi dia adalah orang yang akan memberi saya kesempatan untuk masuk ke toko buku setiap saat kami melakukan perjalanan.

Bahkan ketika saya berusaha menahan keinginan untuk masuk ke toko buku, dia justru akan mengatakan, "Terserah kalau kamu tidak mau masuk, tapi aku mau melihat-lihat toko buku ini. Benar kamu tidak mau ikut?" Sejurus kemudian dia masuk, meninggalkan saya terbengong-bengong di depan pintu. Tentu saja dia hanya ingin menyingkirkan perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali saya masuk ke toko buku disaat saya sedang dalam perjalanan bersama orang lain. Saya mengikutinya masuk ke toko buku dengan hati yang dipenuhi perasaan manis.

Oh ya, dia bilang toko buku yang gambarnya dia kirim itu berada di Montevideo, Uruguay. Saya kontan mengeluhkan jarak yang begitu jauh. Dia lalu mengatakan, "Someday, maybe?" Yes, maybe, batin saya.

Toko buku di Montevideo itu bernama Babilonia Libros. Mungkin suatu hari nanti saya akan mengunjungi toko buku itu dan mengingat dia yang gestur kecilnya mendatangkan perasaan manis di hati saya.

19 Mar 2015

Menyendiri di Oakham



Saya selalu butuh waktu untuk sendiri.

Di Jakarta saya biasa menyendiri di Kinokuniya Plaza Senayan, Gramedia Pondok Indah Mal atau Perpustakaan Freedom Institute. Setelah itu saya akan menghabiskan seporsi besar mie atau segelas es krim sambil membaca buku yang baru saya beli. 

Akhir-akhir ini saya merasa hidup saya terlalu riuh. Bukan dalam arti sebenarnya, tentu saja. Ini hanya riuh dalam artian saya sering merasa tidak tenang. Kalau sudah seperti ini, itu berarti saya butuh pergi sendiri.


Saya sudah merencanakan pergi ke Oakham sejak teman saya merekomendasikan kota kecil ini beberapa minggu yang lalu. Jaraknya hanya dua stasiun dari Leicester, kota tempat saya tinggal. Meskipun begitu kedua kota ini terletak di County yang berbeda, Leicester di Leicestershire dan Oakham di Rutland. Sebenarnya salah satu teman saya sudah berulangkali mengajak pergi bersama, tapi tidak kali ini, pikir saya. Saya sungguh sedang ingin sendirian.



Saya tiba di Oakham sekitar pukul sepuluh pagi. Langit mendung dan agak gerimis. Buat saya ini cuaca yang sempurna untuk sendiri. Entah kenapa saya suka suasana sendu seperti itu. Dari stasiun saya mencari arah menuju pusat kota, tapi alih-alih melewati jalan besar, saya memilih jalan sempit dengan rumah warna-warni di kanan dan kirinya. Tidak banyak orang yang saya lihat, mungkin mereka lebih memilih berada di dalam rumah, berdiang di depan perapian. 

Oakham tidak spektakuler dan turistik, tapi justru itu, menjadi tenang dan asing memang sesuatu yang saya cari. Seperti ada yang meluruskan benang kusut di pikiran saya belakangan ini. 


Saya berjalan berkeliling, melihat-lihat koleksi tapal kuda milik penguasa Oakham Castle. Alkisah, sang empunya Oakham Castle selalu meminta buah tangan berupa hiasan tapal kuda. Saya juga menyempatkan makan siang di Castle Cottage, sebuah kafe bergaya vintage di dekat All Saints Church. Mereka yang menyukai interior shabby chic akan menyukai tempat ini. Rasanya saya bisa berada disana seharian, menulis sesuatu yang manis atau menyelesaikan novel Jane Austen saya.




Kembali ke Leicester, hari sudah menjelang gelap. Esoknya saya merasa lebih siap menghadapi hari dan bertemu dengan orang-orang. Saya tahu, sekali-sekali saya berhak mendapatkan kemewahan seperti ini: kemewahan menjadi sendiri.




17 Mar 2015

Secangkir Teh yang Kesiangan




Selalu ada yang bisa kau ajak bicara, walaupun kata tak pernah cukup bercerita. Tapi cukup dengan secangkir teh yang kesiangan, kau tahu kau tak pernah sendirian. 


Terima kasih, mas Dani, untuk senyum pertama pagi ini :)

Newcastle, Maret 2015




Millenium Bridge




di tepi Millenium Bridge
ada senja yang kita lewatkan bersama
merayakan perjalanan dan hari yang berjalan lambat
di matamu
aku memaknai langkah langkah kita




Angel of the North



there's a girl in a flower shop
counting petals and arranging ribbons between yellow leaves
there's a boy in the corner of the street
playing football and laughing with his childhood friends
their eyes meet in notions
passing silent questions about tomorrow
if only they knew they could be angels to each other



Montmartre, Suatu Hari

suatu hari di Montmartre
aku akan bercerita tentang pertanda
yang selama ini bersembunyi
di balik diam
hanya kadang muncul dalam tatapan mata

diantara gurat sejarah di Montmartre
aku akan mendongeng tentang cemburu
yang selama ini tenggelam
seperti tak nyata
hanya terungkap dalam jarak yang tiba-tiba

di jalanan menanjak di Montmartre
aku akan berkisah tentang kemarahan
yang selama ini sunyi
tanpa teriakan
hanya ditemui dalam desah nafas panjang

kita akan bicara sampai menjelang senja
memandang Paris yang bercahaya
di Montmartre, tempat impian pernah bermula
sampai nanti semua ketakutan sirna
kita sanggup berpisah jalan
dengan pelukan





Leicester, 16 Maret 2015

12 Mar 2015

kisah dan pertanyaan

kita pernah berbagi kisah-kisah
tentang masa yang sudah
tentang mereka yang sejenak singgah
tapi ada pertanyaan tak terungkap
akankah kita menulis jejak langkah
atau semata mewujud kenangan



Leicester, 12032015




P.s: Dibuat saat makan siang dengan seorang teman. Dia menantang saya menulis sesuatu yang harus selesai sebelum dia selesai makan. Puisi ini hasilnya.

Groningen Awal Januari

di musim dingin
pepohonan berhias kristal-kristal salju
ada jejak langkah sunyi
bergegas
menghampiri derak perapian
di luar jendela
angin mewarna langit
serupa abu