Dari kedai es krim Italia, gadis dan pemuda itu memutuskan duduk-duduk di pelataran katedral dan menikmati es krim mereka disana. Sore itu akhir musim panas, sekitar pukul empat sore. Matahari masih bersinar, namun udara kadang mulai terasa dingin. Tidak banyak lagi orang yang berjemur di luar ruangan. Mereka hanya melihat sepasang muda-mudi yang bersantai sambil merokok di area dekat pemakaman yang nampak tua dan terlupakan. Si pemudi memakai stocking jala dan lipstick merah menyala. Sangat atraktif.
Pemuda itu memilih sebuah bangku di dekat rumpun-rumpun lavender. Disitu mereka cukup terlindung dari sinar matahari yang mulai turun ke arah barat. Gadis itu memandang ke sekeliling, patung raja yang mengangkat mahkota, rumpun-rumpun mawar yang menemani nisan-nisan, lampu-lampu jalan dengan tiangnya yang tinggi, juga menara gereja.
"Kita pasti akan merindukan semua ini saat pulang nanti," katanya.
"Merindukan apa?" tanya si pemuda sambil asyik memakan es krimnya, hazelnut, cokelat, dan pistacchio.
"Merindukan apa?" tanya si pemuda sambil asyik memakan es krimnya, hazelnut, cokelat, dan pistacchio.
Tanpa menoleh kepada si pemuda, gadis itu menjawab sekilas, "Suasana seperti ini." Ia tersenyum sekilas lalu melanjutkan, "Aku pasti akan merindukan langit biru itu, udara sejuk, pepohonan, bunga-bunga, bahkan es krim ini."
Pemuda itu terdiam. Pandangannya nampak jauh.
"Hei, apa yang kau pikirkan?" seru gadis itu.
Pemuda itu menatapnya. "Aku pikir, aku tidak akan pulang."
"Apa maksudmu?"
"Aku sedang mencari jalan supaya aku bisa tetap di negara ini. Entah, mungkin melamar pekerjaan," kali ini pemuda itu memandang gelas es krimnya. "Tapi kalau memang aku harus pulang, itu hanya sementara."
"Aku sedang mencari jalan supaya aku bisa tetap di negara ini. Entah, mungkin melamar pekerjaan," kali ini pemuda itu memandang gelas es krimnya. "Tapi kalau memang aku harus pulang, itu hanya sementara."
Gadis itu tidak berkata apapun. Ia hanya memberikan pandangan penuh pertanyaan dan pemuda itu memahaminya lalu melanjutkan, "Aku akan kembali ke benua ini."
Kali ini gadis itu terbelalak. Ia berseru tanpa sempat mengeluarkan sendok es krim dari mulutnya, "Maksudmu kuliah lagi?"
Pemuda itu tertawa, tapi ia mengangguk. "Ck, kamu tidak perlu sekaget itu. Makan dulu baru ngomong. Dagumu jadi penuh es krim..."
Dengan punggung tangannya gadis itu mengusap dagunya. Ia sendiri tertawa. Mereka sudah terlalu kenal untuk saling merasa malu saat melakukan perbuatan-perbuatan bodoh. "Aku hanya kaget," kata gadis itu. "Maksudku, itu bagus. When one dream has been achieved, that's the time to make new dreams. But, well, yours is not really new then."
Dengan punggung tangannya gadis itu mengusap dagunya. Ia sendiri tertawa. Mereka sudah terlalu kenal untuk saling merasa malu saat melakukan perbuatan-perbuatan bodoh. "Aku hanya kaget," kata gadis itu. "Maksudku, itu bagus. When one dream has been achieved, that's the time to make new dreams. But, well, yours is not really new then."
"It's brand new! Aku akan belajar subject baru, di kampus yang baru, di negara yang baru, dengan semangat yang baru. It's new!"
Lagi-lagi gadis itu tertawa. Diam-diam ia menyukai saat-saat pemuda itu nampak keras kepala. Ia juga mengagumi ketekunannya dan bagaimana kadang ia begitu tajam mengkritisi banyak hal disekelilingnya.
"Kalau kau, apa rencanamu? Kantormu benar-benar akan menugaskanmu ke luar negeri?"
Gadis itu mengangguk. Kali ini menelan es krimnya baru setelah itu menjawab, "Iya, mungkin akhir tahun depan."
"Bagaimana kalau kau bertugas di negara tempat aku nanti kuliah?"
"Kenapa begitu?"
Pemuda itu hanya menaik-naikkan alisnya.
"Supaya kau masih bisa sering-sering menggangguku?"
"Tidak," sahut pemuda itu. "Supaya kita masih bisa jalan-jalan naik sepeda atau duduk-duduk makan es krim seperti ini... Tapi yang lebih penting, supaya aku bisa pinjam uang kalau-kalau uangku habis. Kan aku mahasiswa, sementara statusmu pekerja. Uangmu pasti banyak."
Gadis itu memukul bahu pemuda itu sambil berkata, "Enak saja, memangnya kau pikir aku ini bank sentral?"
Si pemuda menghindari pukulan gadis itu lalu balas menarik rambutnya. Untuk beberapa saat gadis itu masih memegang-megang kepalanya sambil mengomel, sementara si pemuda menghabiskan sendokan-sendokan terakhir es krimnya. Setelah itu mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sekawanan burung merpati terbang di atas kepala mereka. Sepertinya mereka dalam perjalanan pulang entah kemana, mungkin ke pepohonan di tepi sungai di barat kota, atau mungkin ke taman dekat museum.
Tiba-tiba pemuda itu memecah kesunyian, "Kau pernah merasa takut dengan masa depan?"
"Sepertinya tidak," sahut gadis itu. Ia memain-mainkan ujung tangkai lavender. "Maksudku, kadang iya, tapi lebih sering tidak. Entahlah, aku banyak membuat rencana, aku memimpikan banyak hal, aku berusaha dan berdoa. Aku sudah memimpikan tinggal di benua ini sejak aku masih di sekolah menengah. Aku sudah merencanakan melanjutkan sekolah di negara ini mungkin sejak tiga tahun yang lalu. Aku lebih sering merasa excited daripada takut. Semacam merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi. Kalau kau?"
Pemuda itu menghela nafas panjang. "Aku, bagaimana ya... Aku justru berpikir sudah saatnya aku berhenti menjadi idealis. Aku punya impian, tentu saja. Tapi aku juga punya banyak kesempatan bagus yang tidak aku ambil karena semua itu tidak ada dalam rencanaku. Aku memutuskan bersekolah lagi karena aku bosan dengan business as usual."
Gadis itu mengangguk tanda mengerti. "Kau tahu, seseorang bisa saja mengambil jalan memutar sebelum ia benar-benar sampai ke tujuannya. Jadi tidak ada salahnya mengambil sebuah kesempatan, karena siapa tahu dari kesempatan itu kita bisa belajar sesuatu."
Pemuda itu justru tertawa. Lawan bicaranya menatapnya keheranan. "Kenapa kau tertawa?"
"Kadang-kadang aku merasa kau ini sok bijaksana," sahut pemuda itu. Ia masih tertawa.
Pemuda itu justru tertawa. Lawan bicaranya menatapnya keheranan. "Kenapa kau tertawa?"
"Kadang-kadang aku merasa kau ini sok bijaksana," sahut pemuda itu. Ia masih tertawa.
"Tapi aku benar!" seru gadis itu dengan nada sebal. "Misalnya aku, aku sebenarnya ingin bersantai saja di rumah, membaca buku dan menulis cerita-cerita. Aku sebenarnya bermimpi menerbitkan buku dengan namaku di sampulnya. Tapi ketika hidup membawaku berkelana, aku ikuti saja. Aku pikir, semua yang aku temui dari perjalanan-perjalanan itu bisa jadi bahan cerita yang menarik."
"Iya, iya, kau benar. Itulah kenapa aku memutuskan sekolah lagi. Strata yang sama, dengan bidang ilmu yang agak sedikit berbeda. Pasti akan sangat menyenangkan."
"Itu bagus," gadis itu mengangguk. "Aku juga berpikir, ke negara manapun aku nanti ditugaskan, pasti akan sangat menyenangkan. Aku suka suasana yang asing, menemukan hal-hal baru, kenal dengan orang-orang baru."
"Hidupmu itu memang penuh petualangan. And yes, that's exciting!"
"Hidupmu itu memang penuh petualangan. And yes, that's exciting!"
Pemuda itu melihat mata gadis itu berbinar. Ia ingat mereka sering bertengkar karena gadis itu merasa pemuda itu terlalu banyak mempertimbangkan resiko. Sementara untuk gadis itu, melompat ke jurang bisa saja jadi menarik karena siapa tahu di bawah sana mereka akan menemukan harta karun. Tapi, berbicara dengan gadis ini selalu menyenangkan. Seperti sore ini ketika tiba-tiba waktu seperti berlalu begitu saja.
"Sudah malam, sebaiknya kita pulang." kata pemuda itu ketika melihat lampu-lampu jalan sudah menyala. Mereka berdiri dan mulai berjalan ke gerbang. Udara sudah mulai dingin. Pemuda itu merapatkan jaketnya. "By the way," katanya. "Jangan ceritakan pada siapapun soal rencanaku kuliah lagi."
Gadis itu menoleh, "Kenapa?"
Gadis itu menoleh, "Kenapa?"
"Ini baru rencana. Aku tidak ingin membicarakan ini dengan orang-orang yang belum tentu akan mengerti."
Mendengar jawaban si pemuda, gadis itu tersenyum. "Memang kita tidak bisa membicarakan impian kita dengan semua orang. Kau benar. Aku akan tutup mulut..."
Pemuda itu memberikan pandangan penuh terima kasih.
"Tapi sepertinya kau harus mentraktirku es krim tiap minggu untuk itu." tiba-tiba gadis itu melanjutkan.
"Tapi sepertinya kau harus mentraktirku es krim tiap minggu untuk itu." tiba-tiba gadis itu melanjutkan.
Pemuda itu menarik rambut gadis itu seperti biasa dan baru melepaskannya setelah si gadis berjanji akan tutup mulut tanpa syarat apa-apa.
Ketika mereka berjalan menjauh, aku sudah tak lagi mendengar apa yang mereka bicarakan. Sayup-sayup aku hanya mendengar tawa mereka. Aku, sebatang lavender di pelataran gereja. Kadang aku mencuri dengar apa yang dibicarakan orang-orang yang memilih duduk di bangku dekat aku dan teman-temanku tumbuh. Beberapa bicara tentang patah hati yang berlarut, kadang aku juga mendengar cerita-cerita tentang keluarga atau tentang kesibukan di tempat kerja. Aku senang hari ini aku bisa mendengar gadis dan pemuda tadi bicara tentang impian dan masa depan.
Aku juga sepertinya menangkap beberapa pertanda. Ah, tapi sudahlah, sepertinya mereka berdua terlalu sibuk mengejar mimpi dan mempersiapkan masa depan. Tidak ada gunanya memberitahu mereka tentang pertanda-pertanda yang tersembunyi dalam pandangan mata dan nada bicara. Lagipula, siapa tahu pemuda itu sungguh kembali ke benua ini, benua kesukaan gadis itu, benua dimana dia berharap ditugaskan kesana. Kalau itu terjadi, aku berharap mereka kembali ke pelataran ini, di akhir musim panas seperti ini.
Aku sungguh akan senang kalau bisa mencuri dengar percakapan-percakapan mereka lagi.
Aku sungguh akan senang kalau bisa mencuri dengar percakapan-percakapan mereka lagi.
No comments:
Post a Comment