31 Jan 2016

Surat #1: Untuk Pria Empat Musim


Pria Empat Musim, mungkin sampai sekarang kau masih bertanya-tanya kenapa waktu itu aku pergi. Empat hari. Iya, empat hari. Tidak bisa dibilang sebentar memang. Apalagi, aku sama sekali tidak berpamitan atau memberi kabar. Pada suatu pagi, aku memasukkan semua barang yang kuperlukan ke ransel, lalu pergi. Begitu saja.

Aku pergi ke Lincoln, begitu aku memberitahumu sepulangku dari kota itu. Aku masih ingat kau duduk di sampingku di sofa dekat jendela. Kau punya banyak pertanyaan, tapi aku hanya sedikit memberi penjelasan. Aku tahu kau kecewa.

Sekarang, Pria Empat Musim, berbulan-bulan setelahnya, akan kuceritakan tentang kepergianku itu.

Aku tiba di Lincoln ketika matahari belum terlalu tinggi. Jarak kota kecil ini dari Leicester, kota tempat kita tinggal, memang tidak terlalu jauh. Aku hanya perlu satu kali berganti kereta di Nottingham. Seperti layaknya kota kecil, stasiun kereta di Lincoln juga mungil.

Aku menginap di sebuah losmen. Agak terlalu mewah sebenarnya karena selama ini aku lebih memilih hostel. Tapi perjalanan ini adalah semacam sanctuary. Entah bagaimana harus kujelaskan, tapi di perjalanan ini aku mencari ketenangan. Aku bahkan membawa draft disertasi untuk dikerjakan di sela-sela perjalanan. Kau tahu, pergi menyendiri sudah seperti obat yang harus aku minum setiap beberapa periode, seperti ketika aku pergi ke Oakham dulu, hanya untuk minum teh dan membaca buku, sendirian.

Pria Empat Musim, aku menyukai Lincoln.

Rasanya menyenangkan berjalan menyusuri tepian Sungai Witham dari losmen menuju ke pusat kota. Dari sana aku bisa melihat menara Lincoln Cathedral yang bergaya gothic. Katedral itu mengingatkanku pada Yorkminster di York yang pernah kita kunjungi dulu. Seperti di York, bangunan-bangunan di kota ini juga memakai batu berwarna madu. Kau pasti tahu kalau batu seperti ini banyak dipakai di county-county dekat Lincolnshire, seperti misalnya di Yorkshire atau Derbyshire. Menurutku, bangunan dari batu jenis ini menciptakan suasana yang jauh lebih menarik dibandingkan bila bangunannya memakai batu bata, seperti di Leicester, Birmingham atau bahkan London.

Lincoln ini kota kecil, jadi sebenarnya tidak butuh waktu lama untuk mengelilinginya. Aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan kota untuk mengerjakan disertasi. Setidaknya di tempat ini aku bisa sedikit lebih berkonsentrasi. Di rumah, dengan kau yang selalu mengajakku mengobrol sampai tengah malam, atau menonton film di internet, mengerjakan disertasi rasanya cuma mimpi. Hasil menyepi di perpustakaan ini lumayan, aku menambahkan beberapa ribu kata dalam draft disertasiku itu. Tinggal menambahkan sedikit lagi  maka akan genap 15.000 kata seperti yang disyaratkan oleh kampus.

Kalau tidak sedang di perpustakaan, aku pergi berjalan-jalan. Pertokoan di Lincoln tidak jauh beda dengan kota-kota lain. Tapi aku menemukan box set Tom Gates dengan harga diskon di salah satu toko buku. Aku ingat, di rumah, kau diam-diam mengambil buku itu dan membacanya lalu tertawa-tawa sendirian. Menurutmu Tom Gates itu lucu, dan menurutku juga begitu. Kita sempat berebutan entah seri yang keberapa, seingatku yang warna sampulnya ungu.


Aku sendiri heran kenapa setiap pergi ke suatu tempat aku selalu membeli buku. Apalagi di Lincoln ada sebuah toko buku Yahudi yang menjual buku bekas dan sedang sale. Bayangkan, satu buku hanya dihargai 50 pence. Aku menemukan beberapa buku John Grisham dan akhirnya memutuskan membelinya. Ada beberapa toko buku lain yang cukup menarik, tapi entah kenapa ketika aku kesana selalu tutup. Ada pula toko buku yang juga berfungsi sebagai kafe, tapi suasananya yang modern dan minimalis membuatku tidak terlalu tertarik.

Di Lincoln, salah satu tempat yang menjadi favoritku adalah Steep Hill, kawasan perbukitan yang akan membawamu menuju Bailgate Quarter. Di kawasan ini ada sebuah jalanan tua bernama The Strait. Jalanan ini mirip dengan the Shambles yang waktu itu kita kunjungi di York, hanya saja dalam versi yang mendaki dan lebih berwarna. Kau pasti ingat, kesuraman the Shambles menginspirasi Diagon Alley di kisah Harry Potter. Jauh berbeda dengan itu, di The Strait kau akan menemukan deretan toko di kiri kanan jalan dengan pintu dan jendela berwarna-warni. Jika kau datang pada musim semi, atau setidaknya akhir musim panas seperti aku dulu, kau juga akan melihat warna-warna semarak bunga di pot-pot gantung, di atas pintu atau di tepi jendela. The Strait sungguh bernuansa festival.


Selama empat hari itu, entah berapa kali aku berjalan menyusuri the Strait. Berjalan naik, bersantai sebentar, lalu berjalan turun. Menyenangkan sekali melihat banyak tea room di antara pertokoan bernuansa retro dan vintage. Rasanya aku ingin mencoba minum teh di semua tea room itu. Tapi, suatu hari, akhirnya aku memilih Bunty's tea room. Segelas teh dan semangkuk soup of the day sudah cukup jadi makan siangku. Oh ya, poci tehnya berbentuk seperti rumah dengan menara jam. Badan poci bergambar orang-orang jaman dulu sedang bercengkerama. Rasanya poci itu ingin aku bawa pulang.


Empat hari di Lincoln mungkin perjalanan bersendiri yang paling aku nikmati. Sepulang dari berkelana, aku kembali ke losmen dan mandi berendam. Sabun mandiku yang beraroma jeruk tidak pernah gagal membuatku lebih rileks. Setelah itu aku akan makan malam: mi instan dalam cup yang aku beli di toko Korea dan salad dengan udang asap, zaitun dan tomat panggang dari Mark & Spencer.  Oh ya, makan pagiku adalah full English breakfast yang benar-benar membuatku merasa full.

Aku pulang ke Leicester dengan hati dan pikiran yang ringan, walaupun di rumah kau menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Salah satu yang paling kuingat adalah pertanyaan ini, "Waktu kau di sana, bersenang-senang di Lincoln, adakah terbersit di ingatanmu kalau kita pernah merencanakan pergi kesana, bersama, berdua?"

Waktu itu aku hanya terdiam.

"Dan bahkan setelah kau pulang, kau tidak sedikitpun meminta maaf," katamu lagi.

Pria Empat Musim, bahkan sampai sekarang aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Tapi, kali ini kurasa aku akan memberimu clue dan kau bisa mengambil kesimpulan. Pertama, tentang rencana kita pergi berdua. Di Lincoln aku hanya melihat Leicester Cathedral dan Leicester Castle dari luarnya saja, karena aku pikir aku akan kembali ke Lincoln bersama seseorang. Kedua, tentang alasan aku pergi diam-diam. Di Lincoln, aku hanya mendengarkan satu lagu ini: Follow Me versi the Inncocence Mission. Aku memutar lagu ini berulang-ulang dan menyanyikannya kemanapun kakiku melangkah. Versi the Innocence Mission lebih cocok dengan seleraku dibanding versi John Denver, penyanyi aslinya. Grup ini juga menyanyikan Moon River yang menjadi salah satu versi favoritku, selain versi Andrea Ross. Aku tahu kalau lagu seperti Follow Me ini bukan seleramu, tapi dengarkanlah, mungkin kau akan mengerti mengapa aku pergi.

Oh ya, aku tahu ini sudah terlambat. Tapi, maaf, untuk tidak memberitahumu banyak hal, untuk kepergianku yang membuatmu bertanya-tanya, untuk Lincoln yang tidak pernah kita nikmati berdua, juga untuk kata rindumu yang kubiarkan lenyap tanpa jawaban.




26 Jan 2016

Sebenar-benarnya

ada perjalanan
yang tidak perlu diceritakan
bukan karena kata
tak sanggup lagi melukis makna
tapi semata supaya
tiap jejak mewujud kenangan
menjadikannya rahasia
sebenar-benarnya rahasia
menjadikannya bahagia
sebenar-benarnya bahagia


Menjelang Kepulangan

/1/
ada jejak-jejak musim gugur di dedaunan
ada ingatan tentang hari-hari pertama
ketika air mata hanya bisa dibereskan
dan pergi adalah satu-satunya pilihan

/2/
di antara tumpukan-tumpukan barang dan banyak draft tulisan
aroma musim gugur ternyata tak semudah itu disimpan
ada perjalanan yang sunyi
ketika daun-daun gugur berserakan serupa kenangan


Di Suatu Jam Pulang

menunggumu pulang
saat senja mulai datang
di lobi gedung tinggi
tempatmu menghabiskan hari

wajah-wajah asing bergegas
mencoba merenggut kesempatan
yang buas direbut pekerjaan
mencoba merampas waktu
yang ganas direbut perjalanan

begitu juga hari-harimu?

gedung ini berdengung
percakapan dan kesibukan
sementara aku duduk diam-diam
dengan buku di pangkuan

menunggumu pulang
sekarang senja sudah datang


Biarkan Rindu

untuk sementara
biarkan saja rindu ini ada
tenang berdiam di antara ingatan

biarkan rindu itu melawan ragu
sementara kita berjalan bersama hari
belajar mengerti hati sendiri

karena kita ini penyendiri
yang tak lagi akrab dengan sepi



Merangkul Jarak

kita merangkul jarak
menjadikannya ingatan
bertahan dalam sibuk yang hibuk

kita merangkul jarak
menjadikannya harapan
berjalan dalam biru setapak waktu

kita merangkul jarak
menjadikannya ketiadaan
lenyap dalam seluas kesabaran


24 Jan 2016

Hujan dan Ingatan tentang Apa yang Kita Lakukan


Rain in the Woods karya Leonid Afremov
Gambar dipinjam dari sini

Bukankah hujan di luar itu mengingatkan kita pada negeri kelabu dimana hujan sangat sering turun? Juga pada payung biru bergambar awan-awan milik seorang gadis yang suka menyanyikan lagu dangdut dan menari di dapur. Kita sering meminjam payungnya ketika hari hujan, tanpa minta ijin, hanya mengambilnya begitu saja dari atas alat penghangat ruangan. Untung saja gadis itu lebih suka di dalam kamar dan jarang keluar saat hari hujan.

Bukankah hujan di luar mengingatkan kita pada sore-sore yang kita lewatkan di bawah payung yang sama ketika hujan turun? Kau akan memegang payung itu dan aku akan berdiri di sebelah kirimu, berusaha mengikuti langkahmu yang panjang dan cepat. Betapa kita merindukan musim-musim ketika menebak apakah hari akan hujan atau cerah seperti permainan yang menyenangkan. Tapi biasanya langit kelabu dan langit biru, hujan dan matahari, datang bergantian dalam satu hari.

Tapi bahkan kalau kita tidak membawa payung biru pinjaman itu, kau selalu akan jadi orang yang mengingatkanku memakai tudung jaketku ketika hujan turun. Lalu aku akan mengatakan padamu aku suka merasakan hujan turun  di atas kepalaku, dan betapa anehnya karena aku tidak pernah sakit hanya karena kehujanan. Sepertinya aku juga sering memberitahumu kalau aku suka petrichor - bau tanah sehabis hujan - yang tak pernah bisa kau pahami karena menurutmu hujan hanya membuat semuanya basah, tidak lebih.

Tapi bukankah kita sama-sama setuju, pemandangan daun-daun gugur di tanah yang basah selepas hujan mendatangkan perasaan aneh. Entah, seperti perasaan rindu atau justru kehilangan, karena akan ada saatnya kita berpisah dari hujan di negeri itu, juga udara dingin yang memaksa kita berjalan cepat menuju ke rumah. 

Sungguh, hujan di luar itu mengingatkanku pada siang-siang yang panjang, ketika aku membuatkanmu teh, lalu kita duduk di sofa dekat jendela dan bicara tentang apa saja, sambil mengamati hujan menerpa kaca dan mendengarkan suaranya jatuh di atap rumah.



Pada Sebuah Perjalanan Kereta

/1/
pada sebuah perjalanan kereta
pada bangku di dekat jendela

ada yang duduk berhadapan

dua bekal makan malam
dua buku bacaan
dua ransel di tangan

cerita-cerita
rencana-rencana

/2/
pada sebuah perjalanan kereta
pada bangku dekat jendela

ada yang terlelap

terlalu lelah untuk bicara
kecuali lewat pandang mata
tentang perjalanan lain
di waktu yang lain

ada asa yang dipupuk masa

/3/
kereta terus menderu
malam di luar jendela
detik berjalan lambat
pagi masih beberapa jam lagi


 

23 Jan 2016

Perkara Menulis


Anggap saja ini nasehat seorang teman: menulis itu memang harus pakai emosi. Tapi, bagaimanapun meledaknya emosi, menulis tetap harus terkendali. Kendalikan kata-kata, jangan dikendalikan oleh kata-kata. Karena kata-kata seperti senjata. Tidak mahir menguasai justru akan melukai diri sendiri. Penulis harus punya pengendalian diri, karena perkara menulis adalah perkara mawas diri.


22 Jan 2016

Kau dan Seorang Gadis


Kau mengenal seorang gadis. Oh, bukan kenal. Lebih tepatnya, tahu, hanya sekedar tahu. Bagaimana kalian bisa saling tahu sepertinya terlalu panjang untuk diceritakan. Hanya saja jika kau mengingatnya, kau masih terheran-heran karena hidup ternyata bisa benar-benar dramatis.

Semua berawal dari kenyataan bahwa kalian mengharapkan hal yang sama, seseorang yang sama, pria yang sama.

Kau sering berpikir perasaanmu untuk pria itu tidak ada bandingannya dibandingkan perasaan gadis ini. Lihat saja, gadis ini begitu kuat bertahan dalam penantian yang tidak berujung. Dia begitu tersiksa oleh jarak yang memaksanya mengenal arti menanti. Dia menghitung setiap detik, menit, jam dan hari. Entah berapa purnama yang ia lewati dalam air mata dan ketidakpastian. Entah berapa banyak malam yang ia habiskan untuk merangkai pertanyaan tentang harapan. Berulangkali dia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah dia harus terus menanti, atau berhenti. Bahkan kau pun mengerti, hati tidak semudah itu diyakinkan untuk melepaskan harapan.

Sementara kau, sejak awal kau memutuskan untuk tidak bertanya apa-apa. Kau memilih mencintai dengan berani, sekadar menjalani kedekatan yang sepertinya niscaya. Kau tahu, melepaskan adalah bentuk kepasrahan, dan kau hanya tinggal menggali sedikit keberanian. Lalu ketika kau harus berkompromi dengan jarak, kau memilih menjalani hari dengan berlari. Memang ada waktu kau akan mengingat pria itu, tapi cukup, kau mengerti waktu memiliki ritme sendiri. Entah, harapanmu sepertinya berwujud berbeda. Bisa bersamanya saja rasanya cukup. Kalau bisa, kau hanya ingin menghentikan waktu, karena bisa memiliki pria itu sungguh adalah kemurahan semesta. Kadang kau bahkan tak sampai hati memintanya di dalam doa. Kau hanya meminta kalian berdua bahagia, terserah bagaimana semesta menerjemahkannya.

Mungkin benar, perasaanmu untuk pria ini memang tidak sebesar gadis itu.

Bagaimanapun, gadis itu menunjukkan bagian-bagian dirimu yang kau kira sudah lenyap. Bertahun-tahun kau berusaha menguburnya, tapi rupanya bagian-bagian itu masih ada, rupanya kau tidak pernah benar-benar membenci bagian-bagian dirimu yang itu. Kau baru tahu,  ternyata kau, sedikit banyak, masih membutuhkan dirimu yang dulu.

Di matamu, ada beberapa hal dalam diri gadis ini yang, entah kebetulan entah tidak, sama denganmu. Kalian sepertinya sama-sama suka membaca. Tapi kau tidak yakin daftar bacaannya serumit daftar bacaanmu. Kau juga tidak yakin koleksi bukunya sebanyak koleksi bukumu yang bertebaran bahkan sampai ke kolong tempat tidur. Ah, lihat, kesombongan, sahabat lamamu, mulai muncul. Seperti saat kau membaca beberapa tulisan gadis itu dan yang ada di pikiranmu adalah kesalahan ejaan dan ketidak tepatan diksi. Kau lupa, kau sendiri masih sering lupa di mana kau harus meletakkan koma pada sebuah kalimat langsung, atau bagaimana kau masih saja menulis dengan mengulang banyak kata.

Kalian memang sama-sama suka menulis. Kau tahu dia diam-diam membaca tulisanmu dan merasa terluka. Kata-kata memang bisa begitu tajam. Kau paham itu. Tapi kau tetap tidak mau berhenti menulis apa yang memang ingin kau tulis. Bagimu, ini adalah bagian dirimu yang tidak bisa diganggu. Banyak orang bilang kau harus lebih lembut pada gadis ini. Mereka bilang gadis ini tidak sekuat kau. Mereka bilang gadis itu adalah korban, entah korban permainan, entah korban perasaan. Tapi bagimu, setiap orang bertanggung jawab pada hatinya sendiri. Menjadi tenggelam dalam permainan adalah pilihan. Pilihan memiliki risikonya sendiri, dan penyesalan tidak seharusnya mengikuti.

Menyangkut gadis ini, tiba-tiba kau mengerti, ternyata kau masih begitu keras, acuh, tak peduli.

Mungkin kau tidak bisa mengasihani gadis ini karena kau tidak terbiasa mengasihani dirimu sendiri. Kadang kau iri karena gadis ini bebas mengeluhkan banyak hal: terik matahari, kemacetan jalan raya, beban kerja atau pesan singkat yang belum dibalas. Dibandingkan denganmu, kau banyak menelan keluhan karena menurutmu itu tidak berguna. Tapi jujurlah, betapa kadang kau benar-benar ingin mengeluh. Oh ya, kau pernah mengeluh, tapi tak seorangpun percaya keluhanmu. Mereka bilang, kau hanya bermain drama. Mereka bilang, untukmu, semua pasti mudah. Mereka bilang, orang sepertimu tidak seharusnya mengeluh. Kau bosan menemukan ketika kau sungguh ingin mengeluh, dunia seperti tidak mengizinkan. Kau lelah menemukan keluhanmu lenyap. Hingga kau memaksa dirimu tidak lagi mengeluh. Hingga kau menganggap orang lain, termasuk gadis ini, juga tidak perlu mengeluh.

Tapi kau menganggap gadis ini beruntung karena dia begitu bebas dengan perasaannya. Dia mengungkapkan cemburunya, dia meledakkan amarahnya, entah benar entah salah. Sementara kau... kau menguburnya dalam-dalam. Kau begitu tangguh menyembunyikan isi hatimu, entah itu rindu, entah itu cemburu. Berulang kali kau mengajar hatimu: cemburu atau rindu harus diterjemahkan pada tempatnya karena sering bersama tidak lantas memberimu hak. Untukmu, hati harus terkendali. Kau memang masih penuh harga diri seperti dulu. Harga dirimu itu tidak membiarkanmu kehilangan kendali. Kau mendengarkan harga dirimu sedalam itu. Kau membiarkan harga dirimu bicara sejauh itu. Tapi jujurlah, bukankah kau sebenarnya berharap bisa membebaskan perasaanmu seperti gadis ini?

Hingga, suatu hari kau memandang dirimu sendiri di dalam cermin. Kau merasa sudah cukup bahagia dengan semua yang kau punya. Lalu kau mengingat gadis itu dan bertanya-tanya apakah dia juga merasa cukup bahagia sepertimu. Jauh di dalam hatimu ada perasaan angkuh yang tak lagi asing.

Keangkuhanmu itu mendengarkan logikamu berkata, "Bersama pria ini kau pasti semakin bahagia." Tapi, di saat yang sama nuranimu juga berbicara, "Jika pria ini tidak ditakdirkan untukmu, kau tetap tidak kekurangan kebahagiaan. Tapi, bagaimana jika bagi gadis itu, pria ini adalah kebahagiaan terbesarnya? Jika benar kau sudah cukup bahagia, bagaimana kalau kau memberikan satu saja kebahagiaanmu untuknya?"

Dan kau lugas berkata tidak.

Entah karena kau benar-benar menyayangi pria itu. Entah karena kau sebenarnya, seperti dulu, benci menjadi pihak yang kalah.



20 Jan 2016

Cukup

sepertinya pertemuan-pertemuan sesaat adalah apa yang paling tepat untuk kita. misalnya makan malam selepas jam kerja yang penuh berisi pertanyaan dan cerita. mungkin karena banyak yang kita kejar. dari deadline-deadline pekerjaan, persiapan-persiapan keberangkatan, hingga hal sederhana seperti jadwal bis trans jakarta atau kereta komuter ke kota tetangga. entah berapa banyak ruang tersisa untuk kita di pikiran. semua nampak tenggelam dalam agenda-agenda rapat atau perjalanan dari dan ke bandara. 

tapi dari semua pertemuan dan percakapan sesaat kita belajar merasa cukup. cukup bijaksana memaknai bahagia tak harus tentang berdua. cukup berani menghadapi sepi yang nyata ketika pergi. cukup percaya pada rencana dan pengaturan semesta. cukup rindu mengenang dan mengharap kebaikan waktu.


19 Jan 2016

Seperti Apa

Sepertinya apa rasanya membaca larik-larik puisi dan teringat padanya, sementara puisi-puisi yang membuatmu ingat itu adalah baris-baris kata tentang patah hati dan hal-hal yang telah pergi?

Seperti apa rasanya ketika otakmu mengatakan kau tak perlu lagi menulis tentang dia sementara hatimu begitu terbiasa mewujudkan dia dan hanya dia dalam aksara?

Seperti apa rasanya terkurung dalam satu kenangan yang terpatri begitu dalam, sementara firasatmu mengatakan bahwa kenangan itu tak lebih dari sekedar kebohongan yang entah bagaimana tak mudah kau lupakan?

Seperti apa rasanya menghadapi banyak pertanyaan tentang harapan-harapan yang selama ini begitu mudah kau ceritakan, sementara kau sibuk menyusun pembelaan tentang apa yang seharusnya kau sembunyikan?

Seperti apa rasanya berjalan di sudut-sudut kota, seakan semua baik-baik saja, namun dalam imaji terbayang mungkin di jam ini dia juga berada di tempat ini, namun bukan kamu yang berada di sisi?

Seperti apa rasanya menyadarkan hatimu yang masih saja berkeras masa depan sungguh tak pasti dan segala sesuatu bisa saja terjadi, sementara kau tahu pilihanmu cuma berjalan maju atau sia-sia merindu?






*mengenang masa bertahun-tahun lalu ketika hari-hari terasa panjang dan kesedihan seakan sudah jadi teman. merayakan hari ini ketika semua pertanyaan tentang rasa sudah tak lagi penting.


17 Jan 2016

Snowdrop

Beberapa malam ini aku suka terbangun tiba-tiba. Seperti saat ini. Matahari belum terlihat, tapi aku sudah bangun dan kehilangan rasa kantuk. Mungkin karena sekali lagi dia muncul dalam mimpiku. Begitu saja, tanpa permisi. Aku seakan hanya melihatnya lewat, membuatku tercenung lalu bertanya-tanya kenapa setelah sekian lama, alam bawah sadarku masih mengenangnya.

Aku membuka jendela kaca besar yang memisahkan kamar dan balkon. Udara dingin menyergap tiba-tiba. Kontan kututup lagi jendela sambil menyesali kebodohanku sendiri. Piyama ini bukan kostum yang baik untuk menikmati udara Canterbury di pertengahan bulan Januari. Apalagi sekarang masih pukul tiga pagi. Aku menggigil.

Di luar jendela tidak ada apa-apa. Hanya pekarangan dan rumah tetangga depan yang nampak menyedihkan. Semua masih serupa bayang-bayang. Tapi, ah, ada serpih-serpih berwarna putih di ranting-ranting rapuh pohon oak tua di depan rumah, begitu juga di jalanan. Serpih-serpih itu nampak berkilau di kegelapan diterangi lampu jalan yang bersinar kuning temaram

Rupanya semalam salju turun.

***

Salju pertamaku adalah butiran salju yang turun dari langit London setahun yang lalu. Sudah tiga musim kulalui di negeri Jane Austen ini, mengambil program Bachelor of Communication di Kent University, Canterbury. Jauh dari hingar bingar khas metropolitan, kota ini adalah tipikal kota kecil di Inggris. Disini kau hanya akan menemui segelintir orang, selebihnya hanya tupai, kelinci dan burung-burung. Untukku, ini adalah tempat ideal untuk belajar.

Untungnya, Canterbury hanya berjarak tiga puluh menit perjalanan dengan bis dari dan menuju London. Kadang kalau sedang bosan dengan suasana pedesaan, aku dan beberapa orang teman akan kabur ke ibukota. Mereka akan berkeliling pertokoan, pub dan bioskop. Kadang aku bergabung, kadang tidak, tapi memang lebih banyak tidak. Aku jauh lebih sering pergi sendiri, entah ke museum, toko barang antik atau toko buku. Paling sering aku akan mengunjungi London Review Bookshop, sebuah toko buku mungil tidak jauh dari British Museum. Mereka punya kafe di samping toko buku dan aku sangat menyukai peony and rose buds tea disana. Kalau aku pikir-pikir, untung teman-temanku yang berambut pirang dan bermata biru itu tidak terlalu peduli. Disini, menjadi individualis tidak akan serta merta dicap anti sosial.

Sore itu St. James Park tidak terlalu ramai. Di tengah udara dingin seperti ini, orang-orang lebih suka minum kopi di kafe dekat Trafalgar Square. Teman-temanku mungkin sekarang bahkan sudah menikmati dentum musik entah di bagian kota yang mana. Tapi untukku, kesunyian taman kota di musim dingin adalah lanskap sempurna untuk menikmati jeda sejenak. Lupakan handbook, lupakan tugas menulis essay, lupakan rencana presentasi. Lebih baik memakai mantel tebal, topi dan syal, lalu berjalan-jalan di antara pepohonan. Dingin memang, tapi lebih nyaman daripada berada di Piccadily Circus atau Oxford Street yang riuh.

Aku sedang duduk beristirahat di sebuah bangku ketika ada yang berjatuhan di pangkuanku. Aku menengadah ke atas. Ada serpih-serpih tipis berwarna putih yang berjatuhan. Aku bisa membayangkan ekspresiku waktu itu, mulut ternganga dan mata yang membelalak. Ekspresi yang sering dia bilang sebagai ekspresi orang bodoh. Sejenak ada euforia ketika butiran-butiran itu menyelinap di antara jari-jari tanganku. Sore itu salju turun, salju pertamaku, dan dia adalah hal pertama yang terlintas di pikiranku saat itu.

***

“Bawakan aku salju,” katanya.

Aku hanya memonyongkan bibir.

“Kau bilang aku bebas memilih mau oleh-oleh apa, asal tidak mahal.” katanya lagi. “Salju kan tidak mahal, hanya tinggal ambil di jalan.” Kali ini matamu berkilat jenaka.

Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya. Sebentar lagi aku harus masuk ke gate tempat pesawatku berada. Setidaknya aku ingin perpisahan yang sedikit sendu dan romantis. Tapi di saat-saat terakhir ini dia justru sering bercanda, senyum-senyum sambil menaik-turunkan alis. Sepertinya dia tidak merasa kehilangan aku sama sekali.

“Ya sudahlah, nanti aku kirim fotonya,” sahutku tak sabar sambil menyiapkan paspor dan boarding pass. 

Dia tertawa, merasa menang, lalu mengacak-acak rambutku. Aku masih menggerutu ketika kudengar dia berkata pelan, “Ngga usah bawa apa-apa, yang penting kamu tidak lupa pulang.” Sesuatu dalam suaranya membuatku tercekat. Sembunyi-sembunyi kupandang wajahnya. Ada sepi yang lewat sekilas di bola matanya. Sepi yang membuat dadaku sesak.

Lima belas menit kemudian aku sudah berada di pesawat yang membawaku ke Heathrow. Setibanya di Heathrow, iseng aku bertanya kepada petugas imigrasi yang memeriksa pasporku, “Sir, I wonder when will the snow come this year.” 

Petugas itu, pria tua berpipi bulat kemerahan dengan mata cokelat muda, mengerjap lucu. Musim gugur baru saja mulai dan aku sudah menanyakan kapan salju turun. “Just a little more patient, young lady," ia menjawab sambil tersenyum dan mengembalikan pasporku. Aksennya mengingatkan aku pada pria-pria bangsawan di film-film yang sering kulihat.

Sayangnya, aku tidak terlalu akrab dengan kesabaran. Dua bulan pertama kulewatkan dengan memandang ke langit yang kelabu. Pohon-pohon sudah tidak berdaun tapi yang berubah cuma udara yang jadi semakin dingin. Aku sudah mulai bosan menunggu salju, sampai salju pertamaku turun di St. James Park itu.

***

Aku menangkupkan kedua tanganku seperti mangkuk. Membiarkan serpih demi serpih salju jatuh. Tepat ketika teman-temanku datang menjemput, sudah ada sejumput salju di kedua tanganku. Sambil menjaga salju itu tetap berada disana, aku meminta Richard, teman Irlandiaku untuk mengambil gambar. Posenya sudah ada di pikiranku sejak berminggu-minggu yang lalu. Berdiri di bawah guyuran hujan salju, dengan kedua tangan menyorong ke depan. Di dalamnya ada salju. Foto itu lalu kujadikan kartu pos dan di baliknya kutulis puisi,

Pertama kali melihat salju

Seperti melihat kedalaman bola matamu

Ada beku, tapi juga ada debar

Aku sudah menepati janjiku: mengirim salju untuknya.

Masih ada foto lain setelah foto yang pertama itu. Salju di sungai dekat kampus, salju di menara gereja, salju dari balik jendela, salju di malam natal, salju di reranting cemara. Tapi katanya, dia paling suka foto salju pertama itu.

“Seperti kamu benar-benar memberikan salju itu kepadaku,” begitu komentarnya.

***

Seperti seharusnya, semua musim memiliki takdir yang sama. Mereka harus menyerah kepada jalur matahari yang mengatur waktu musim di bumi. Musim dingin akhirnya berakhir, salju mencair. Lalu tiba-tiba semua menjadi begitu sibuk. Pohon-pohon sibuk bertunas. Miss Pepper, tetangga depan rumah, sibuk merapikan tamannya yang mati suri selama musim dingin. Aku sering melihatnya dari balkon, ketika aku sibuk menyelesaikan bacaan beratus halaman dan menyusun essay ribuan kata.

Dan sepertinya di katulistiwa sana, dia juga sedang sibuk. Entah kenapa pesan pendek tentang hal-hal tidak penting seperti, “Bagaimana disana, apakah salju turun lagi hari ini?” tiba-tiba menjadi begitu jarang. Awalnya sama sekali tidak kusadari. Tapi ketika aku punya lebih banyak waktu tanpa segala tetek bengek kuliah itu, jarak menjadi begitu terasa, demikian juga sepi.

Pernah aku bertanya kenapa, tapi jawaban yang datang setelah jeda datang seperti menjadi pertanda, “Entahlah, mungkin sedikit terbiasa tanpamu.” Aku membaca pesan itu dan mulai memahami sesuatu.

“Apa kau mulai ragu?” tanyaku memberanikan diri.

Kali ini jawabannya secepat salju mencair di bawah matahari musim panas. “Boleh aku minta waktu?”

Pernyataan yang kubiarkan tanpa jawaban. Rupanya ketika aku memilih diam, dia memilih untuk mengartikannya sebagai persetujuan.

***

Tidak semua orang bisa bertahan dengan jarak. Aku sangat paham. Hanya mereka yang pemberani yang memandang jarak hanyalah soal hati. Dia mungkin tak lagi kuat memberanikan diri. Dia pernah mencoba dan sia-sia.

“Waktu itu kami hanya beda pulau. Sulit sekali. Apalagi beda benua. Tidak ada yang menjamin hal yang sama akan terjadi,” begitu katanya sesaat setelah aku memberitahunya keputusanku untuk sekolah ke luar negeri.

“Tapi aku bukan dia,” sahutku. Pola yang sama bisa menghasilkan hasil yang berbeda. Tergantung siapa yang menjalaninya, kan?”

Dia hanya terdiam. Aku membaca keraguan di matanya. Mungkin saat itu dia sedang mengumpulkan keberanian.

Lalu, jarak itu sungguh terasa nyata. Senyata kesunyian yang dia tinggalkan. Senyata kerelaanku membebaskannya. Kadang kalau aku sedang merindukannya, aku hanya akan mengamati peta, menghitung berapa garis lintang yang ada di antara aku dan dia. Tidak banyak rupanya, hanya beberapa garis saja. Tapi tidak dengan hati kami, lebih tepatnya hatinya, yang sudah membuat entah berapa banyak garis batas antara kami berdua.

***

Dari balik jendela aku memandang sisa-sisa salju pertama yang turun tahun ini. Sebuah pertanyaan terbersit di pikiranku, “Masih bolehkah aku mengirimkan salju padamu?”

Salju turun lagi, makin lama makin deras. Matahari masih belum juga muncul. Hari berjalan begitu lambat.



Magelang, September 2012
Diselesaikan di Jakarta, Januari 2016

Percakapan Tentang Impian dan Masa Depan

Dari kedai es krim Italia, gadis dan pemuda itu memutuskan duduk-duduk di pelataran katedral dan menikmati es krim mereka disana. Sore itu akhir musim panas, sekitar pukul empat sore. Matahari masih bersinar, namun udara kadang mulai terasa dingin. Tidak banyak lagi orang yang berjemur di luar ruangan. Mereka hanya melihat sepasang muda-mudi yang bersantai sambil merokok di area dekat pemakaman yang nampak tua dan terlupakan. Si pemudi memakai stocking jala dan lipstick merah menyala. Sangat atraktif.

Pemuda itu memilih sebuah bangku di dekat rumpun-rumpun lavender. Disitu mereka cukup terlindung dari sinar matahari yang mulai turun ke arah barat. Gadis itu memandang ke sekeliling, patung raja yang mengangkat mahkota, rumpun-rumpun mawar yang menemani nisan-nisan, lampu-lampu jalan dengan tiangnya yang tinggi, juga menara gereja.

"Kita pasti akan merindukan semua ini saat pulang nanti," katanya.

"Merindukan apa?" tanya si pemuda sambil asyik memakan es krimnya, hazelnut, cokelat, dan pistacchio.

Tanpa menoleh kepada si pemuda, gadis itu menjawab sekilas, "Suasana seperti ini." Ia tersenyum sekilas lalu melanjutkan, "Aku pasti akan merindukan langit biru itu, udara sejuk, pepohonan, bunga-bunga, bahkan es krim ini." 

Pemuda itu terdiam. Pandangannya nampak jauh.

"Hei, apa yang kau pikirkan?" seru gadis itu.

Pemuda itu menatapnya. "Aku pikir, aku tidak akan pulang."

"Apa maksudmu?"

"Aku sedang mencari jalan supaya aku bisa tetap di negara ini. Entah, mungkin melamar pekerjaan," kali ini pemuda itu memandang gelas es krimnya. "Tapi kalau memang aku harus pulang, itu hanya sementara."

Gadis itu tidak berkata apapun. Ia hanya memberikan pandangan penuh pertanyaan dan pemuda itu memahaminya lalu melanjutkan, "Aku akan kembali ke benua ini."

Kali ini gadis itu terbelalak. Ia berseru tanpa sempat mengeluarkan sendok es krim dari mulutnya, "Maksudmu kuliah lagi?"

Pemuda itu tertawa, tapi ia mengangguk. "Ck, kamu tidak perlu sekaget itu. Makan dulu baru ngomong. Dagumu jadi penuh es krim..."

Dengan punggung tangannya gadis itu mengusap dagunya. Ia sendiri tertawa. Mereka sudah terlalu kenal untuk saling merasa malu saat melakukan perbuatan-perbuatan bodoh. "Aku hanya kaget," kata gadis itu. "Maksudku, itu bagus. When one dream has been achieved, that's the time to make new dreams. But, well, yours is not really new then."

"It's brand new! Aku akan belajar subject baru, di kampus yang baru, di negara yang baru, dengan semangat yang baru. It's new!"

Lagi-lagi gadis itu tertawa. Diam-diam ia menyukai saat-saat pemuda itu nampak keras kepala. Ia juga mengagumi ketekunannya dan bagaimana kadang ia begitu tajam mengkritisi banyak hal disekelilingnya.

"Kalau kau, apa rencanamu? Kantormu benar-benar akan menugaskanmu ke luar negeri?"

Gadis itu mengangguk. Kali ini menelan es krimnya baru setelah itu menjawab, "Iya, mungkin akhir tahun depan."

"Bagaimana kalau kau bertugas di negara tempat aku nanti kuliah?"

"Kenapa begitu?"

Pemuda itu hanya menaik-naikkan alisnya.

"Supaya kau masih bisa sering-sering menggangguku?"

"Tidak," sahut pemuda itu. "Supaya kita masih bisa jalan-jalan naik sepeda atau duduk-duduk makan es krim seperti ini... Tapi yang lebih penting, supaya aku bisa pinjam uang kalau-kalau uangku habis. Kan aku mahasiswa, sementara statusmu pekerja. Uangmu pasti banyak."

Gadis itu memukul bahu pemuda itu sambil berkata, "Enak saja, memangnya kau pikir aku ini bank sentral?" 

Si pemuda menghindari pukulan gadis itu lalu balas menarik rambutnya. Untuk beberapa saat gadis itu masih memegang-megang kepalanya sambil mengomel, sementara si pemuda menghabiskan sendokan-sendokan terakhir es krimnya. Setelah itu mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sekawanan burung merpati terbang di atas kepala mereka. Sepertinya mereka dalam perjalanan pulang entah kemana, mungkin ke pepohonan di tepi sungai di barat kota, atau mungkin ke taman dekat museum.

 Tiba-tiba pemuda itu memecah kesunyian, "Kau pernah merasa takut dengan masa depan?"

"Sepertinya tidak," sahut gadis itu. Ia memain-mainkan ujung tangkai lavender. "Maksudku, kadang iya, tapi lebih sering tidak. Entahlah, aku banyak membuat rencana, aku memimpikan banyak hal, aku berusaha dan berdoa. Aku sudah memimpikan tinggal di benua ini sejak aku masih di sekolah menengah. Aku sudah merencanakan melanjutkan sekolah di negara ini mungkin sejak tiga tahun yang lalu. Aku lebih sering merasa excited daripada takut. Semacam merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi. Kalau kau?"

Pemuda itu menghela nafas panjang. "Aku, bagaimana ya... Aku justru berpikir sudah saatnya aku berhenti menjadi idealis. Aku punya impian, tentu saja. Tapi aku juga punya banyak kesempatan bagus yang tidak aku ambil karena semua itu tidak ada dalam rencanaku. Aku memutuskan bersekolah lagi karena aku bosan dengan business as usual."

Gadis itu mengangguk tanda mengerti. "Kau tahu, seseorang bisa saja mengambil jalan memutar sebelum ia benar-benar sampai ke tujuannya. Jadi tidak ada salahnya mengambil sebuah kesempatan, karena siapa tahu dari kesempatan itu kita bisa belajar sesuatu."

Pemuda itu justru tertawa. Lawan bicaranya menatapnya keheranan. "Kenapa kau tertawa?"

"Kadang-kadang aku merasa kau ini sok bijaksana," sahut pemuda itu. Ia masih tertawa.

"Tapi aku benar!" seru gadis itu dengan nada sebal. "Misalnya aku, aku sebenarnya ingin bersantai saja di rumah, membaca buku dan menulis cerita-cerita. Aku sebenarnya bermimpi menerbitkan buku dengan namaku di sampulnya. Tapi ketika hidup membawaku berkelana, aku ikuti saja. Aku pikir, semua yang aku temui dari perjalanan-perjalanan itu bisa jadi bahan cerita yang menarik."

"Iya, iya, kau benar. Itulah kenapa aku memutuskan sekolah lagi. Strata yang sama, dengan bidang ilmu yang agak sedikit berbeda. Pasti akan sangat menyenangkan."

"Itu bagus," gadis itu mengangguk. "Aku juga berpikir, ke negara manapun aku nanti ditugaskan, pasti akan sangat menyenangkan. Aku suka suasana yang asing, menemukan hal-hal baru, kenal dengan orang-orang baru."

"Hidupmu itu memang penuh petualangan. And yes, that's exciting!"

Pemuda itu melihat mata gadis itu berbinar. Ia ingat mereka sering bertengkar karena gadis itu merasa pemuda itu terlalu banyak mempertimbangkan resiko. Sementara untuk gadis itu, melompat ke jurang bisa saja jadi menarik karena siapa tahu di bawah sana mereka akan menemukan harta karun. Tapi, berbicara dengan gadis ini selalu menyenangkan. Seperti sore ini ketika tiba-tiba waktu seperti berlalu begitu saja.

"Sudah malam, sebaiknya kita pulang." kata pemuda itu ketika melihat lampu-lampu jalan sudah menyala.  Mereka berdiri dan mulai berjalan ke gerbang. Udara sudah mulai dingin. Pemuda itu merapatkan jaketnya. "By the way," katanya. "Jangan ceritakan pada siapapun soal rencanaku kuliah lagi."

Gadis itu menoleh, "Kenapa?"

"Ini baru rencana. Aku tidak ingin membicarakan ini dengan orang-orang yang belum tentu akan mengerti."

Mendengar jawaban si pemuda, gadis itu tersenyum. "Memang kita tidak bisa membicarakan impian kita dengan semua orang. Kau benar. Aku akan tutup mulut..."

Pemuda itu memberikan pandangan penuh terima kasih.

"Tapi sepertinya kau harus mentraktirku es krim tiap minggu untuk itu." tiba-tiba gadis itu melanjutkan.

Pemuda itu menarik rambut gadis itu seperti biasa dan baru melepaskannya setelah si gadis berjanji akan tutup mulut tanpa syarat apa-apa.

Ketika mereka berjalan menjauh, aku sudah tak lagi mendengar apa yang mereka bicarakan. Sayup-sayup aku hanya mendengar tawa mereka. Aku, sebatang lavender di pelataran gereja. Kadang aku mencuri dengar apa yang dibicarakan orang-orang yang memilih duduk di bangku dekat aku dan teman-temanku tumbuh. Beberapa bicara tentang patah hati yang berlarut, kadang aku juga mendengar cerita-cerita tentang keluarga atau tentang kesibukan di tempat kerja. Aku senang hari ini aku bisa mendengar gadis dan pemuda tadi bicara tentang impian dan masa depan. 

Aku juga sepertinya menangkap beberapa pertanda. Ah, tapi sudahlah, sepertinya mereka berdua terlalu sibuk mengejar mimpi dan mempersiapkan masa depan. Tidak ada gunanya memberitahu mereka tentang pertanda-pertanda yang tersembunyi dalam pandangan mata dan nada bicara. Lagipula, siapa tahu pemuda itu sungguh kembali ke benua ini, benua kesukaan gadis itu, benua dimana dia berharap ditugaskan kesana. Kalau itu terjadi, aku berharap mereka kembali ke pelataran ini, di akhir musim panas seperti ini.

Aku sungguh akan senang kalau bisa mencuri dengar percakapan-percakapan mereka lagi.

11 Jan 2016

Pria Penggemar Prabowo dan Perasaan Terlupakan

Saya baru sekali menginjakkan kaki di tanah Ternate.

Ingatan kami tentang perjalanan itu tidak banyak: kami menginap di hotel dengan pemandangan gunung di lembaran uang seribu, sambal yang kami temui di kedai ikan bernama Baghdad, dan seorang pria penggemar Prabowo Subianto. Yang disebut terakhir itu mendominasi ingatan saya.

Kami bertemu pria itu di bandar udara Babullah. Dia ditugaskan oleh instansi yang menjadi rekanan kami untuk menjadi pengemudi sekaligus pemandu kami di Ternate. Perawakannya tidak besar, rambutnya agak cepak dan dia bicara begitu cepat dan bersemangat.

Dalam waktu singkat, kami akrab dengannya. Dia banyak bertanya. Tentang kondisi Jakarta, tentang program yang kami lakukan di kota ini, tentang berita yang dia baca di koran saat dia menunggu kami di bandara. Kami menyukai rasa ingin tahunya yang besar. Atasan saya, yang biasanya tidak banyak bicara, ikut larut dalam obrolan bersama pria menyenangkan itu.

Suatu kali, pria itu bercerita tentang kekagumannya pada Prabowo Subianto. Bahkan anak lelakinya yang baru lahirpun ia beri nama Prabowo.Dia bilang dia berkali-kali membaca buku biografi mantan Komandan Kopassus itu. Konon, buku itu pemberian seorang pejabat TNI yang juga pernah diantarnya berkeliling Ternate.

Di kesempatan yang lain, ia bercerita mengenai strategi Perang Sun Tzu. Kami sampai terbengong-bengong mendengar ia menjelaskan tentang tak tik berperang di tanah terbuka, bahkan menyebutkan pada halaman berapa taktik itu dimuat di buku yang ia baca.

Sampai suatu kali, kami melihatnya tidak memakan nasi dan ayam goreng dari restoran cepat saji yang diberikan di tempat kegiatan yang kami adakan. Dia bilang dia menyimpan makan siangnya untuk dibawa pulang. Anaknya selalu ingin makan ayam seperti itu, sementara untuknya harganya terlalu mahal. Ia lebih memilih memberi makan anaknya ikan yang dibeli di pasar.

Kami bertukar pandang. Tidak mengira itu sebabnya. Salah satu dari kami mengatakan, pria itu, juga anak-anaknya, tidak rugi apa-apa. Ikan jauh lebih enak daripada ayam, apalagi ayam cepat saji.

Tapi bagaimanapun, dalam perjalanan menuju hotel, kami mampir ke gerai ayam cepat saji lagi. Kami tidak sampai hati membiarkan satu porsi ayam goreng dibagi untuk dua anak yang selama ini begitu mengidamkannya. Ketika plastik berisi tiga porsi ayam goreng dan nasi berpindah ke tangannya, raut pria itu begitu gembira. Ia bilang, ia akan mengantar kami ke kedai ikan paling enak disana. Lalu sementara kami makan, ia minta ijin pulang ke rumah sebentar mengantar ayam goreng itu. Menurutnya, anak-anaknya pasti sangat senang.

Pria penggemar Prabowo itu memang tidak berhenti mengejutkan kami.

Suatu malam ketika kami dijadwalkan untuk mengisi acara bincang-bincang di radio daerah, ternyata ia berada di mobil dan mendengarkan atasan kami bicara. Ketika semua selesai dan kami kembali ke mobil, dengan logat timur yang kental, ia menyapa atasan kami.

“Terima kasih, Ibu, sudah mengindonesiakan kembali Ternate.”

Atasan saya nampak sedikit terkejut.

“Lho, Ternate ini Indonesia.” Katanya.

“Iya, Ibu,” sahut pria itu lagi. “Tapi kadang saya berpikir, pusat itu sering lupa sama kami. Makanya kami senang sekali Ibu dari pusat mau datang kesini, mengajari anak-anak kami, bicara di radio seperti tadi.”

Untuk pertama kalinya, pria pengagum Prabowo itu menghadirkan selarik kesedihan di hati kami. Ungkapannya berarti lebih dalam dari sekedar pilihan kata sederhana. Bahkan sepertinya dia mewakili kegelisahan yang ada di hati penduduk negeri ini yang kebetulan berada jauh dari Jawa sebagai pusat kekuasaan. Betapa memang masih banyak sudut-sudut negeri yang terlupakan.

Di hotel, kami masih saja membicarakan dia. Pria penggemar Prabowo itu merebut hati kami. Dengan rasa ingin tahunya. Dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dengan kesukaannya membaca.

Ketika pada akhirnya kami harus pulang, bukan pria itu yang mengantar kami, melainkan orang lain. Kami menanyakan keberadaannya pada salah satu staf yang juga ditugaskan mengantar kami. Ia bilang pria penggemar Prabowo itu ditugaskan mendampingi rombongan lain. Ia juga minta maaf kalau pria itu banyak tingkah selama mendampingi kami. Menurutnya, di kantor mereka pria itu dikenal sebagai orang aneh yang suka sekali bicara hal-hal di luar jangkauannya.

Entahlah, hanya saja kami merasa, pria penggemar Prabowo dengan segala kelebihannya sepertinya berada di tempat yang salah. Apa yang menyentuh hati kami justru adalah keanehan bagi orang-orang di sekelilingnya. Miris sekali melihat keingintahuan, kecintaan membaca, dan kegemaran berdiskusi dikelompokkan sebagai bentuk-bentuk keanehan.

Di ruang tunggu kami berpikir sesampainya di Jakarta kami akan mengirimkan buku-buku untuk pria itu. Kami membayangkan dia pasti akan sangat bahagia. Mungkin kami akan membelikannya buku tentang sejarah Indonesia, atau mungkin beberapa buku biografi pejuang pendidikan di daerah perbatasan. 
Tapi, sepertinya pria penggemar Prabowo itu benar. Kesibukan ibu kota tanpa sadar membuat kami mudah lupa, menyingkirkan banyak ingatan tentang dia, juga tentang Ternate yang ia cintai.

Jangankan mengiriminya buku, ternyata mengingat namanyapun sekarang kami tak lagi mampu.

6 Jan 2016

Menyambut Rumah Baru Seorang Sahabat

Saya pertama bertemu Gadis yang Dulu Bermimpi Menjadi Putri di sebuah lembaga belajar bahasa. Kami sama-sama penerima beasiswa yang kebetulan mendapat kesempatan belajar bahasa Inggris di tempat yang sama. Pada akhirnya, kami berangkat ke negara yang sama, ke Inggris. Hanya saja, dia memilih menghabiskan satu tahun di London, sementara saya di kota kecil bernama Leicester. Kami cukup sering bertemu karena jarak antara kedua kota itu hanya satu jam perjalanan kereta.

Setahun belakangan, kebanyakan di London, kami berdua telah banyak bertukar cerita, tentu saja ditemani bergelas-gelas teh khas Inggris. Kadang kami pergi ke tea house. Atau, jika tidak, segelas Twinnings Lady Grey yang kami buat sendiri di rumah juga sudah cukup. Kami bercakap tentang pria-pria di masa lalu, tentang keinginan saya menjelajah lebih banyak negara, juga tentang mimpinya melanjutkan sekolah di Oxford. Ketika saya sempat melewati hari-hari saya dengan menangis, dia mengirimkan foto senja di tepi sungai Vltava lewat akun media sosialnya dan menulis pesan indah untuk saya, langsung dari Praha. Saya begitu menyukai pesannya itu.

Selama ini saya memang hanya membaca tulisan-tulisan sahabat saya ini lewat status kelewat panjang di akun media sosialnya. Lalu, ketika saya bertanya apakah dia punya blog, dia menggeleng. Dulu pernah, katanya, tapi sudah dihapus. Menurutnya isinya tidak lebih dari curahan hati dan kisah-kisah patah hati.

Lalu entah bagaimana saya berhasil membuatnya berjanji membuat blog lagi. Dan rupanya itu pula yang menjadi resolusinya di tahun yang baru ini. Dia sungguh-sungguh menepati janjinya.

Tulisan ini dibuat untuk menyambut rumah baru sahabat saya itu. Bukan rumah sebenarnya, tapi blog baru yang menjadi rumah maya. Gadis yang Dulu Bermimpi menjadi Putri itu memberi nama rumahnya Pandora dan Kapsul Waktu.

Tulisan pertamanya sungguh membuat saya terkejut. Rupanya menulis untuknya adalah sebuah pergulatan ego, emosi dan logika. Sahabat saya ini benar. Bahkan di buku 'Menulis dan Berpikir Kreatif' yang baru-baru ini saya baca,  Ayu Utami sempat mengatakan bahwa menulis itu sama dengan menelanjangi diri sendiri. Kamu bisa dibaca dari tulisanmu. Dan bagi beberapa orang, itu bisa jadi menakutkan.

Tapi saya bahagia akhirnya Gadis yang Dulu Bermimpi menjadi Putri ini melampaui batas ketakutan dirinya sendiri.

Di tengah kebahagiaan karena sahabat saya ini menemukan lagi alasan untuk menulis, saya teringat ucapan ulang tahun yang pernah ia tulis untuk saya. Sudah lama sekali, musim semi tahun kemarin. Ucapan ulang tahun yang dipenuhi harapan-harapan baik untuk hidup saya.
Dear Gadis Pencinta Langit,

Selamat ulang tahun (sekali lagi, dengan hadiah yang terlambat^^). Semoga sehat, sukses, dan bahagia selalu. Semoga Tuhan 'memeluk mimpi-mimpimu'; berkeliling ke sebanyak mungkin desa cantik di dunia, menikmati buku-buku bagus ditemani secangkir teh dan pujaan hati (ah, bahasaku dangdut sekali ya?). Akan ada 'the right man' yang akan bersamamu menata rumah kalian yang penuh rak-rak buku, dengan halaman luas dan bunga-bunganya, serta anak-anak dan hewan peliharaan kalian yang berlari-lari dengan riangnya. Akan ada 'the right man' yang dengan setia membaca tulisanmu, atau sekedar menemanimu menyesap teh hangat menjelang senja.

Semua akan indah pada waktunya, jadi bersabar saja ya. Sebab Tuhan Maha Tahu, tetapi dia menunggu.

Semoga suatu saat aku bisa menemukan novel dengan namamu di sampul depan, dijual di toko-toko buku terdekat :D

Jangan pernah berhenti menulis. Jangan pernah berhenti bermimpi.





Dengan cinta,

Gadis yang Dulu Bermimpi Menjadi Putri

Saya sungguh tidak sabar menunggu sahabat saya ini, Gadis yang Dulu Bermimpi Menjadi Putri, mengisi rumah barunya. Perasaan seperti ini rasanya sungguh menyenangkan.



Perjalanan, Pertanyaan dan Momen-Momen Penasaran

Saya tidak bisa membayangkan ada orang lain yang mengunjungi Borobudur, hanya duduk-duduk di bangku di pelatarannya, tanpa naik ke sampai ke puncak, selain dia. Iya, dia, teman perjalanan saya yang selama ini berbagi langkah-langkah kaki ke banyak tempat. Dia adalah travel companion, a sidekick, somebody who is in the same journey with me. Selama empat musim yang baru berlalu, dia menemani saya bicara sampai tengah malam, mendebatkan banyak perkara tidak penting, tidak melewatkan sedikitpun kesempatan untuk menggoda saya sampai saya marah-marah, dan membuat banyak rencana perjalanan dengan bahagia.

Ketika beberapa waktu lalu kami mengunjungi Borobudur, alih-alih mengamati detail relief dan stupa, ia justru mengajak saya duduk di sudut yang teduh, mengamati pengunjung yang bersemangat, dan mengajukan pertanyaan, "Pengunjung sebanyak ini, masa iya tidak berpengaruh pada candi ini?"

Saya yang sudah tidak terlalu heran dengan perilaku travelingnya yang ajaib hanya menyahut sekenanya, "Candi ini sudah dibuka untuk umum sejak oh-I-dont-know-when, dan dia masih berdiri sampai sekarang."

Dalam hal ini kami memang berbeda. Saya rasa perbedaan ini tidak ada hubungannya dengan jender, tapi memang, dalam perjalanan kami, saya banyak merasa, sementara dia banyak berpikir. Saya cenderung menerima banyak hal begitu saja, tanpa mempertanyakan, sementara dia kebalikannya. Sepertinya mesin-mesin di otaknya selalu sibuk mengolah informasi apa saja yang dikirimkan oleh inderanya.

Misalnya, ketika kami masih di negeri para penyihir dan sedang berjalan-jalan di taman. Ketika saya menemui pepohonan, saya berdiri di bawahnya dan merasa bahagia. Saya sibuk merasakan hembusan angin sambil memejamkan mata, dan berharap ketika mata saya terbuka saya akan melihat peri pohon melambai-lambai dari ranting terendah. Tapi, dia justru mengamati sebuah pohon dan penasaran setengah mati kenapa, tidak seperti pohon-pohon yang lain, pohon itu dikelilingi oleh pagar pendek.

Sampai akhirnya kami menemukan sebuah plakat yang menerangkan pohon itu ditanam oleh anggota keluarga Kerajaan ketika ia berkunjung ke kota kecil kami.

Pertanyaan-pertanyaan sidekick saya ini memang sering membawa kami ke penemuan-penemuan tak terduga.

Di Borobudur, hal itu terjadi lagi. 

Mendengar jawaban saya tadi, dia memandang saya dengan pandangan tak percaya. Entah sudah berapa kali dia mengatakan saya ini kurang peka. Termasuk ketika saya berjalan begitu cepat dan cenderung berdesakkan dengan orang-orang, tanpa sadar yang saya desak-desak adalah orang tua yang memakai tongkat. Dia sering memarahi saya karena sifat saya ini.

Tapi kali ini dia hanya diam, mengambil ponselnya dan mulai mengetik sesuatu. Saya tahu apa yang dia lakukan. Google adalah teman terbaiknya di momen-momen penasaran seperti ini.

"Nih, dengar," serunya tak lama kemudian. "Beberapa waktu lalu dilaporkan, pondasi Candi Borobudur telah amblas sedalam 1,7 sentimeter. Penyebabnya, daya dukung lingkungan semakin rendah karena Candi Borobudur terlampau berat menahan beban batu dan orang di atasnya."

Saya tidak tahu bagaimana harus menanggapi selain dalam hati mengakui rasa penasarannya lagi-lagi benar.

Ia terus membacakan artikel yang ia temukan itu, tentang bagian-bagian candi yang aus karena terlalu sering disentuh, tentang cuaca yang membuat batu-batu semakin lapuk, dan tentang pengunjung yang tidak peduli. Ketika artikel itu selesai dibaca, dia memandang ke candi megah di hadapan kami dan berkata pelan, "Kasian sekali Borobudur ini. Demi kepentingan ekonomi, dia harus menderita, diinjak sana-sini sampai amblas. Sudah, kita lihat dari sini saja, tidak usah ikut naik."

Saya merasa itu keputusan yang aneh. Tapi, sudahlah, lagipula ini bukan pertama kalinya saya ke Borobudur. Akhirnya yang keluar adalah pertanyaan wajib saya ketika saya diperhadapkan pada kebiasaannya mengkritik, "Jadi, menurutmu bagaimana baiknya Borobudur ini diperlakukan?"

Dia menaikkan alis. "Batasi jumlah pengunjung, itu paling mudah. Naikkan harga tiket supaya mereka yang datang memang hanya benar-benar mereka yang tertarik dan pastinya cukup peduli pada kelangsungan candi ini."

Duh. Tema ini: pertimbangan ekonomi versus pertimbangan kelestarian. Di negeri ini pariwisata berputar pada dua titik pendulum ini. Sebenarnya ini bisa jadi bahan diskusi yang menarik, tapi siang itu, dan seperti siang-siang biasanya, saya malas berpikir. Cuaca panas sekali. Jadi akhirnya saya cuma diam membiarkan dia merenungi nasib malang candi warisan wangsa Syailendra ini.

Saya tidak tahu berapa lama kami duduk-duduk di pelataran itu. Sepertinya cukup lama. Saya mengamati rombongan turis Cina yang mengambil kesempatan berkunjung untuk berdoa di hadapan Buddha. Sementara dia, asyik berselancar di dunia maya, mencari tahu jawaban dari semua pertanyaan yang muncul dari otaknya yang selalu sibuk. Kadang dia akan membacakan fakta menarik yang dia temukan, tentang nama arsitek Borobudur, bagaimana teknik candi itu dibangun dan tentang bagaimana pengelola kastil tua di Jerman mewajibkan pengunjungnya memakai sandal khusus agar lantai pualam kastil tidak rusak. Saya seperti murid yang manis mendengarkan guru sejarah sedang mengajar.

Diam-diam, saya berjanji agar lain kali lebih banyak mengajukan pertanyaan dalam perjalanan-perjalanan kami.

Matahari semakin beranjak naik. Cuaca semakin panas. Dia bertanya apakah saya sudah ingin pulang.

"Kamu benar-benar tidak mau naik ke atas?" tanya saya entah untuk kali keberapa.

Dia hanya tersenyum dan menjawab singkat, "Ada keindahan yang cuma perlu dilihat, tanpa perlu disentuh."

Saya tertegun.

Memang sidekick saya ini ajaib. Sampai sekarang saya masih menduga dia tidak naik ke puncak Candi karena cuaca yang panas, bukan karena dia berniat mulia tidak menambah kerusakan Borobudur. Tapi, apapun itu, lagi-lagi rasa penasarannya menambahkan sesuatu pada perjalanan kami.

5 Jan 2016

Jembatan

“Aku punya seorang adik perempuan. Namanya Sabrina.”

Malam itu kencan pertama kita. Kau membawaku ke warung nasi uduk yang cukup terkenal di selatan Jakarta. Aku masih ingat nada bangga dalam suaramu waktu kau bercerita tentang adikmu itu.
 
“Bapak menamainya Sabrina karena dia lahir tanggal 5 Oktober. Hari Abri,” kau melanjutkan. Matamu memandang ke kejauhan.

Ah, aku suka sekali melihat matamu menerawang. Pasti kau merindukan mereka, rumahmu, keluargamu. Sendirian di kota kacau ini memang melelahkan.

“Seingatku, dulu juga ada film berjudul Sabrina,” balasku. “Pemainnya Harrison Ford. Aku tidak sengaja nonton film itu waktu aku terbangun tengah malam dan setelah itu tidak bisa tidur lagi. Sudah lama sekali.”

Kau tersenyum. Terkendali. Sepertinya kau memang selalu terkendali. Senyummu, tawamu, gelisahmu.

“Seperti apa ceritanya?” tanyamu.

“Film itu?” aku balas bertanya.

“Tentu saja film itu,” jawabmu tak sabar.

“Aku lupa,” sahutku sambil lalu. Aku sibuk mengaduk gula yang tak juga mau larut dalam gelas es jerukku.

Kerut-kerut muncul di dahimu. Rautmu menunjukkan kau tak puas dengan jawabanku. Kau sudah terlanjur penasaran rupanya.

“Love story,” sahutku cepat. “Yang paling aku ingat, di film itu diceritakan, Paris dihubungkan oleh banyak sekali jembatan. Kalau ada pasangan kekasih bisa berjalan berdua menyusuri semua jembatan itu, maka...”

“Cinta mereka akan abadi?” kau memotong ucapanku.

“Bagaimana kau tahu?” seruku.

“Klasik,” sahutmu singkat.

Lagi, aku meminum es jeruk yang sudah tinggal seperempat. Lalu aku berkata pelan, “Aku juga ingin ke Paris. Mungkin suatu hari nanti.”

“Untuk apa?” tanyamu. Aku menangkap nada aneh dalam suaramu. Tapi, entah, sepertinya waktu itu aku hanya membiarkannya.

Aku hanya menjawab pertanyaanmu. “Menulis puisi,” sahutku.

Dan kau tidak mengatakan apapun.

***

Ternyata Paris memang dihubungkan oleh banyak sekali jembatan. Mungkin lebih dari 30 jembatan menghubungkan kedua tepian Sungai Seine. Sekarang aku tahu kenapa pasangan yang bisa menyusuri jembatan ini cintanya akan abadi. Alasannya sederhana. Mereka pasti telah melewatkan banyak waktu bersama. Seperti yang pernah kau bilang dulu, cinta ditumbuhkan oleh waktu dan kebersamaan.

Baiklah, itu bisa diterima. Tapi apa yang terjadi kalau, seseorang yang kehilangan cintanya, seperti aku, menyusuri jembatan-jembatan itu? Apakah lukanya akan sembuh seiring waktu dan kesendirian? Atau akankah ada keajaiban yang membawa cintanya kembali? Atau akankah ada cinta lain yang ditemukan entah di jembatan yang mana?

Karena aku sering berjalan di jembatan-jembatan itu, bersama waktu, kesendirian dan kenangan. Kadang hanya berdiri, bersandar, mengamati riak sungai dan menghitung daun-daun yang mulai gugur.

Aku seperti tokoh wanita di film Saawariya.

Kalau kau mendengarnya, pasti kau tertawa. Ini adalah sisi unikku yang, katamu, paling tidak bisa kau mengerti. Bagaimana mungkin, pembaca sastra penerima nobel, pendengar musik klasik, jazz dan opera, pengunjung tetap museum-museum sejarah, tetap masih punya ruang untuk film India, bahkan hafal semua lagu-lagunya?

Tapi Saawariya ini berbeda. Meskipun film India, ceritanya diambil dari cerpen Fyodor Dostoyevski, Nights in White Satin. Film itu magis, menurutku. Gadis di film itu menunggu kekasihnya pulang. Ia menunggu di jembatan, setiap malam, selama bertahun-tahun, sampai kekasihnya kembali.

“Apakah kekasihnya kembali?” tanyamu dulu.

Kujawab dengan anggukan kepala.

Aku seperti mendengar suaramu, “Klasik.” Sinis seperti biasa.

Tapi bersandar di jembatan ini sekarang, membuatku bertanya, “Kalau aku, aku menunggu siapa?”

Melihatmu muncul di ujung jembatan ini adalah sama mustahilnya dengan mengharapkan daun-daun pohon poplar berwarna hijau di musim dingin.

Sungguh, kita terlanjur berdiri di dua jembatan yang berbeda.

***

Waktu itu kau bertanya, “Kenapa kau ingin terbang?”

Aku diam. Bukan cuma tanya yang kudengar. Ada sesal. Kau menyesal? Merasa terlambat? Kau datang saat semua aplikasi sudah kukirim. Bahkan aku sudah lulus seleksi tahap pertama.

“Kamu ingin menyentuh langit?”

Waktu itu aku justru mengingat pertemuan pertama kita.

“Teman baru,” begitu Mas Seno memperkenalkan kita dulu. Jabat tangan pertama kita dan senyum pertamamu yang kulihat, bahkan sekarangpun masih bisa kuingat.

“Aku tidak bisa bila orang yang kusayangi harus jauh dari aku,” katamu. Lamunanku buyar. Aku hanya menghembuskan nafas panjang.

Sekarang aku tahu mengapa kau sering sekali bercerita tentang keluargamu yang selalu makan malam bersama, atau acara bakar sampah tiap sore yang diiringi sorak dan tawa adik-adikmu. Sekarang aku tahu kenapa kau mengagumi kebiasaan minum teh sore-sore dalam keluargaku. Sekarang aku tahu kenapa kau selalu bilang tidak mengerti jalan pikiran manajer kita yang meninggalkan istri dan anaknya, hanya menemui mereka seminggu sekali, untuk bekerja di ibukota. Sekarang aku tahu, bagimu, cinta adalah bersama. Keluarga adalah bersama.

Tapi apa kau lupa? Bukankah aku pernah bilang, kepergianku tidak selamanya. Aku tidak pernah takut memilih. Jika saja kau mau percaya, yang terpenting bukan dimana aku berada, tapi dengan siapa.

I told you, someday, I would go back home to stay…




Jakarta, Juli 2010
Direvisi di Magelang, Januari 2015






3 Jan 2016

Merah Jambu, Jingga dan Ungu

Langit senja hari ini berwarna merah jambu. Mungkin dia sedang jatuh cinta. Karena jingga berarti rindu, sedangkan ungu adalah ingatan tentang masa lalu.

Selama ini memang senja lebih banyak bicara tentang rindu. Seperti senja di kotamu. Mungkin karena senja adalah perpisahan yang sementara, yang menantikan perjumpaan ketika waktunya tiba.

Jadi, bagaimana kalau kukirimkan senja merah jambu ini kepadamu? Atau, nanti ketika kita bertemu lagi di kota yang menderu itu, aku akan bercerita tentang senja merah jambu, lalu kita bisa bicara tentang rindu. Pun aku tak keberatan mengikutimu mengenang hari-hari bahagia yang belum lama lalu.

Hari itu, hati kita berwarna merah jambu, jingga dan ungu.