Pria Empat Musim, mungkin sampai sekarang kau masih bertanya-tanya kenapa waktu itu aku pergi. Empat hari. Iya, empat hari. Tidak bisa dibilang sebentar memang. Apalagi, aku sama sekali tidak berpamitan atau memberi kabar. Pada suatu pagi, aku memasukkan semua barang yang kuperlukan ke ransel, lalu pergi. Begitu saja.
Aku pergi ke Lincoln, begitu aku memberitahumu sepulangku dari kota itu. Aku masih ingat kau duduk di sampingku di sofa dekat jendela. Kau punya banyak pertanyaan, tapi aku hanya sedikit memberi penjelasan. Aku tahu kau kecewa.
Sekarang, Pria Empat Musim, berbulan-bulan setelahnya, akan kuceritakan tentang kepergianku itu.
Aku tiba di Lincoln ketika matahari belum terlalu tinggi. Jarak kota kecil ini dari Leicester, kota tempat kita tinggal, memang tidak terlalu jauh. Aku hanya perlu satu kali berganti kereta di Nottingham. Seperti layaknya kota kecil, stasiun kereta di Lincoln juga mungil.
Aku menginap di sebuah losmen. Agak terlalu mewah sebenarnya karena selama ini aku lebih memilih hostel. Tapi perjalanan ini adalah semacam sanctuary. Entah bagaimana harus kujelaskan, tapi di perjalanan ini aku mencari ketenangan. Aku bahkan membawa draft disertasi untuk dikerjakan di sela-sela perjalanan. Kau tahu, pergi menyendiri sudah seperti obat yang harus aku minum setiap beberapa periode, seperti ketika aku pergi ke Oakham dulu, hanya untuk minum teh dan membaca buku, sendirian.
Pria Empat Musim, aku menyukai Lincoln.
Rasanya menyenangkan berjalan menyusuri tepian Sungai Witham dari losmen menuju ke pusat kota. Dari sana aku bisa melihat menara Lincoln Cathedral yang bergaya gothic. Katedral itu mengingatkanku pada Yorkminster di York yang pernah kita kunjungi dulu. Seperti di York, bangunan-bangunan di kota ini juga memakai batu berwarna madu. Kau pasti tahu kalau batu seperti ini banyak dipakai di county-county dekat Lincolnshire, seperti misalnya di Yorkshire atau Derbyshire. Menurutku, bangunan dari batu jenis ini menciptakan suasana yang jauh lebih menarik dibandingkan bila bangunannya memakai batu bata, seperti di Leicester, Birmingham atau bahkan London.
Lincoln ini kota kecil, jadi sebenarnya tidak butuh waktu lama untuk mengelilinginya. Aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan kota untuk mengerjakan disertasi. Setidaknya di tempat ini aku bisa sedikit lebih berkonsentrasi. Di rumah, dengan kau yang selalu mengajakku mengobrol sampai tengah malam, atau menonton film di internet, mengerjakan disertasi rasanya cuma mimpi. Hasil menyepi di perpustakaan ini lumayan, aku menambahkan beberapa ribu kata dalam draft disertasiku itu. Tinggal menambahkan sedikit lagi maka akan genap 15.000 kata seperti yang disyaratkan oleh kampus.
Kalau tidak sedang di perpustakaan, aku pergi berjalan-jalan. Pertokoan di Lincoln tidak jauh beda dengan kota-kota lain. Tapi aku menemukan box set Tom Gates dengan harga diskon di salah satu toko buku. Aku ingat, di rumah, kau diam-diam mengambil buku itu dan membacanya lalu tertawa-tawa sendirian. Menurutmu Tom Gates itu lucu, dan menurutku juga begitu. Kita sempat berebutan entah seri yang keberapa, seingatku yang warna sampulnya ungu.
Aku sendiri heran kenapa setiap pergi ke suatu tempat aku selalu membeli buku. Apalagi di Lincoln ada sebuah toko buku Yahudi yang menjual buku bekas dan sedang sale. Bayangkan, satu buku hanya dihargai 50 pence. Aku menemukan beberapa buku John Grisham dan akhirnya memutuskan membelinya. Ada beberapa toko buku lain yang cukup menarik, tapi entah kenapa ketika aku kesana selalu tutup. Ada pula toko buku yang juga berfungsi sebagai kafe, tapi suasananya yang modern dan minimalis membuatku tidak terlalu tertarik.
Aku sendiri heran kenapa setiap pergi ke suatu tempat aku selalu membeli buku. Apalagi di Lincoln ada sebuah toko buku Yahudi yang menjual buku bekas dan sedang sale. Bayangkan, satu buku hanya dihargai 50 pence. Aku menemukan beberapa buku John Grisham dan akhirnya memutuskan membelinya. Ada beberapa toko buku lain yang cukup menarik, tapi entah kenapa ketika aku kesana selalu tutup. Ada pula toko buku yang juga berfungsi sebagai kafe, tapi suasananya yang modern dan minimalis membuatku tidak terlalu tertarik.
Di Lincoln, salah satu tempat yang menjadi favoritku adalah Steep Hill, kawasan perbukitan yang akan membawamu menuju Bailgate Quarter. Di kawasan ini ada sebuah jalanan tua bernama The Strait. Jalanan ini mirip dengan the Shambles yang waktu itu kita kunjungi di York, hanya saja dalam versi yang mendaki dan lebih berwarna. Kau pasti ingat, kesuraman the Shambles menginspirasi Diagon Alley di kisah Harry Potter. Jauh berbeda dengan itu, di The Strait kau akan menemukan deretan toko di kiri kanan jalan dengan pintu dan jendela berwarna-warni. Jika kau datang pada musim semi, atau setidaknya akhir musim panas seperti aku dulu, kau juga akan melihat warna-warna semarak bunga di pot-pot gantung, di atas pintu atau di tepi jendela. The Strait sungguh bernuansa festival.
Selama empat hari itu, entah berapa kali aku berjalan menyusuri the Strait. Berjalan naik, bersantai sebentar, lalu berjalan turun. Menyenangkan sekali melihat banyak tea room di antara pertokoan bernuansa retro dan vintage. Rasanya aku ingin mencoba minum teh di semua tea room itu. Tapi, suatu hari, akhirnya aku memilih Bunty's tea room. Segelas teh dan semangkuk soup of the day sudah cukup jadi makan siangku. Oh ya, poci tehnya berbentuk seperti rumah dengan menara jam. Badan poci bergambar orang-orang jaman dulu sedang bercengkerama. Rasanya poci itu ingin aku bawa pulang.
Empat hari di Lincoln mungkin perjalanan bersendiri yang paling aku nikmati. Sepulang dari berkelana, aku kembali ke losmen dan mandi berendam. Sabun mandiku yang beraroma jeruk tidak pernah gagal membuatku lebih rileks. Setelah itu aku akan makan malam: mi instan dalam cup yang aku beli di toko Korea dan salad dengan udang asap, zaitun dan tomat panggang dari Mark & Spencer. Oh ya, makan pagiku adalah full English breakfast yang benar-benar membuatku merasa full.
Aku pulang ke Leicester dengan hati dan pikiran yang ringan, walaupun di rumah kau menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Salah satu yang paling kuingat adalah pertanyaan ini, "Waktu kau di sana, bersenang-senang di Lincoln, adakah terbersit di ingatanmu kalau kita pernah merencanakan pergi kesana, bersama, berdua?"
Selama empat hari itu, entah berapa kali aku berjalan menyusuri the Strait. Berjalan naik, bersantai sebentar, lalu berjalan turun. Menyenangkan sekali melihat banyak tea room di antara pertokoan bernuansa retro dan vintage. Rasanya aku ingin mencoba minum teh di semua tea room itu. Tapi, suatu hari, akhirnya aku memilih Bunty's tea room. Segelas teh dan semangkuk soup of the day sudah cukup jadi makan siangku. Oh ya, poci tehnya berbentuk seperti rumah dengan menara jam. Badan poci bergambar orang-orang jaman dulu sedang bercengkerama. Rasanya poci itu ingin aku bawa pulang.
Empat hari di Lincoln mungkin perjalanan bersendiri yang paling aku nikmati. Sepulang dari berkelana, aku kembali ke losmen dan mandi berendam. Sabun mandiku yang beraroma jeruk tidak pernah gagal membuatku lebih rileks. Setelah itu aku akan makan malam: mi instan dalam cup yang aku beli di toko Korea dan salad dengan udang asap, zaitun dan tomat panggang dari Mark & Spencer. Oh ya, makan pagiku adalah full English breakfast yang benar-benar membuatku merasa full.
Aku pulang ke Leicester dengan hati dan pikiran yang ringan, walaupun di rumah kau menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Salah satu yang paling kuingat adalah pertanyaan ini, "Waktu kau di sana, bersenang-senang di Lincoln, adakah terbersit di ingatanmu kalau kita pernah merencanakan pergi kesana, bersama, berdua?"
Waktu itu aku hanya terdiam.
"Dan bahkan setelah kau pulang, kau tidak sedikitpun meminta maaf," katamu lagi.
Pria Empat Musim, bahkan sampai sekarang aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Tapi, kali ini kurasa aku akan memberimu clue dan kau bisa mengambil kesimpulan. Pertama, tentang rencana kita pergi berdua. Di Lincoln aku hanya melihat Leicester Cathedral dan Leicester Castle dari luarnya saja, karena aku pikir aku akan kembali ke Lincoln bersama seseorang. Kedua, tentang alasan aku pergi diam-diam. Di
Lincoln, aku hanya mendengarkan satu lagu ini: Follow Me versi the
Inncocence Mission. Aku memutar lagu ini berulang-ulang dan menyanyikannya kemanapun kakiku melangkah. Versi the Innocence Mission lebih cocok dengan seleraku dibanding
versi John Denver, penyanyi aslinya. Grup ini juga
menyanyikan Moon River yang menjadi salah satu versi favoritku, selain
versi Andrea Ross. Aku tahu kalau lagu seperti Follow Me ini bukan seleramu, tapi dengarkanlah, mungkin kau akan mengerti mengapa aku pergi.
Oh ya, aku tahu ini sudah terlambat. Tapi, maaf, untuk tidak memberitahumu banyak hal, untuk kepergianku yang membuatmu bertanya-tanya, untuk Lincoln yang tidak pernah kita nikmati berdua, juga untuk kata rindumu yang kubiarkan lenyap tanpa jawaban.
Oh ya, aku tahu ini sudah terlambat. Tapi, maaf, untuk tidak memberitahumu banyak hal, untuk kepergianku yang membuatmu bertanya-tanya, untuk Lincoln yang tidak pernah kita nikmati berdua, juga untuk kata rindumu yang kubiarkan lenyap tanpa jawaban.
No comments:
Post a Comment