“Aku punya seorang adik perempuan. Namanya Sabrina.”
Malam itu kencan pertama kita. Kau membawaku ke warung nasi uduk yang cukup terkenal di selatan Jakarta. Aku masih ingat nada bangga dalam suaramu waktu kau bercerita tentang adikmu itu.
“Bapak menamainya Sabrina karena dia lahir tanggal 5 Oktober. Hari Abri,” kau melanjutkan. Matamu memandang ke kejauhan.
Ah, aku suka sekali melihat matamu menerawang. Pasti kau merindukan mereka, rumahmu, keluargamu. Sendirian di kota kacau ini memang melelahkan.
“Seingatku, dulu juga ada film berjudul Sabrina,” balasku. “Pemainnya Harrison Ford. Aku tidak sengaja nonton film itu waktu aku terbangun tengah malam dan setelah itu tidak bisa tidur lagi. Sudah lama sekali.”
Kau tersenyum. Terkendali. Sepertinya kau memang selalu terkendali. Senyummu, tawamu, gelisahmu.
“Seperti apa ceritanya?” tanyamu.
“Film itu?” aku balas bertanya.
“Tentu saja film itu,” jawabmu tak sabar.
“Aku lupa,” sahutku sambil lalu. Aku sibuk mengaduk gula yang tak juga mau larut dalam gelas es jerukku.
Kerut-kerut muncul di dahimu. Rautmu menunjukkan kau tak puas dengan jawabanku. Kau sudah terlanjur penasaran rupanya.
“Love story,” sahutku cepat. “Yang paling aku ingat, di film itu diceritakan, Paris dihubungkan oleh banyak sekali jembatan. Kalau ada pasangan kekasih bisa berjalan berdua menyusuri semua jembatan itu, maka...”
“Cinta mereka akan abadi?” kau memotong ucapanku.
“Bagaimana kau tahu?” seruku.
“Klasik,” sahutmu singkat.
Lagi, aku meminum es jeruk yang sudah tinggal seperempat. Lalu aku berkata pelan, “Aku juga ingin ke Paris. Mungkin suatu hari nanti.”
“Untuk apa?” tanyamu. Aku menangkap nada aneh dalam suaramu. Tapi, entah, sepertinya waktu itu aku hanya membiarkannya.
Aku hanya menjawab pertanyaanmu. “Menulis puisi,” sahutku.
Dan kau tidak mengatakan apapun.
***
Ah, aku suka sekali melihat matamu menerawang. Pasti kau merindukan mereka, rumahmu, keluargamu. Sendirian di kota kacau ini memang melelahkan.
“Seingatku, dulu juga ada film berjudul Sabrina,” balasku. “Pemainnya Harrison Ford. Aku tidak sengaja nonton film itu waktu aku terbangun tengah malam dan setelah itu tidak bisa tidur lagi. Sudah lama sekali.”
Kau tersenyum. Terkendali. Sepertinya kau memang selalu terkendali. Senyummu, tawamu, gelisahmu.
“Seperti apa ceritanya?” tanyamu.
“Film itu?” aku balas bertanya.
“Tentu saja film itu,” jawabmu tak sabar.
“Aku lupa,” sahutku sambil lalu. Aku sibuk mengaduk gula yang tak juga mau larut dalam gelas es jerukku.
Kerut-kerut muncul di dahimu. Rautmu menunjukkan kau tak puas dengan jawabanku. Kau sudah terlanjur penasaran rupanya.
“Love story,” sahutku cepat. “Yang paling aku ingat, di film itu diceritakan, Paris dihubungkan oleh banyak sekali jembatan. Kalau ada pasangan kekasih bisa berjalan berdua menyusuri semua jembatan itu, maka...”
“Cinta mereka akan abadi?” kau memotong ucapanku.
“Bagaimana kau tahu?” seruku.
“Klasik,” sahutmu singkat.
Lagi, aku meminum es jeruk yang sudah tinggal seperempat. Lalu aku berkata pelan, “Aku juga ingin ke Paris. Mungkin suatu hari nanti.”
“Untuk apa?” tanyamu. Aku menangkap nada aneh dalam suaramu. Tapi, entah, sepertinya waktu itu aku hanya membiarkannya.
Aku hanya menjawab pertanyaanmu. “Menulis puisi,” sahutku.
Dan kau tidak mengatakan apapun.
***
Ternyata Paris memang dihubungkan oleh banyak sekali jembatan. Mungkin lebih dari 30 jembatan menghubungkan kedua tepian Sungai Seine. Sekarang aku tahu kenapa pasangan yang bisa menyusuri jembatan ini cintanya akan abadi. Alasannya sederhana. Mereka pasti telah melewatkan banyak waktu bersama. Seperti yang pernah kau bilang dulu, cinta ditumbuhkan oleh waktu dan kebersamaan.
Baiklah, itu bisa diterima. Tapi apa yang terjadi kalau, seseorang yang kehilangan cintanya, seperti aku, menyusuri jembatan-jembatan itu? Apakah lukanya akan sembuh seiring waktu dan kesendirian? Atau akankah ada keajaiban yang membawa cintanya kembali? Atau akankah ada cinta lain yang ditemukan entah di jembatan yang mana?
Karena aku sering berjalan di jembatan-jembatan itu, bersama waktu, kesendirian dan kenangan. Kadang hanya berdiri, bersandar, mengamati riak sungai dan menghitung daun-daun yang mulai gugur.
Aku seperti tokoh wanita di film Saawariya.
Kalau kau mendengarnya, pasti kau tertawa. Ini adalah sisi unikku yang, katamu, paling tidak bisa kau mengerti. Bagaimana mungkin, pembaca sastra penerima nobel, pendengar musik klasik, jazz dan opera, pengunjung tetap museum-museum sejarah, tetap masih punya ruang untuk film India, bahkan hafal semua lagu-lagunya?
Tapi Saawariya ini berbeda. Meskipun film India, ceritanya diambil dari cerpen Fyodor Dostoyevski, Nights in White Satin. Film itu magis, menurutku. Gadis di film itu menunggu kekasihnya pulang. Ia menunggu di jembatan, setiap malam, selama bertahun-tahun, sampai kekasihnya kembali.
“Apakah kekasihnya kembali?” tanyamu dulu.
Kujawab dengan anggukan kepala.
Aku seperti mendengar suaramu, “Klasik.” Sinis seperti biasa.
Tapi bersandar di jembatan ini sekarang, membuatku bertanya, “Kalau aku, aku menunggu siapa?”
Melihatmu muncul di ujung jembatan ini adalah sama mustahilnya dengan mengharapkan daun-daun pohon poplar berwarna hijau di musim dingin.
Sungguh, kita terlanjur berdiri di dua jembatan yang berbeda.
***
Waktu itu kau bertanya, “Kenapa kau ingin terbang?”
Aku diam. Bukan cuma tanya yang kudengar. Ada sesal. Kau menyesal? Merasa terlambat? Kau datang saat semua aplikasi sudah kukirim. Bahkan aku sudah lulus seleksi tahap pertama.
“Kamu ingin menyentuh langit?”
Waktu itu aku justru mengingat pertemuan pertama kita.
“Teman baru,” begitu Mas Seno memperkenalkan kita dulu. Jabat tangan pertama kita dan senyum pertamamu yang kulihat, bahkan sekarangpun masih bisa kuingat.
“Aku tidak bisa bila orang yang kusayangi harus jauh dari aku,” katamu. Lamunanku buyar. Aku hanya menghembuskan nafas panjang.
Sekarang aku tahu mengapa kau sering sekali bercerita tentang keluargamu yang selalu makan malam bersama, atau acara bakar sampah tiap sore yang diiringi sorak dan tawa adik-adikmu. Sekarang aku tahu kenapa kau mengagumi kebiasaan minum teh sore-sore dalam keluargaku. Sekarang aku tahu kenapa kau selalu bilang tidak mengerti jalan pikiran manajer kita yang meninggalkan istri dan anaknya, hanya menemui mereka seminggu sekali, untuk bekerja di ibukota. Sekarang aku tahu, bagimu, cinta adalah bersama. Keluarga adalah bersama.
Tapi apa kau lupa? Bukankah aku pernah bilang, kepergianku tidak selamanya. Aku tidak pernah takut memilih. Jika saja kau mau percaya, yang terpenting bukan dimana aku berada, tapi dengan siapa.
I told you, someday, I would go back home to stay…
Jakarta, Juli 2010
Direvisi di Magelang, Januari 2015
No comments:
Post a Comment