4 Feb 2016

Surat #4: Untuk Musim Gugur

Musim gugur, kita memang sudah beberapa kali bertemu. Pertemuan pertama kita terjadi di negeri cahaya. Waktu itu untuk pertama kalinya aku melihat jubahmu yang kekuningan. Kota Paris nampak kelabu namun kau menyalakan cahaya pada pepohonan.

Musim gugur adalah musim patah hati. Entah dimana aku pernah mendengar kalimat itu. Mungkin karena saat kau datang, hujan sering turun, langit kelabu, dan pepohonan menantikan saat tidur panjang.

Bagaimana menurutmu? Apakah kau memang seperti itu?

Karena bagiku, kau bukan musim patah hati. Kau hanyalah musim tentang hal-hal indah yang sementara. Warna-warna daunmu seperti salam perpisahan, sebelum dedaunan meninggalkan ranting-ranting, memberi jalan pada beku dan dingin.

Rasanya sakit memang, menjalani sesuatu yang pasti kita tahu akan berakhir. Tapi bukankah di dunia ini semua hanya sementara? Untuk itulah ada ungkapan carpe diem, seize the day, kan?

Tidakkah kau ingin sedikit mengubah anggapan orang tentangmu, musim gugur? Setidaknya supaya mereka tak lagi memandang langit kelabu, tetapi juga mendengar kersik daun di bawah sepatu. Setidaknya supaya mereka tak hanya merasakan hujan, tetapi juga kehangatan di depan perapian.

Setidaknya katakan pada mereka, jatuh cinta itu menyenangkan, meski kadang perpisahan tak bisa dihindarkan. Bukankah karena itu, jatuh cinta butuh keberanian?

Termasuk keberanian untuk melepaskan. Seperti pepohonan melepaskan dedaunan.



No comments:

Post a Comment