17 Jan 2016

Snowdrop

Beberapa malam ini aku suka terbangun tiba-tiba. Seperti saat ini. Matahari belum terlihat, tapi aku sudah bangun dan kehilangan rasa kantuk. Mungkin karena sekali lagi dia muncul dalam mimpiku. Begitu saja, tanpa permisi. Aku seakan hanya melihatnya lewat, membuatku tercenung lalu bertanya-tanya kenapa setelah sekian lama, alam bawah sadarku masih mengenangnya.

Aku membuka jendela kaca besar yang memisahkan kamar dan balkon. Udara dingin menyergap tiba-tiba. Kontan kututup lagi jendela sambil menyesali kebodohanku sendiri. Piyama ini bukan kostum yang baik untuk menikmati udara Canterbury di pertengahan bulan Januari. Apalagi sekarang masih pukul tiga pagi. Aku menggigil.

Di luar jendela tidak ada apa-apa. Hanya pekarangan dan rumah tetangga depan yang nampak menyedihkan. Semua masih serupa bayang-bayang. Tapi, ah, ada serpih-serpih berwarna putih di ranting-ranting rapuh pohon oak tua di depan rumah, begitu juga di jalanan. Serpih-serpih itu nampak berkilau di kegelapan diterangi lampu jalan yang bersinar kuning temaram

Rupanya semalam salju turun.

***

Salju pertamaku adalah butiran salju yang turun dari langit London setahun yang lalu. Sudah tiga musim kulalui di negeri Jane Austen ini, mengambil program Bachelor of Communication di Kent University, Canterbury. Jauh dari hingar bingar khas metropolitan, kota ini adalah tipikal kota kecil di Inggris. Disini kau hanya akan menemui segelintir orang, selebihnya hanya tupai, kelinci dan burung-burung. Untukku, ini adalah tempat ideal untuk belajar.

Untungnya, Canterbury hanya berjarak tiga puluh menit perjalanan dengan bis dari dan menuju London. Kadang kalau sedang bosan dengan suasana pedesaan, aku dan beberapa orang teman akan kabur ke ibukota. Mereka akan berkeliling pertokoan, pub dan bioskop. Kadang aku bergabung, kadang tidak, tapi memang lebih banyak tidak. Aku jauh lebih sering pergi sendiri, entah ke museum, toko barang antik atau toko buku. Paling sering aku akan mengunjungi London Review Bookshop, sebuah toko buku mungil tidak jauh dari British Museum. Mereka punya kafe di samping toko buku dan aku sangat menyukai peony and rose buds tea disana. Kalau aku pikir-pikir, untung teman-temanku yang berambut pirang dan bermata biru itu tidak terlalu peduli. Disini, menjadi individualis tidak akan serta merta dicap anti sosial.

Sore itu St. James Park tidak terlalu ramai. Di tengah udara dingin seperti ini, orang-orang lebih suka minum kopi di kafe dekat Trafalgar Square. Teman-temanku mungkin sekarang bahkan sudah menikmati dentum musik entah di bagian kota yang mana. Tapi untukku, kesunyian taman kota di musim dingin adalah lanskap sempurna untuk menikmati jeda sejenak. Lupakan handbook, lupakan tugas menulis essay, lupakan rencana presentasi. Lebih baik memakai mantel tebal, topi dan syal, lalu berjalan-jalan di antara pepohonan. Dingin memang, tapi lebih nyaman daripada berada di Piccadily Circus atau Oxford Street yang riuh.

Aku sedang duduk beristirahat di sebuah bangku ketika ada yang berjatuhan di pangkuanku. Aku menengadah ke atas. Ada serpih-serpih tipis berwarna putih yang berjatuhan. Aku bisa membayangkan ekspresiku waktu itu, mulut ternganga dan mata yang membelalak. Ekspresi yang sering dia bilang sebagai ekspresi orang bodoh. Sejenak ada euforia ketika butiran-butiran itu menyelinap di antara jari-jari tanganku. Sore itu salju turun, salju pertamaku, dan dia adalah hal pertama yang terlintas di pikiranku saat itu.

***

“Bawakan aku salju,” katanya.

Aku hanya memonyongkan bibir.

“Kau bilang aku bebas memilih mau oleh-oleh apa, asal tidak mahal.” katanya lagi. “Salju kan tidak mahal, hanya tinggal ambil di jalan.” Kali ini matamu berkilat jenaka.

Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya. Sebentar lagi aku harus masuk ke gate tempat pesawatku berada. Setidaknya aku ingin perpisahan yang sedikit sendu dan romantis. Tapi di saat-saat terakhir ini dia justru sering bercanda, senyum-senyum sambil menaik-turunkan alis. Sepertinya dia tidak merasa kehilangan aku sama sekali.

“Ya sudahlah, nanti aku kirim fotonya,” sahutku tak sabar sambil menyiapkan paspor dan boarding pass. 

Dia tertawa, merasa menang, lalu mengacak-acak rambutku. Aku masih menggerutu ketika kudengar dia berkata pelan, “Ngga usah bawa apa-apa, yang penting kamu tidak lupa pulang.” Sesuatu dalam suaranya membuatku tercekat. Sembunyi-sembunyi kupandang wajahnya. Ada sepi yang lewat sekilas di bola matanya. Sepi yang membuat dadaku sesak.

Lima belas menit kemudian aku sudah berada di pesawat yang membawaku ke Heathrow. Setibanya di Heathrow, iseng aku bertanya kepada petugas imigrasi yang memeriksa pasporku, “Sir, I wonder when will the snow come this year.” 

Petugas itu, pria tua berpipi bulat kemerahan dengan mata cokelat muda, mengerjap lucu. Musim gugur baru saja mulai dan aku sudah menanyakan kapan salju turun. “Just a little more patient, young lady," ia menjawab sambil tersenyum dan mengembalikan pasporku. Aksennya mengingatkan aku pada pria-pria bangsawan di film-film yang sering kulihat.

Sayangnya, aku tidak terlalu akrab dengan kesabaran. Dua bulan pertama kulewatkan dengan memandang ke langit yang kelabu. Pohon-pohon sudah tidak berdaun tapi yang berubah cuma udara yang jadi semakin dingin. Aku sudah mulai bosan menunggu salju, sampai salju pertamaku turun di St. James Park itu.

***

Aku menangkupkan kedua tanganku seperti mangkuk. Membiarkan serpih demi serpih salju jatuh. Tepat ketika teman-temanku datang menjemput, sudah ada sejumput salju di kedua tanganku. Sambil menjaga salju itu tetap berada disana, aku meminta Richard, teman Irlandiaku untuk mengambil gambar. Posenya sudah ada di pikiranku sejak berminggu-minggu yang lalu. Berdiri di bawah guyuran hujan salju, dengan kedua tangan menyorong ke depan. Di dalamnya ada salju. Foto itu lalu kujadikan kartu pos dan di baliknya kutulis puisi,

Pertama kali melihat salju

Seperti melihat kedalaman bola matamu

Ada beku, tapi juga ada debar

Aku sudah menepati janjiku: mengirim salju untuknya.

Masih ada foto lain setelah foto yang pertama itu. Salju di sungai dekat kampus, salju di menara gereja, salju dari balik jendela, salju di malam natal, salju di reranting cemara. Tapi katanya, dia paling suka foto salju pertama itu.

“Seperti kamu benar-benar memberikan salju itu kepadaku,” begitu komentarnya.

***

Seperti seharusnya, semua musim memiliki takdir yang sama. Mereka harus menyerah kepada jalur matahari yang mengatur waktu musim di bumi. Musim dingin akhirnya berakhir, salju mencair. Lalu tiba-tiba semua menjadi begitu sibuk. Pohon-pohon sibuk bertunas. Miss Pepper, tetangga depan rumah, sibuk merapikan tamannya yang mati suri selama musim dingin. Aku sering melihatnya dari balkon, ketika aku sibuk menyelesaikan bacaan beratus halaman dan menyusun essay ribuan kata.

Dan sepertinya di katulistiwa sana, dia juga sedang sibuk. Entah kenapa pesan pendek tentang hal-hal tidak penting seperti, “Bagaimana disana, apakah salju turun lagi hari ini?” tiba-tiba menjadi begitu jarang. Awalnya sama sekali tidak kusadari. Tapi ketika aku punya lebih banyak waktu tanpa segala tetek bengek kuliah itu, jarak menjadi begitu terasa, demikian juga sepi.

Pernah aku bertanya kenapa, tapi jawaban yang datang setelah jeda datang seperti menjadi pertanda, “Entahlah, mungkin sedikit terbiasa tanpamu.” Aku membaca pesan itu dan mulai memahami sesuatu.

“Apa kau mulai ragu?” tanyaku memberanikan diri.

Kali ini jawabannya secepat salju mencair di bawah matahari musim panas. “Boleh aku minta waktu?”

Pernyataan yang kubiarkan tanpa jawaban. Rupanya ketika aku memilih diam, dia memilih untuk mengartikannya sebagai persetujuan.

***

Tidak semua orang bisa bertahan dengan jarak. Aku sangat paham. Hanya mereka yang pemberani yang memandang jarak hanyalah soal hati. Dia mungkin tak lagi kuat memberanikan diri. Dia pernah mencoba dan sia-sia.

“Waktu itu kami hanya beda pulau. Sulit sekali. Apalagi beda benua. Tidak ada yang menjamin hal yang sama akan terjadi,” begitu katanya sesaat setelah aku memberitahunya keputusanku untuk sekolah ke luar negeri.

“Tapi aku bukan dia,” sahutku. Pola yang sama bisa menghasilkan hasil yang berbeda. Tergantung siapa yang menjalaninya, kan?”

Dia hanya terdiam. Aku membaca keraguan di matanya. Mungkin saat itu dia sedang mengumpulkan keberanian.

Lalu, jarak itu sungguh terasa nyata. Senyata kesunyian yang dia tinggalkan. Senyata kerelaanku membebaskannya. Kadang kalau aku sedang merindukannya, aku hanya akan mengamati peta, menghitung berapa garis lintang yang ada di antara aku dan dia. Tidak banyak rupanya, hanya beberapa garis saja. Tapi tidak dengan hati kami, lebih tepatnya hatinya, yang sudah membuat entah berapa banyak garis batas antara kami berdua.

***

Dari balik jendela aku memandang sisa-sisa salju pertama yang turun tahun ini. Sebuah pertanyaan terbersit di pikiranku, “Masih bolehkah aku mengirimkan salju padamu?”

Salju turun lagi, makin lama makin deras. Matahari masih belum juga muncul. Hari berjalan begitu lambat.



Magelang, September 2012
Diselesaikan di Jakarta, Januari 2016

No comments:

Post a Comment