18 Nov 2015

Last Night I Dreamed About You

Last night I dreamed about you. You held my hand as we walked in a street. So simple. I don't know where we were going, but you smiled your usual smile, and I followed your steps. We kept walking until I woke up with a weird feeling.

I know in reality I will not let you hold my hands. No matter how I really want it honestly. No matter how comfortable and protective that is actually. I bet you remember the day you put your hand around my shoulder and I put it away. You held my shoulder tighter and I pushed your hand stronger.

Oh, I just do not want we are getting used to it. Then we forget that there are thousands other ways to love more meaningful than to touch.



11 Nov 2015

Kejutan Menyenangkan




Kemarin saya mendapat kejutan menyenangkan.


Rupanya tulisan yang saya buat untuk Gramedia Blogger Competition edisi Oktober dinyatakan sebagai pemenang. Entah berapa peserta yang memerebutkan voucher belanja sebesar Rp.500.000 lewat kompetisi ini. Penyelenggara memberikan tema 'Bagaimana Saya Melihat Gramedia?' dan saya membuat tulisan pendek berjudul 'Di Mataku, Gramedia adalah Sebentuk Cinta'. Sebenarnya idenya sederhana, hanya detail-detail pengalaman saya bersama Gramedia sejak masa kanak-kanak dulu.

Hadiah saya saat ini masih dalam proses pengiriman. Tapi saya sudah membayangkan buku apa yang akan saya beli.



Masih ada sisa beberapa rupiah sepertinya, tapi akan saya pakai untuk beli buku hadiah Secret Santa, acara tahunan komunitas Blogger Buku Indonesia.

Untuk saya, mendapat voucher Gramedia seperti ini cukup mencerahkan hari. Apalagi harga buku akhir-akhir ini terus naik. Kelima buku tadi sudah saya incar sejak lama. Saya memang penggemar sastra. Saya menyukai Remy Silado. Saya suka Seno Gumira Ajidarma yang tidak pernah lelah mengolah senja dalam kata-kata. Lalu Pramoedya, menurut saya semua anak negeri harus membaca bukunya. Eka Kurniawan juga penulis yang karyanya sudah diterjemahkan ke banyak bahasa.

Saya ingat betul apa yang dikatakan oleh Haruki Murakami, "If you only read the books that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking.” Jadi, saya memaksa diri saya mengunyah buku-buku yang katanya masuk dalam kategori 'berat' (walaupun sebenarnya banyak buku yang kategorinya lebih berat dari daftar bacaan saya). Ada kalanya saya membaca dengan susah payah. Misalnya, meskipun bagus, saya tidak nyaman membaca Norwegia Wood yang adalah tulisan Haruki Murakami. Tapi bagaimanapun, saya menyelesaikannya, dan saya merasa saya sedang tidak buang-buang waktu.

Bukan berarti saya tidak membaca buku populer, hanya saja memang ada beberapa buku yang bahkan menyelesaikannya saja saya tidak sanggup. Rasanya waktu saya terlalu berharga. Untuk buku populer, seperti teen lit atau chick lit, saya memilih membaca dulu di toko. Lalu kalau bagus saya beli. Favorit saya adalah Windy Ariestanty, Windry Ramadhina, dan Prisca Primasari. Saya suka cara mereka mengolah cerita cinta yang bisa dibilang tema umum, dengan narasi yang baik dan karakter yang kuat.

Entah kapan hadiah saya datang. Tapi saya tidak perlu khawatir, saya masih harus menyelesaikan Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi dan Melihat Api Bekerja milik Aan Mansyur. Menyenangkan ya?


Rahasia

dan aku menulis tentang kita
tapi ada potongan-potongan yang kujaga
tetap rahasia

karena bahkan tanpa kau berkata
aku tahu kisah mana
yang cuma milik kita berdua

aku memahamimu sejauh itu
kau mempercayaiku sedalam itu




Jakarta dan Kita

Mobil-mobil di sepanjang Jalan Stasiun Senen berderet membentuk rangkaian panjang. Malam sudah lama datang dan jam pulang kerja sudah berlalu, namun Jakarta masih hibuk. Bunyi-bunyi klakson kendaraan menceritakan ketergesaan penduduk ibu kota. Ketergesaan yang sia-sia karena kepadatan jalan seperti tidak peduli. Di antara keriuhan itu, kita berjalan di jembatan yang menghubungkan kedua halte Trans Jakarta Atrium Senen. Kau tiba-tiba berkata, "Kangen ya dengan keriuhan Jakarta seperti ini."

Aku mengangguk. Jakarta ini menyenangkan dengan caranya sendiri. Memang lalu lintasnya seperti merebut sebagian besar umur kita di jalanan. Pun cuacanya memaksa kita harus sering-sering mandi jika tidak ingin badan lengket dan gatal-gatal. Tapi, bagaimanapun menyebalkannya Jakarta, dia adalah kota yang tetap kita rindukan. Tidak salah kan kalau Sapardi pernah menulis seperti ini,

 “Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas. 
Jakarta itu kasih sayang.”

Membaca kalimat Sapardi, aku makin merasa Jakarta itu romantis.

Oh, tidak, aku sedang tidak bicara tentang fine dining di lantai 56 Menara BCA. Yah, walaupun aku tidak akan menolak untuk mencoba. Aku bicara tentang romantisme seperti yang kemarin kita lakukan, pergi ke Dufan dengan tiket setengah harga, mencoba hampir semua wahana (kecuali wahana yang melibatkan kepala di bawah), makan siang dengan bekal yang kau bawa dari rumah (aku benar-benar tidak menyangka kau juga membawakan makanan untukku), berdiri berdesak-desakkan di bis Trans Jakarta sambil tetap asyik bicara, makan soto di warung kaki lima dan akhirnya, duduk di bangku pinggir jalan sambil menunggu waktu pulang. Awalnya memang aku berharap kau tidak sungguh-sungguh mengajakku ke Dufan, tapi disana hari berlalu secepat roller coaster yang tidak pernah berani aku naiki.

Kau tahu apa yang paling aku ingat dari kunjungan kita ke Dufan kemarin?

Awalnya aku pikir, saat kita naik Bianglala dan Histeria, melihat Jakarta dari ketinggian. Di kejauhan sana laut terlihat luas. Tapi bahkan wahana konyol seperti Ice Age pun rasanya cukup lucu untuk diingat. Belum lagi ketika kita naik ontang-anting, dan kau berulang kali bertanya bagaimana kalau talinya putus tiba-tiba dan kita terlempar ke bawah. Aku benci ketika kau mulai menakut-nakutiku seperti itu.

Tapi dari semua, yang paling aku kenang adalah pasangan muda yang kebetulan dipasangkan di kereta yang sama di salah satu wahana yang namanya aku lupa. Kau juga pasti masih ingat kejadian itu. Satu kereta seharusnya hanya diisi dua orang, tapi ada tiga orang remaja perempuan duduk di satu kereta dan tiga orang remaja laki-laki di kereta sebelahnya. Penjaga menyuruh salah satu dari masing-masing kereta pindah ke kereta yang kosong. Akhirnya, dua orang asing, laki-laki dan perempuan, dipertemukan oleh kebetulan. Aku masih ingat bagaimana mereka tersenyum malu-malu, sementara teman-temannya menertawakan mereka dengan kejam. Kau sempat menyangka setelah itu mereka akan berkenalan dan bertukar nomor telepon. Jakarta itu memang sungguh romantis ya...

Di Jakarta, kita tidak punya pilihan selain menikmatinya. Menikmati riuhnya, menikmati cuacanya, menikmati lalu lintasnya, menikmati kelakuan orang-orangnya. Kau pernah bilang padaku kalau kita menikmati Jakarta dengan cara yang berbeda. Kau lebih suka nongkrong di warung roti bakar di Pecenongan, sementara aku menggemari cake-cake cantik milik Colette & Lola atau Cheese Cake Factory. Aku penggemar la min bebek di Grand Indonesia atau salmon salad Marche Restaurant, sementara kau sangat bangga dengan gulai kepala kakap di daerah Mangga Besar. Bahkan kemarin kau sempat akan mengajakku ke warung sup kaki kambing di Tanah Abang, sementara aku bersemangat bicara tentang The Reading Room, kafe dengan konsep perpustakaan di Kemang. Disana aku biasa memesan calamari dan jus stroberi, lalu duduk membaca buku berlama-lama.

Tapi bukankah kau dulu pernah bilang, kita bisa pergi ke Taman Suropati. Kau membawa gitarmu dan aku membawa bukuku. Kita sama-sama menyukai taman ini. Untuk kita, minum teh botol dan makan pop mie disana cukup seru. Aku juga membawa pulang frisbee kita, jadi rencana kita bermain frisbee di Monas tiap Jumat sore rasanya bisa diwujudkan. Lalu, kalau kita ingin menonton pertunjukan, kita bisa melihat apa yang ditampilkan di Taman Ismail Marzuki. Tapi kalau kebetulan kita sedang perlu berhemat, pusat-pusat kebudayaan seperti Institute Français, Goethe Haus, @america atau Erasmus Huis biasanya menampilkan pertunjukan gratis.

Jakarta adalah Jakarta. Disini tidak ada daun-daun warna-warni yang berguguran, pun butir-butir salju yang berjatuhan di mantel kita. Kita tidak akan menemui daffodil dan daisy di sepanjang jalanannya. Sungainya tentu jauh bila dibandingkan dengan Thames. Tapi entah dimana di sudut-sudut kota ini, kita selalu punya kesempatan melewatkan waktu seperti yang sering kita lakukan dulu.


4 Nov 2015

Apa yang Diubah Oleh Rindu

Kau tahu apa yang diubah oleh rindu?

Aku bisa membayangkan kau menggelengkan kepala dan menggerutu karena pertanyaanku yang aneh itu.

Jadi, gambarannya seperti ini. Hari saat aku pulang ke Indonesia, Jakarta masih macet. Perjalanan dari Cengkareng sampai ke hotel tempat aku menginap di bilangan Cikini memakan waktu tidak kurang dari 3 jam. Aku capek. Tapi, kau tahu apa yang terjadi? Entah kenapa aku menikmati keriuhan Jakarta kali ini. Aku tidak mengeluh ketika taksi yang membawaku hanya bisa bergerak perlahan. Yah, aku memang bukan tipe perempuan yang suka mengeluh.  Tapi bukan karena itu. Sederhananya, kemacetan sekarang rasanya tidak mengganggu. Itu saja.

Bahkan ketika aku berjalan dari hotel menuju Menteng Huis, rasanya menyenangkan. Aku mencium aroma masakan dari warung-warung di pinggir jalan. Sekali lagi aku merasakan Jakarta dari pemandangan deretan bajaj yang diparkir di tepi jalan. Beberapa pengemudinya bergerombol sambil tertawa-tawa. Yang lain tertidur di belakang kemudi sambil sesekali menyeka keringat dengan handuk yang tergantung di leher. Rasanya menyenangkan melihat mereka.

Lalu, melewati Taman Ismail Marzuki, aku melihat sekumpulan anak nongkrong. Sepertinya aku belum pernah menceritakannya padamu. Dulu di kompleks seni ini aku dan beberapa sahabat sering menonton teater atau konser, salah satu strategi kami agar tidak gila diantara kesibukan Jakarta. Tapi aku dulu tidak pernah suka melihat rombongan pemuda tanggung yang bermain bola di pelataran TIM, makan sambil bersila begitu saja di tanah dan bicara dengan suara keras. Aku tidak suka riuh, dan mereka terlalu riuh. Tapi entah kenapa malam itu rasanya menyenangkan melihat mereka.

Mungkin karena suasana seperti ini lama sekali tak kutemui. Jadi sekarang, betapapun dulu kurasa menyebalkan, rindu telah mengubahnya menjadi menyenangkan.

Saat bertemu lagi nanti, rindu pasti melakukan hal yang sama pada kita.

Kau mengerti?