14 Apr 2015

Kita dan Percakapan Entah Apa

British Museum sepertinya terlalu kaya dan kita terlalu ambisius. Berkeliling dari satu ruang ke ruang yang lain, membaca setiap informasi tentang setiap objek yang ada, sungguh melelahkan. Kita memang haus akan sejarah, tapi mencerna semuanya bersamaan rasanya seperti memakan kue dengan krim yang manisnya berlebihan.

Hingga akhirnya kita berdiri di depan tiruan kuil Yunani. Entah kuil apa. Mungkin Parthenon. Mungkin juga bukan. Kita terlalu lelah untuk mencari tahu.

Lalu aku menanyakan pertanyaan ini, "Menurutmu Perang Troya itu konyol tidak?"

Kau menjawab dengan pertanyaan juga, "Konyol karena penyebabnya adalah wanita maksudmu?" Rupanya kau sudah bisa menebak jalan pikiranku.

Aku mengangguk. "Iya, maksudku, memperebutkan wanita sampai mengorbankan beratus-ratus, atau mungkin beribu-ribu orang. Aku tidak bisa menganggap itu masuk akal."

Kau tidak mengatakan apapun. Tapi kini kau memalingkan kepalamu, memandangku.

Aku mengedikkan bahu, "Mungkin banyak orang akan menganggap Perang Troya itu romantis. Kau tahu, perang demi cinta, mereka bilang. Tapi aku hanya ingin sedikit lebih logis. Cinta macam apa yang membuat banyak keluarga kehilangan orang-orang yang mereka sayangi karena perang."

"Menurutku justru Perang Troya itu adalah perang yang logis," katamu.

Aku mengerutkan kening. Menyimak.

"Aku tidak akan bilang penyebabnya 'hanya' sekedar perkara memperebutkan perempuan, karena perempuan yang diperebutkan itu adalah istri raja. Dia seorang ratu, wanita yang akan melahirkan calon raja. Di tangan perempuan itu ada masa depan kerajaan."

"Tapi kalau untuk alasan itu, bukankah Menelaus bisa mencari perempuan lain untuk mencari ratu? Yang penting masa depan kerajaan selamat kan?"

"Tapi kenyataannya tidak semua orang pantas menjadi ratu. Menelaus pasti ingin wanita istimewa menjadi ratu Sparta."

Aku menghembuskan nafas panjang. "Kalau begitu apa istimewanya Helen?"

"Konon dia wanita paling cantik," katamu.

"Itu saja?" sahutku. "Hanya karena dia wanita paling cantik sedunia bukan berarti wanita paling istimewa kan? Kenapa kecantikan selalu jadi tolak ukur untuk kalian, para lelaki?"

"Dia keturunan dewa," katamu memotong ucapanku. "Anak Zeus dan Leda. Menelaus mendapatkannya lewat kompetisi yang tidak mudah. Helen adalah kebanggaannya sebagai seorang pria."

Aku manggut-manggut. "Pertama, aku curiga Menelaus berperang bukan karena mempertahankan Helen, tapi menjaga kebanggaannya. Karena, Pride, bagi kalian para pria, adalah segalanya. Iya kan? Kedua, Helen punya pilihan untuk tetap berada di Sparta dan mencegah perang terjadi. Tapi dia memilih Paris dan kabur ke Troy. Dia tidak setia. Dia egois. Apa yang membanggakan dari dia?"

"Pendapatmu masuk akal. Mungkin perang itu memang perang harga diri. Tapi kenapa kau sepertinya sangat antipati pada Helen? Padahal kalian sesama wanita." katamu sambil tertawa. "Menurutku kalau kau ada di posisi Helen, kau akan melakukan hal yang sama."

Aku mengerutkan kening.

Kau memandangku dari sudut matamu. "Iya kan?"

"Melakukan apa?" tanyaku tak sabar.

"Memilih apa yang dipilih hatimu, apapun resikonya."


***


Di hari yang sama kita duduk di depan istana Buckingham. Sore sudah turun,  matahari masih bersinar cerah. Gedung tinggi dengan pagar menjulang ada di depan kita, tapi menurutmu Buckingham terlalu sederhana untuk menjadi istana. Aku sedikit menceritakan tentang Versailles dengan ruangan-ruangan dan tamannya yang mempesona. Lalu kau mulai membayangkan bagaimana rasanya hidup menjadi seorang pangeran.

"Pasti menyenangkan," katamu.

"Tidak," aku membantah. "Rasanya pasti seperti di sangkar emas. Kau mendapat apa saja, kecuali yang benar-benar kau inginkan."

"Memangnya apa yang masih kau inginkan kalau semuanya sudah dan bisa kau dapat?"

"Banyak," kataku. "Mungkin hal-hal sederhana, duduk-duduk di depan Buckingham atau jalan-jalan di tepi Sungai Thames, seperti kita." Aku merapikan rambutku yang ditiup angin. Musim semi rupanya sangat bersemangat membawa serbuk-serbuk sari dari Green Park sampai ke pelataran Buckingham. "Atau, bayangkan saja, misalnya aku jadi putri, lalu Real Madrid main disini dan aku ingin nonton ... Tapi, oh no, tidak semudah itu, jadwalku begitu padat. Kalaupun bisa, maka tempatku adalah di tribun VIP dan aku tidak bisa sembarangan berteriak karena kamera papparazi tidak kenal ampun."

Kau tertawa. "Aku tetap tidak merasa semua itu sebanding dengan semua yang kau dapat dari istana. Tapi aku setuju tentang paparazzi, they can kill you..."

"Seperti Diana..." bisikku.

"Iya. Walaupun banyak juga yang bilang Diana meninggal karena konspirasi Buckingham."

"Nah!" seruku tiba-tiba. "Diana, adalah bukti bahwa hidup di istana tidak menjamin kita bahagia." sahutku dengan nada penuh kemenangan. "Aku tahu dia pasti merindukan hidupnya yang biasa dan sederhana sebelum dia menjadi istri pangeran."

Kau hanya tersenyum mendengarkan kata-kataku. Lalu percakapan kita seperti terhenti disana. Mungkin karena topik kematian Diana yang tiba-tiba muncul, atau karena kita tahu selama apapun kita berdiskusi, gerbang Buckingham tidak akan pernah terbuka untuk membiarkan kita masuk dan mencoba menjadi pangeran atau putri meski untuk sehari.

Kita masih duduk di tepi kolam dekat Victoria Memorial itu untuk beberapa waktu, dan angin masih bertiup dari Green Park ke pelataran Buckingham. Lalu kau tiba-tiba bicara tentang betapa asyiknya jika kita bisa bertingkah seperti Mr. Bean: menggoda penjaga istana Buckingham yang berseragam merah hitam dan bertopi lucu itu. Kita berkutat dengan ide gila itu, tertawa sampai gerimis turun.

***


Kadang saat aku mengingat lagi perjalanan kita, yang paling aku ingat adalah percakapan-percakapan, meskipun kadang begitu acak, tidak jelas dari mana dan mau kemana, kadang terhenti begitu saja. Percakapan tentang mumi tiba-tiba berubah menjadi perbedaan model janggut di Mesir, Babilonia dan Asiria kuno. Lalu pujianku tentang keindahan Centaurus justru menjadi bumerang karena tiba-tiba kau melempar teori tentang centaurus yang memiliki dua organ vital, satu di posisi manusia, satu di posisi kuda. Gara-gara ini, aku mengomel panjang lebar tentang betapa teorimu itu sembarangan dan sangat tidak pantas. Kadang kau juga berlagak menerangkan sesuatu, sementara aku akan mencurigaimu hanya membodohiku. Tapi kita masih saja saling memberi komentar, berdebat, bertanya dan tertawa.

Mungkin memang percakapan-percakapan entah apa itu yang membuat kita bisa duduk atau berjalan, di sudut-sudut London yang riuh, sekian lama, hingga tiba-tiba kehilangan arah waktu.