22 Jan 2016

Kau dan Seorang Gadis


Kau mengenal seorang gadis. Oh, bukan kenal. Lebih tepatnya, tahu, hanya sekedar tahu. Bagaimana kalian bisa saling tahu sepertinya terlalu panjang untuk diceritakan. Hanya saja jika kau mengingatnya, kau masih terheran-heran karena hidup ternyata bisa benar-benar dramatis.

Semua berawal dari kenyataan bahwa kalian mengharapkan hal yang sama, seseorang yang sama, pria yang sama.

Kau sering berpikir perasaanmu untuk pria itu tidak ada bandingannya dibandingkan perasaan gadis ini. Lihat saja, gadis ini begitu kuat bertahan dalam penantian yang tidak berujung. Dia begitu tersiksa oleh jarak yang memaksanya mengenal arti menanti. Dia menghitung setiap detik, menit, jam dan hari. Entah berapa purnama yang ia lewati dalam air mata dan ketidakpastian. Entah berapa banyak malam yang ia habiskan untuk merangkai pertanyaan tentang harapan. Berulangkali dia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah dia harus terus menanti, atau berhenti. Bahkan kau pun mengerti, hati tidak semudah itu diyakinkan untuk melepaskan harapan.

Sementara kau, sejak awal kau memutuskan untuk tidak bertanya apa-apa. Kau memilih mencintai dengan berani, sekadar menjalani kedekatan yang sepertinya niscaya. Kau tahu, melepaskan adalah bentuk kepasrahan, dan kau hanya tinggal menggali sedikit keberanian. Lalu ketika kau harus berkompromi dengan jarak, kau memilih menjalani hari dengan berlari. Memang ada waktu kau akan mengingat pria itu, tapi cukup, kau mengerti waktu memiliki ritme sendiri. Entah, harapanmu sepertinya berwujud berbeda. Bisa bersamanya saja rasanya cukup. Kalau bisa, kau hanya ingin menghentikan waktu, karena bisa memiliki pria itu sungguh adalah kemurahan semesta. Kadang kau bahkan tak sampai hati memintanya di dalam doa. Kau hanya meminta kalian berdua bahagia, terserah bagaimana semesta menerjemahkannya.

Mungkin benar, perasaanmu untuk pria ini memang tidak sebesar gadis itu.

Bagaimanapun, gadis itu menunjukkan bagian-bagian dirimu yang kau kira sudah lenyap. Bertahun-tahun kau berusaha menguburnya, tapi rupanya bagian-bagian itu masih ada, rupanya kau tidak pernah benar-benar membenci bagian-bagian dirimu yang itu. Kau baru tahu,  ternyata kau, sedikit banyak, masih membutuhkan dirimu yang dulu.

Di matamu, ada beberapa hal dalam diri gadis ini yang, entah kebetulan entah tidak, sama denganmu. Kalian sepertinya sama-sama suka membaca. Tapi kau tidak yakin daftar bacaannya serumit daftar bacaanmu. Kau juga tidak yakin koleksi bukunya sebanyak koleksi bukumu yang bertebaran bahkan sampai ke kolong tempat tidur. Ah, lihat, kesombongan, sahabat lamamu, mulai muncul. Seperti saat kau membaca beberapa tulisan gadis itu dan yang ada di pikiranmu adalah kesalahan ejaan dan ketidak tepatan diksi. Kau lupa, kau sendiri masih sering lupa di mana kau harus meletakkan koma pada sebuah kalimat langsung, atau bagaimana kau masih saja menulis dengan mengulang banyak kata.

Kalian memang sama-sama suka menulis. Kau tahu dia diam-diam membaca tulisanmu dan merasa terluka. Kata-kata memang bisa begitu tajam. Kau paham itu. Tapi kau tetap tidak mau berhenti menulis apa yang memang ingin kau tulis. Bagimu, ini adalah bagian dirimu yang tidak bisa diganggu. Banyak orang bilang kau harus lebih lembut pada gadis ini. Mereka bilang gadis ini tidak sekuat kau. Mereka bilang gadis itu adalah korban, entah korban permainan, entah korban perasaan. Tapi bagimu, setiap orang bertanggung jawab pada hatinya sendiri. Menjadi tenggelam dalam permainan adalah pilihan. Pilihan memiliki risikonya sendiri, dan penyesalan tidak seharusnya mengikuti.

Menyangkut gadis ini, tiba-tiba kau mengerti, ternyata kau masih begitu keras, acuh, tak peduli.

Mungkin kau tidak bisa mengasihani gadis ini karena kau tidak terbiasa mengasihani dirimu sendiri. Kadang kau iri karena gadis ini bebas mengeluhkan banyak hal: terik matahari, kemacetan jalan raya, beban kerja atau pesan singkat yang belum dibalas. Dibandingkan denganmu, kau banyak menelan keluhan karena menurutmu itu tidak berguna. Tapi jujurlah, betapa kadang kau benar-benar ingin mengeluh. Oh ya, kau pernah mengeluh, tapi tak seorangpun percaya keluhanmu. Mereka bilang, kau hanya bermain drama. Mereka bilang, untukmu, semua pasti mudah. Mereka bilang, orang sepertimu tidak seharusnya mengeluh. Kau bosan menemukan ketika kau sungguh ingin mengeluh, dunia seperti tidak mengizinkan. Kau lelah menemukan keluhanmu lenyap. Hingga kau memaksa dirimu tidak lagi mengeluh. Hingga kau menganggap orang lain, termasuk gadis ini, juga tidak perlu mengeluh.

Tapi kau menganggap gadis ini beruntung karena dia begitu bebas dengan perasaannya. Dia mengungkapkan cemburunya, dia meledakkan amarahnya, entah benar entah salah. Sementara kau... kau menguburnya dalam-dalam. Kau begitu tangguh menyembunyikan isi hatimu, entah itu rindu, entah itu cemburu. Berulang kali kau mengajar hatimu: cemburu atau rindu harus diterjemahkan pada tempatnya karena sering bersama tidak lantas memberimu hak. Untukmu, hati harus terkendali. Kau memang masih penuh harga diri seperti dulu. Harga dirimu itu tidak membiarkanmu kehilangan kendali. Kau mendengarkan harga dirimu sedalam itu. Kau membiarkan harga dirimu bicara sejauh itu. Tapi jujurlah, bukankah kau sebenarnya berharap bisa membebaskan perasaanmu seperti gadis ini?

Hingga, suatu hari kau memandang dirimu sendiri di dalam cermin. Kau merasa sudah cukup bahagia dengan semua yang kau punya. Lalu kau mengingat gadis itu dan bertanya-tanya apakah dia juga merasa cukup bahagia sepertimu. Jauh di dalam hatimu ada perasaan angkuh yang tak lagi asing.

Keangkuhanmu itu mendengarkan logikamu berkata, "Bersama pria ini kau pasti semakin bahagia." Tapi, di saat yang sama nuranimu juga berbicara, "Jika pria ini tidak ditakdirkan untukmu, kau tetap tidak kekurangan kebahagiaan. Tapi, bagaimana jika bagi gadis itu, pria ini adalah kebahagiaan terbesarnya? Jika benar kau sudah cukup bahagia, bagaimana kalau kau memberikan satu saja kebahagiaanmu untuknya?"

Dan kau lugas berkata tidak.

Entah karena kau benar-benar menyayangi pria itu. Entah karena kau sebenarnya, seperti dulu, benci menjadi pihak yang kalah.



No comments:

Post a Comment