Saya baru sekali menginjakkan kaki di tanah Ternate.
Ingatan kami tentang perjalanan itu tidak banyak: kami menginap di hotel dengan pemandangan gunung di lembaran uang seribu, sambal yang kami temui di kedai ikan bernama Baghdad, dan seorang pria penggemar Prabowo Subianto. Yang disebut terakhir itu mendominasi ingatan saya.
Kami bertemu pria itu di bandar udara Babullah. Dia ditugaskan oleh instansi yang menjadi rekanan kami untuk menjadi pengemudi sekaligus pemandu kami di Ternate. Perawakannya tidak besar, rambutnya agak cepak dan dia bicara begitu cepat dan bersemangat.
Dalam waktu singkat, kami akrab dengannya. Dia banyak bertanya. Tentang kondisi Jakarta, tentang program yang kami lakukan di kota ini, tentang berita yang dia baca di koran saat dia menunggu kami di bandara. Kami menyukai rasa ingin tahunya yang besar. Atasan saya, yang biasanya tidak banyak bicara, ikut larut dalam obrolan bersama pria menyenangkan itu.
Suatu kali, pria itu bercerita tentang kekagumannya pada Prabowo Subianto. Bahkan anak lelakinya yang baru lahirpun ia beri nama Prabowo.Dia bilang dia berkali-kali membaca buku biografi mantan Komandan Kopassus itu. Konon, buku itu pemberian seorang pejabat TNI yang juga pernah diantarnya berkeliling Ternate.
Di kesempatan yang lain, ia bercerita mengenai strategi Perang Sun Tzu. Kami sampai terbengong-bengong mendengar ia menjelaskan tentang tak tik berperang di tanah terbuka, bahkan menyebutkan pada halaman berapa taktik itu dimuat di buku yang ia baca.
Sampai suatu kali, kami melihatnya tidak memakan nasi dan ayam goreng dari restoran cepat saji yang diberikan di tempat kegiatan yang kami adakan. Dia bilang dia menyimpan makan siangnya untuk dibawa pulang. Anaknya selalu ingin makan ayam seperti itu, sementara untuknya harganya terlalu mahal. Ia lebih memilih memberi makan anaknya ikan yang dibeli di pasar.
Kami bertukar pandang. Tidak mengira itu sebabnya. Salah satu dari kami mengatakan, pria itu, juga anak-anaknya, tidak rugi apa-apa. Ikan jauh lebih enak daripada ayam, apalagi ayam cepat saji.
Tapi bagaimanapun, dalam perjalanan menuju hotel, kami mampir ke gerai ayam cepat saji lagi. Kami tidak sampai hati membiarkan satu porsi ayam goreng dibagi untuk dua anak yang selama ini begitu mengidamkannya. Ketika plastik berisi tiga porsi ayam goreng dan nasi berpindah ke tangannya, raut pria itu begitu gembira. Ia bilang, ia akan mengantar kami ke kedai ikan paling enak disana. Lalu sementara kami makan, ia minta ijin pulang ke rumah sebentar mengantar ayam goreng itu. Menurutnya, anak-anaknya pasti sangat senang.
Pria penggemar Prabowo itu memang tidak berhenti mengejutkan kami.
Suatu malam ketika kami dijadwalkan untuk mengisi acara bincang-bincang di radio daerah, ternyata ia berada di mobil dan mendengarkan atasan kami bicara. Ketika semua selesai dan kami kembali ke mobil, dengan logat timur yang kental, ia menyapa atasan kami.
“Terima kasih, Ibu, sudah mengindonesiakan kembali Ternate.”
Atasan saya nampak sedikit terkejut.
“Lho, Ternate ini Indonesia.” Katanya.
“Iya, Ibu,” sahut pria itu lagi. “Tapi kadang saya berpikir, pusat itu sering lupa sama kami. Makanya kami senang sekali Ibu dari pusat mau datang kesini, mengajari anak-anak kami, bicara di radio seperti tadi.”
Untuk pertama kalinya, pria pengagum Prabowo itu menghadirkan selarik kesedihan di hati kami. Ungkapannya berarti lebih dalam dari sekedar pilihan kata sederhana. Bahkan sepertinya dia mewakili kegelisahan yang ada di hati penduduk negeri ini yang kebetulan berada jauh dari Jawa sebagai pusat kekuasaan. Betapa memang masih banyak sudut-sudut negeri yang terlupakan.
Di hotel, kami masih saja membicarakan dia. Pria penggemar Prabowo itu merebut hati kami. Dengan rasa ingin tahunya. Dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dengan kesukaannya membaca.
Ketika pada akhirnya kami harus pulang, bukan pria itu yang mengantar kami, melainkan orang lain. Kami menanyakan keberadaannya pada salah satu staf yang juga ditugaskan mengantar kami. Ia bilang pria penggemar Prabowo itu ditugaskan mendampingi rombongan lain. Ia juga minta maaf kalau pria itu banyak tingkah selama mendampingi kami. Menurutnya, di kantor mereka pria itu dikenal sebagai orang aneh yang suka sekali bicara hal-hal di luar jangkauannya.
Entahlah, hanya saja kami merasa, pria penggemar Prabowo dengan segala kelebihannya sepertinya berada di tempat yang salah. Apa yang menyentuh hati kami justru adalah keanehan bagi orang-orang di sekelilingnya. Miris sekali melihat keingintahuan, kecintaan membaca, dan kegemaran berdiskusi dikelompokkan sebagai bentuk-bentuk keanehan.
Di ruang tunggu kami berpikir sesampainya di Jakarta kami akan mengirimkan buku-buku untuk pria itu. Kami membayangkan dia pasti akan sangat bahagia. Mungkin kami akan membelikannya buku tentang sejarah Indonesia, atau mungkin beberapa buku biografi pejuang pendidikan di daerah perbatasan.
Ingatan kami tentang perjalanan itu tidak banyak: kami menginap di hotel dengan pemandangan gunung di lembaran uang seribu, sambal yang kami temui di kedai ikan bernama Baghdad, dan seorang pria penggemar Prabowo Subianto. Yang disebut terakhir itu mendominasi ingatan saya.
Kami bertemu pria itu di bandar udara Babullah. Dia ditugaskan oleh instansi yang menjadi rekanan kami untuk menjadi pengemudi sekaligus pemandu kami di Ternate. Perawakannya tidak besar, rambutnya agak cepak dan dia bicara begitu cepat dan bersemangat.
Dalam waktu singkat, kami akrab dengannya. Dia banyak bertanya. Tentang kondisi Jakarta, tentang program yang kami lakukan di kota ini, tentang berita yang dia baca di koran saat dia menunggu kami di bandara. Kami menyukai rasa ingin tahunya yang besar. Atasan saya, yang biasanya tidak banyak bicara, ikut larut dalam obrolan bersama pria menyenangkan itu.
Suatu kali, pria itu bercerita tentang kekagumannya pada Prabowo Subianto. Bahkan anak lelakinya yang baru lahirpun ia beri nama Prabowo.Dia bilang dia berkali-kali membaca buku biografi mantan Komandan Kopassus itu. Konon, buku itu pemberian seorang pejabat TNI yang juga pernah diantarnya berkeliling Ternate.
Di kesempatan yang lain, ia bercerita mengenai strategi Perang Sun Tzu. Kami sampai terbengong-bengong mendengar ia menjelaskan tentang tak tik berperang di tanah terbuka, bahkan menyebutkan pada halaman berapa taktik itu dimuat di buku yang ia baca.
Sampai suatu kali, kami melihatnya tidak memakan nasi dan ayam goreng dari restoran cepat saji yang diberikan di tempat kegiatan yang kami adakan. Dia bilang dia menyimpan makan siangnya untuk dibawa pulang. Anaknya selalu ingin makan ayam seperti itu, sementara untuknya harganya terlalu mahal. Ia lebih memilih memberi makan anaknya ikan yang dibeli di pasar.
Kami bertukar pandang. Tidak mengira itu sebabnya. Salah satu dari kami mengatakan, pria itu, juga anak-anaknya, tidak rugi apa-apa. Ikan jauh lebih enak daripada ayam, apalagi ayam cepat saji.
Tapi bagaimanapun, dalam perjalanan menuju hotel, kami mampir ke gerai ayam cepat saji lagi. Kami tidak sampai hati membiarkan satu porsi ayam goreng dibagi untuk dua anak yang selama ini begitu mengidamkannya. Ketika plastik berisi tiga porsi ayam goreng dan nasi berpindah ke tangannya, raut pria itu begitu gembira. Ia bilang, ia akan mengantar kami ke kedai ikan paling enak disana. Lalu sementara kami makan, ia minta ijin pulang ke rumah sebentar mengantar ayam goreng itu. Menurutnya, anak-anaknya pasti sangat senang.
Pria penggemar Prabowo itu memang tidak berhenti mengejutkan kami.
Suatu malam ketika kami dijadwalkan untuk mengisi acara bincang-bincang di radio daerah, ternyata ia berada di mobil dan mendengarkan atasan kami bicara. Ketika semua selesai dan kami kembali ke mobil, dengan logat timur yang kental, ia menyapa atasan kami.
“Terima kasih, Ibu, sudah mengindonesiakan kembali Ternate.”
Atasan saya nampak sedikit terkejut.
“Lho, Ternate ini Indonesia.” Katanya.
“Iya, Ibu,” sahut pria itu lagi. “Tapi kadang saya berpikir, pusat itu sering lupa sama kami. Makanya kami senang sekali Ibu dari pusat mau datang kesini, mengajari anak-anak kami, bicara di radio seperti tadi.”
Untuk pertama kalinya, pria pengagum Prabowo itu menghadirkan selarik kesedihan di hati kami. Ungkapannya berarti lebih dalam dari sekedar pilihan kata sederhana. Bahkan sepertinya dia mewakili kegelisahan yang ada di hati penduduk negeri ini yang kebetulan berada jauh dari Jawa sebagai pusat kekuasaan. Betapa memang masih banyak sudut-sudut negeri yang terlupakan.
Di hotel, kami masih saja membicarakan dia. Pria penggemar Prabowo itu merebut hati kami. Dengan rasa ingin tahunya. Dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dengan kesukaannya membaca.
Ketika pada akhirnya kami harus pulang, bukan pria itu yang mengantar kami, melainkan orang lain. Kami menanyakan keberadaannya pada salah satu staf yang juga ditugaskan mengantar kami. Ia bilang pria penggemar Prabowo itu ditugaskan mendampingi rombongan lain. Ia juga minta maaf kalau pria itu banyak tingkah selama mendampingi kami. Menurutnya, di kantor mereka pria itu dikenal sebagai orang aneh yang suka sekali bicara hal-hal di luar jangkauannya.
Entahlah, hanya saja kami merasa, pria penggemar Prabowo dengan segala kelebihannya sepertinya berada di tempat yang salah. Apa yang menyentuh hati kami justru adalah keanehan bagi orang-orang di sekelilingnya. Miris sekali melihat keingintahuan, kecintaan membaca, dan kegemaran berdiskusi dikelompokkan sebagai bentuk-bentuk keanehan.
Di ruang tunggu kami berpikir sesampainya di Jakarta kami akan mengirimkan buku-buku untuk pria itu. Kami membayangkan dia pasti akan sangat bahagia. Mungkin kami akan membelikannya buku tentang sejarah Indonesia, atau mungkin beberapa buku biografi pejuang pendidikan di daerah perbatasan.
Tapi, sepertinya pria penggemar Prabowo itu benar. Kesibukan ibu kota tanpa sadar membuat kami mudah lupa, menyingkirkan banyak ingatan tentang dia, juga tentang Ternate yang ia cintai.
Jangankan mengiriminya buku, ternyata mengingat namanyapun sekarang kami tak lagi mampu.
Jangankan mengiriminya buku, ternyata mengingat namanyapun sekarang kami tak lagi mampu.
No comments:
Post a Comment