Kau mengenal seorang gadis. Oh, bukan kenal.
Lebih tepatnya, tahu, hanya sekedar tahu. Bagaimana kalian bisa saling tahu
sepertinya terlalu panjang untuk diceritakan. Hanya saja jika kau mengingatnya,
kau masih terheran-heran karena hidup ternyata bisa benar-benar dramatis.
Semua berawal dari kenyataan bahwa kalian
mengharapkan hal yang sama, seseorang yang sama, pria yang sama.
Kau sering berpikir perasaanmu untuk pria itu
tidak ada bandingannya dibandingkan perasaan gadis ini. Lihat saja, gadis ini
begitu kuat bertahan dalam penantian yang tidak berujung. Dia begitu
tersiksa oleh jarak yang memaksanya mengenal arti menanti. Dia menghitung
setiap detik, menit, jam dan hari. Entah berapa purnama yang ia lewati dalam
air mata dan ketidakpastian. Entah berapa banyak malam yang ia habiskan untuk
merangkai pertanyaan tentang harapan. Berulangkali dia bertanya kepada dirinya
sendiri, apakah dia harus terus menanti, atau berhenti. Bahkan kau pun mengerti, hati tidak semudah itu diyakinkan untuk melepaskan
harapan.
Sementara kau, sejak awal kau memutuskan untuk
tidak bertanya apa-apa. Kau memilih mencintai dengan berani, sekadar menjalani
kedekatan yang sepertinya niscaya. Kau tahu, melepaskan adalah bentuk
kepasrahan, dan kau hanya tinggal menggali sedikit keberanian. Lalu ketika kau
harus berkompromi dengan jarak, kau memilih menjalani hari dengan berlari.
Memang ada waktu kau akan mengingat pria itu, tapi cukup, kau mengerti waktu
memiliki ritme sendiri. Entah, harapanmu sepertinya berwujud berbeda. Bisa
bersamanya saja rasanya cukup. Kalau bisa, kau hanya ingin menghentikan waktu,
karena bisa memiliki pria itu sungguh adalah kemurahan semesta. Kadang kau
bahkan tak sampai hati memintanya di dalam doa. Kau hanya meminta kalian berdua
bahagia, terserah bagaimana semesta menerjemahkannya.
Mungkin benar, perasaanmu untuk pria ini memang tidak sebesar gadis itu.
Bagaimanapun, gadis itu menunjukkan bagian-bagian
dirimu yang kau kira sudah lenyap. Bertahun-tahun kau berusaha menguburnya,
tapi rupanya bagian-bagian itu masih ada, rupanya kau tidak pernah benar-benar
membenci bagian-bagian dirimu yang itu. Kau baru tahu, ternyata kau,
sedikit banyak, masih membutuhkan dirimu yang dulu.
Di matamu, ada beberapa hal dalam diri gadis ini
yang, entah kebetulan entah tidak, sama denganmu. Kalian sepertinya sama-sama
suka membaca. Tapi kau tidak yakin daftar bacaannya serumit daftar
bacaanmu. Kau juga tidak yakin koleksi bukunya sebanyak koleksi bukumu
yang bertebaran bahkan sampai ke kolong tempat tidur. Ah, lihat, kesombongan, sahabat lamamu, mulai muncul. Seperti
saat kau membaca beberapa tulisan gadis itu dan yang ada di pikiranmu adalah
kesalahan ejaan dan ketidak tepatan diksi. Kau lupa, kau sendiri masih sering lupa di mana kau harus
meletakkan koma pada sebuah kalimat langsung, atau bagaimana kau masih saja
menulis dengan mengulang banyak kata.
Kalian memang sama-sama suka menulis. Kau tahu
dia diam-diam membaca tulisanmu dan merasa terluka. Kata-kata memang bisa
begitu tajam. Kau paham itu. Tapi kau tetap tidak mau berhenti menulis apa yang
memang ingin kau tulis. Bagimu, ini adalah bagian dirimu yang tidak bisa
diganggu. Banyak orang bilang kau harus lebih lembut pada gadis ini. Mereka
bilang gadis ini tidak sekuat kau. Mereka bilang gadis itu adalah korban, entah
korban permainan, entah korban perasaan. Tapi bagimu, setiap orang bertanggung
jawab pada hatinya sendiri. Menjadi tenggelam dalam permainan adalah pilihan.
Pilihan memiliki risikonya sendiri, dan penyesalan tidak seharusnya mengikuti.
Menyangkut gadis ini, tiba-tiba kau mengerti,
ternyata kau masih begitu keras, acuh, tak peduli.
Mungkin kau tidak bisa mengasihani gadis ini
karena kau tidak terbiasa mengasihani dirimu sendiri. Kadang kau iri karena
gadis ini bebas mengeluhkan banyak hal: terik matahari, kemacetan jalan raya,
beban kerja atau pesan singkat yang belum dibalas. Dibandingkan denganmu, kau
banyak menelan keluhan karena menurutmu itu tidak berguna. Tapi jujurlah, betapa
kadang kau benar-benar ingin mengeluh. Oh ya, kau pernah mengeluh, tapi tak
seorangpun percaya keluhanmu. Mereka bilang, kau hanya bermain drama. Mereka bilang,
untukmu, semua pasti mudah. Mereka bilang, orang sepertimu tidak seharusnya
mengeluh. Kau bosan menemukan ketika kau sungguh ingin mengeluh, dunia seperti
tidak mengizinkan. Kau lelah menemukan keluhanmu lenyap. Hingga kau memaksa
dirimu tidak lagi mengeluh. Hingga kau menganggap orang lain, termasuk gadis
ini, juga tidak perlu mengeluh.
Tapi kau menganggap gadis ini beruntung karena dia
begitu bebas dengan perasaannya. Dia mengungkapkan cemburunya, dia meledakkan
amarahnya, entah benar entah salah. Sementara kau... kau menguburnya
dalam-dalam. Kau begitu tangguh menyembunyikan isi hatimu, entah itu rindu,
entah itu cemburu. Berulang kali kau mengajar hatimu: cemburu atau rindu harus
diterjemahkan pada tempatnya karena sering bersama tidak lantas memberimu hak.
Untukmu, hati harus terkendali. Kau memang masih penuh harga diri seperti dulu.
Harga dirimu itu tidak membiarkanmu kehilangan kendali. Kau mendengarkan harga
dirimu sedalam itu. Kau membiarkan harga dirimu bicara sejauh itu. Tapi jujurlah, bukankah kau sebenarnya berharap bisa membebaskan perasaanmu seperti gadis ini?
Hingga, suatu hari kau memandang dirimu sendiri di dalam
cermin. Kau merasa sudah cukup bahagia dengan semua yang kau punya. Lalu kau mengingat gadis itu dan bertanya-tanya apakah dia juga merasa cukup bahagia sepertimu. Jauh di dalam hatimu ada perasaan angkuh yang tak lagi asing.
Keangkuhanmu itu mendengarkan logikamu berkata, "Bersama pria ini kau pasti semakin bahagia." Tapi, di saat yang sama nuranimu juga berbicara, "Jika pria ini tidak ditakdirkan untukmu, kau tetap tidak kekurangan kebahagiaan. Tapi, bagaimana jika bagi gadis itu, pria ini adalah kebahagiaan terbesarnya? Jika benar kau sudah cukup bahagia, bagaimana kalau kau memberikan satu saja kebahagiaanmu untuknya?"
Keangkuhanmu itu mendengarkan logikamu berkata, "Bersama pria ini kau pasti semakin bahagia." Tapi, di saat yang sama nuranimu juga berbicara, "Jika pria ini tidak ditakdirkan untukmu, kau tetap tidak kekurangan kebahagiaan. Tapi, bagaimana jika bagi gadis itu, pria ini adalah kebahagiaan terbesarnya? Jika benar kau sudah cukup bahagia, bagaimana kalau kau memberikan satu saja kebahagiaanmu untuknya?"
Dan kau lugas berkata tidak.
Entah karena kau benar-benar menyayangi pria itu.
Entah karena kau sebenarnya, seperti dulu, benci menjadi pihak yang kalah.
No comments:
Post a Comment