11 Nov 2015

Jakarta dan Kita

Mobil-mobil di sepanjang Jalan Stasiun Senen berderet membentuk rangkaian panjang. Malam sudah lama datang dan jam pulang kerja sudah berlalu, namun Jakarta masih hibuk. Bunyi-bunyi klakson kendaraan menceritakan ketergesaan penduduk ibu kota. Ketergesaan yang sia-sia karena kepadatan jalan seperti tidak peduli. Di antara keriuhan itu, kita berjalan di jembatan yang menghubungkan kedua halte Trans Jakarta Atrium Senen. Kau tiba-tiba berkata, "Kangen ya dengan keriuhan Jakarta seperti ini."

Aku mengangguk. Jakarta ini menyenangkan dengan caranya sendiri. Memang lalu lintasnya seperti merebut sebagian besar umur kita di jalanan. Pun cuacanya memaksa kita harus sering-sering mandi jika tidak ingin badan lengket dan gatal-gatal. Tapi, bagaimanapun menyebalkannya Jakarta, dia adalah kota yang tetap kita rindukan. Tidak salah kan kalau Sapardi pernah menulis seperti ini,

 “Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas. 
Jakarta itu kasih sayang.”

Membaca kalimat Sapardi, aku makin merasa Jakarta itu romantis.

Oh, tidak, aku sedang tidak bicara tentang fine dining di lantai 56 Menara BCA. Yah, walaupun aku tidak akan menolak untuk mencoba. Aku bicara tentang romantisme seperti yang kemarin kita lakukan, pergi ke Dufan dengan tiket setengah harga, mencoba hampir semua wahana (kecuali wahana yang melibatkan kepala di bawah), makan siang dengan bekal yang kau bawa dari rumah (aku benar-benar tidak menyangka kau juga membawakan makanan untukku), berdiri berdesak-desakkan di bis Trans Jakarta sambil tetap asyik bicara, makan soto di warung kaki lima dan akhirnya, duduk di bangku pinggir jalan sambil menunggu waktu pulang. Awalnya memang aku berharap kau tidak sungguh-sungguh mengajakku ke Dufan, tapi disana hari berlalu secepat roller coaster yang tidak pernah berani aku naiki.

Kau tahu apa yang paling aku ingat dari kunjungan kita ke Dufan kemarin?

Awalnya aku pikir, saat kita naik Bianglala dan Histeria, melihat Jakarta dari ketinggian. Di kejauhan sana laut terlihat luas. Tapi bahkan wahana konyol seperti Ice Age pun rasanya cukup lucu untuk diingat. Belum lagi ketika kita naik ontang-anting, dan kau berulang kali bertanya bagaimana kalau talinya putus tiba-tiba dan kita terlempar ke bawah. Aku benci ketika kau mulai menakut-nakutiku seperti itu.

Tapi dari semua, yang paling aku kenang adalah pasangan muda yang kebetulan dipasangkan di kereta yang sama di salah satu wahana yang namanya aku lupa. Kau juga pasti masih ingat kejadian itu. Satu kereta seharusnya hanya diisi dua orang, tapi ada tiga orang remaja perempuan duduk di satu kereta dan tiga orang remaja laki-laki di kereta sebelahnya. Penjaga menyuruh salah satu dari masing-masing kereta pindah ke kereta yang kosong. Akhirnya, dua orang asing, laki-laki dan perempuan, dipertemukan oleh kebetulan. Aku masih ingat bagaimana mereka tersenyum malu-malu, sementara teman-temannya menertawakan mereka dengan kejam. Kau sempat menyangka setelah itu mereka akan berkenalan dan bertukar nomor telepon. Jakarta itu memang sungguh romantis ya...

Di Jakarta, kita tidak punya pilihan selain menikmatinya. Menikmati riuhnya, menikmati cuacanya, menikmati lalu lintasnya, menikmati kelakuan orang-orangnya. Kau pernah bilang padaku kalau kita menikmati Jakarta dengan cara yang berbeda. Kau lebih suka nongkrong di warung roti bakar di Pecenongan, sementara aku menggemari cake-cake cantik milik Colette & Lola atau Cheese Cake Factory. Aku penggemar la min bebek di Grand Indonesia atau salmon salad Marche Restaurant, sementara kau sangat bangga dengan gulai kepala kakap di daerah Mangga Besar. Bahkan kemarin kau sempat akan mengajakku ke warung sup kaki kambing di Tanah Abang, sementara aku bersemangat bicara tentang The Reading Room, kafe dengan konsep perpustakaan di Kemang. Disana aku biasa memesan calamari dan jus stroberi, lalu duduk membaca buku berlama-lama.

Tapi bukankah kau dulu pernah bilang, kita bisa pergi ke Taman Suropati. Kau membawa gitarmu dan aku membawa bukuku. Kita sama-sama menyukai taman ini. Untuk kita, minum teh botol dan makan pop mie disana cukup seru. Aku juga membawa pulang frisbee kita, jadi rencana kita bermain frisbee di Monas tiap Jumat sore rasanya bisa diwujudkan. Lalu, kalau kita ingin menonton pertunjukan, kita bisa melihat apa yang ditampilkan di Taman Ismail Marzuki. Tapi kalau kebetulan kita sedang perlu berhemat, pusat-pusat kebudayaan seperti Institute Français, Goethe Haus, @america atau Erasmus Huis biasanya menampilkan pertunjukan gratis.

Jakarta adalah Jakarta. Disini tidak ada daun-daun warna-warni yang berguguran, pun butir-butir salju yang berjatuhan di mantel kita. Kita tidak akan menemui daffodil dan daisy di sepanjang jalanannya. Sungainya tentu jauh bila dibandingkan dengan Thames. Tapi entah dimana di sudut-sudut kota ini, kita selalu punya kesempatan melewatkan waktu seperti yang sering kita lakukan dulu.


No comments:

Post a Comment