Saya pertama bertemu Gadis yang Dulu Bermimpi Menjadi Putri di sebuah lembaga belajar bahasa. Kami sama-sama penerima beasiswa yang kebetulan mendapat kesempatan belajar bahasa Inggris di tempat yang sama. Pada akhirnya, kami berangkat ke negara yang sama, ke Inggris. Hanya saja, dia memilih menghabiskan satu tahun di London, sementara saya di kota kecil bernama Leicester. Kami cukup sering bertemu karena jarak antara kedua kota itu hanya satu jam perjalanan kereta.
Setahun belakangan, kebanyakan di London, kami berdua telah banyak
bertukar cerita, tentu saja ditemani bergelas-gelas teh khas Inggris. Kadang kami pergi ke tea house. Atau, jika tidak, segelas Twinnings Lady Grey yang kami buat sendiri di rumah juga sudah cukup. Kami bercakap tentang pria-pria di masa lalu, tentang keinginan saya menjelajah lebih banyak negara, juga tentang mimpinya melanjutkan sekolah di Oxford. Ketika saya sempat
melewati hari-hari saya dengan menangis, dia mengirimkan foto senja di tepi sungai Vltava lewat akun media sosialnya dan menulis pesan indah untuk saya, langsung dari Praha. Saya begitu menyukai pesannya itu.
Selama ini saya memang hanya membaca tulisan-tulisan sahabat saya ini lewat status kelewat panjang di akun media sosialnya. Lalu, ketika saya
bertanya apakah dia punya blog, dia menggeleng. Dulu pernah, katanya,
tapi sudah dihapus. Menurutnya isinya tidak lebih dari curahan hati dan
kisah-kisah patah hati.
Lalu entah bagaimana saya berhasil membuatnya berjanji membuat blog lagi. Dan rupanya itu pula yang menjadi resolusinya di tahun yang baru ini. Dia sungguh-sungguh menepati janjinya.
Lalu entah bagaimana saya berhasil membuatnya berjanji membuat blog lagi. Dan rupanya itu pula yang menjadi resolusinya di tahun yang baru ini. Dia sungguh-sungguh menepati janjinya.
Tulisan ini dibuat untuk menyambut rumah baru sahabat saya itu. Bukan rumah sebenarnya, tapi blog baru yang menjadi rumah maya. Gadis yang Dulu Bermimpi menjadi Putri itu memberi nama rumahnya Pandora dan Kapsul Waktu.
Tulisan pertamanya sungguh membuat saya terkejut. Rupanya menulis untuknya adalah sebuah pergulatan ego, emosi dan logika. Sahabat saya ini benar. Bahkan di buku 'Menulis dan Berpikir Kreatif' yang baru-baru ini saya baca, Ayu Utami sempat mengatakan bahwa menulis itu sama dengan menelanjangi diri sendiri. Kamu bisa dibaca dari tulisanmu. Dan bagi beberapa orang, itu bisa jadi menakutkan.
Tapi saya bahagia akhirnya Gadis yang Dulu Bermimpi menjadi Putri ini melampaui batas ketakutan dirinya sendiri.
Di tengah kebahagiaan karena sahabat saya ini menemukan lagi alasan untuk menulis, saya teringat ucapan ulang tahun yang pernah ia tulis untuk saya. Sudah lama sekali, musim semi tahun kemarin. Ucapan ulang tahun yang dipenuhi harapan-harapan baik untuk hidup saya.
Dear Gadis Pencinta Langit,
Selamat ulang tahun (sekali lagi, dengan hadiah yang terlambat^^). Semoga sehat, sukses, dan bahagia selalu. Semoga Tuhan 'memeluk mimpi-mimpimu'; berkeliling ke sebanyak mungkin desa cantik di dunia, menikmati buku-buku bagus ditemani secangkir teh dan pujaan hati (ah, bahasaku dangdut sekali ya?). Akan ada 'the right man' yang akan bersamamu menata rumah kalian yang penuh rak-rak buku, dengan halaman luas dan bunga-bunganya, serta anak-anak dan hewan peliharaan kalian yang berlari-lari dengan riangnya. Akan ada 'the right man' yang dengan setia membaca tulisanmu, atau sekedar menemanimu menyesap teh hangat menjelang senja.
Semua akan indah pada waktunya, jadi bersabar saja ya. Sebab Tuhan Maha Tahu, tetapi dia menunggu.
Semoga suatu saat aku bisa menemukan novel dengan namamu di sampul depan, dijual di toko-toko buku terdekat :D
Jangan pernah berhenti menulis. Jangan pernah berhenti bermimpi.
Dengan cinta,
Gadis yang Dulu Bermimpi Menjadi Putri
Saya sungguh tidak sabar menunggu sahabat saya ini, Gadis yang Dulu Bermimpi Menjadi Putri, mengisi rumah barunya. Perasaan seperti ini rasanya sungguh menyenangkan.
No comments:
Post a Comment