30 Jul 2015

Poemcard #6




Puisi ini adalah versi lain dari puisi Kita Pernah yang saya tulis disini. Saya mengikutkannya untuk 50 Words Contest yang diadakan oleh komunitas Surabaya Youth dalam rangka Literaturia. Karena tema untuk kontes tersebut adalah Pulang, saya membuat beberapa penyesuaian dari versi awal. Kalau ditanya versi mana yang lebih saya suka, saya tidak bisa memilih. Keduanya seperti sepasang anak kembar yang serupa tapi tak sama.

Versi yang pertama lebih personal, tentu saja. Sementara versi kedua ini, bermakna lebih luas. Puisi ini bicara tentang makna pulang. Bagi beberapa orang, pulang berarti kembali ke suatu tempat dimana kita pernah berawal. Tapi, beberapa bisa saja merasa seluruh dunia adalah rumahnya, dan setiap perjalanan adalah pulang. Bagi saya yang sering kali meninggalkan hatinya di banyak tempat, Pulang versi kedua adalah pilihan lebih realistis. 

Seorang adik angkatan saya di kampus rupanya sedang membuat versi musikalisasi dari puisi ini. Saya sudah mendengar beberapa baris di akun instagramnya. Dia bilang, versi lengkap akan segera di-upload di Sound Cloud. 

Berikut info tentang 50 Words Contest yang saya ikuti,



“Seseorang pernah mengatakan, guna puisi adalah dengan hadir tanpa guna. Ia tak bisa dijual. Ia menegaskan tak semua bisa dijual - Goenawan Mohamad"

Poemcard #5





29 Jul 2015

Kita Pernah






kita pernah berjalan di antara gugur daun,
derai salju, rintik hujan dan tiupan angin
kita pernah duduk melamun
di tepian sungai, padang, hutan, ladang dan pantai
kita pernah berbagi tawa, duka, cerita, rencana dan rahasia
kita pernah sadar melangkah bersama tidak sederhana
tapi kita pernah memutuskan langit terlalu luas,
bumi terlalu lebar dan perjalanan terlalu singkat





28 Jul 2015

Sahabat Perempuan - Febrina Tias Wari


Setiap kali melihat rak buku, barisan buku yang berdiri tegak di dalamnya. Hujan yang mengawali November, bangku taman, lampu yang berwarna sendu dan cerita kecil di balik secangkir teh. Selalu ingat sahabat perempuanku nan jauh di sana, perempuan dengan sejuta mimpi, sejuta keinginan untuk melangkahkan kaki mengelilingi dunia.

Puisi singkat ini ditulis oleh sahabat saya Febri. Kami sama-sama mencintai perjalanan, walaupun dia adalah Gadis yang Mencintai Laut, sementara saya adalah Gadis yang Mencintai Langit. Febri suka bermain ombak dan pasir di pantai, bersama keheningan dan angin yang mempermainkan rambutnya. Dia adalah seorang gadis yang lembut hati, tapi tegas pada apa yang ia percayai.

Setiap kali saya lupa untuk berjalan dengan kepala tegak, Febri adalah orang yang mengingatkan saya bahwa hidup saya adalah hidup yang diinginkan begitu banyak orang. 

Puisi Febri seperti penanda betapa ia mengenal saya dan mimpi-mimpi saya. Saya tahu saya beruntung memiliki sahabat yang mengingat saya dalam banyak hal kecil yang ia temui. Bukankah persahabatan adalah tentang saling mengingat saat pelukan terasa jauh dan waktu tidak saling berpapasan?

Tulisan Febri yang lain dapat dibaca disini dan disini.


Maya Menari - Daniel Sasongko

(Dibuat di bulan Maret, menjelang ultah Mekar Andaryani Pradipta, dimaksudkan sebagai hadiah, namun beberapa ganjalan dari editor membuatnya baru bisa dimunculkan sekarang. Idenya dari chatting soal merapal kata teritori putri peri)

maya menari
di blog yang di rekat
di tepi hari-hari

diangkatnya kaki
dijejaknya bumi senyari
dikibasnya selendang diantara jari

selendang berwarna nyeri
dan kebasan yang sepi

mengiris cat dinding
dan kelupas luka di jari

cat kuku
dan selendang warna biru

ketika tanganmu mengepak
ada yang siap kau lepas

banyak kata yang tercekat
berkejaran dengan langkahmu yang rikat

meruap dan tersesat
ditepitepi teritorimu

adakah kau rapalkan mantra?
bibirmu komatkamit bicara

       teritori putri peri
       teritori putri peri

tetaplah di sini
please stay, kau tak boleh pergi


Magelang, Maret-Juni 2011



Puisi ini hadiah dari sahabat sekaligus abang, Daniel Sasongko, saat saya berulang tahun ke-25. Dia adalah laki-laki rembulan, seperti arti nama belakangnya. Pembawaannya tenang, pecandu kopi dan penikmat puisi.

Mas Dani adalah sedikit orang dengan siapa saya bisa bicara tentang puisi. Tidak terhitung betapa seringnya kami saling memberi semangat agar tak berhenti mencari inspirasi. Tapi, tidak hanya puisi, kami juga banyak bicara tentang jazz, buku-buku, dan film-film sendu. Kalau dirunut, dalam setiap pembicaraan kami selalu muncul topik tentang rubrik sastra di kompas Minggu dan trilogi Before Sunrise - Before Sunset - Before Midnight.

Puisi yang dia buat selama ini kadang gelap, kadang temaram, tapi menenangkan.

Puisi Maya Menari ini bukan puisi pertama yang dia buat untuk saya. Tapi saya sepertinya harus membongkar kamar untuk menemukan buku kumpulan puisinya dan menuliskan puisi-puisi lain yang pernah ia tulis untuk saya. 

26 Jul 2015

Serpih

1.
kita duduk berdua di sudut ruang
tanpa kata, hanya sunyi
tapi pandangan mata sesekali pun
terasa cukup

2.
kita bukan peminum kopi
tapi kadang kita terjaga malam-malam
sekadar bertukar pesan
esok kita bangun dengan senyuman

3.
sebatas sajak,
rinduku kuterbangkan bersayap kata
biar sajak yang memutuskan
bilakah rindu ini dibiarkan ditemukan



Puisi Sunyi

aku mencintaimu
dalam lembar-lembar puisi
dalam kata-kata
yang maknanya tersembunyi
aku mencintaimu
dalam sunyi




25 Jul 2015

It Seems Suddenly We Are

How funny it is that sometimes we do not realize the beginning of something, then it looks like it is suddenly there and we get used to it. Just like when we don't know when is the exact time the rose buds in front of our house starts blossoming.



It's just similar with our inability to remember when was the first time you hold my hands. Maybe that was the time when you teach me how to throw a ball, or maybe that was one of the usual times you pull me cross the road. 

But, somewhere, sometimes, some things have been changing. It is there. In the way you offer me help in the kitchen every single day. In the way you take care of my sunflowers in the bathroom. In the way you appreciate my effort to cook the dishes your mother uses to brew back in your home. In the way you scold me for leaving the keys inside the house. In the way you ask me to wait for you while you do your regular exercise. It is there. Even though I don't know since when. 

It is indeed funny that we get used to each other, so much, that tracing its beginning is so hard, as everything just seems to come about normally. Then suddenly we are here, and being the first person to meet in the morning is no longer awkward.



23 Jul 2015

Something Stupid

Sometimes people do or say stupid things. Yes, it's true.

Like you, who, suddenly, out of nowhere, said that honestly you love me that much. Or I, who, inescapably, fell into silence listening to all of those words.

We are indeed two stupid people for pretending this long.



15 Jul 2015

Surat Untuk Pak Cik

Menulis surat untuk Andrea Hirata di Edensor adalah bucket list no. 9 saya. Pada akhirnya saya memang mengunjungi Edensor, namun tidak menulis surat untuk Andrea, yang akrab disapa Pak Cik. Hari ini Andrea mendapatkan penghargaan di bidang sastra dari University of Warwick dan perkumpulan pelajar disana mengadakan acara buka puasa bersama. Saya tidak datang ke acara itu. Saya memilih menulis surat untuk Andrea, sesuai bucket list saya. Jauh di dalam hati saya, saya ingin melihat apakah nanti Hidup akan memberi saya kesempatan bertemu penulis hebat ini, dengan skenario yang saya impikan...


Surat saya untuk Pak Cik seperti ini, 

Pak Cik Andrea Yang Terhormat, 

Beberapa hari yang lalu saya baru menyelesaikan Ayah, novel terbaru Pak Cik. Novel itu terbang begitu jauh, dari Yogyakarta ke Leicester, kota tempat saya belajar, kurang lebih tujuh ribu lima ratus lima puluh koma tiga mil jaraknya. Saya khusus meminta teman saya, yang kebetulan sedang pulang ke Indonesia, untuk membawakannya saat dia kembali ke Inggris. 

Waktu Laskar Pelangi, novel pertama Pak Cik terbit, saya masih berjuang meraih gelar sarjana dan sibuk dengan mimpi-mimpi menjelajah Eropa. Lalu, membaca Edensor otomatis membuat saya memasukkan desa ini ke daftar tempat yang harus saya datangi. Saya dan sahabat-sahabat saya sering sekali membicarakan desa ini, dan apa yang kira-kira akan kami lakukan kalau kami menginjakkan kaki disana. Sekarang, lebih dari sepuluh tahun kemudian, Tuhan memeluk mimpi-mimpi saya, seperti Ia dulu memeluk mimpi-mimpi Pak Cik. Delapan bulan di Inggris, saya sudah dua kali ke Edensor. Yang pertama, di awal musim dingin tahun lalu, dan yang kedua, di pertengahan musim semi tahun ini.

Sebelum saya berangkat ke Inggris, salah satu bucket list saya adalah mengunjungi Edensor dan menulis surat untuk Pak Cik. Kenapa menulis surat? Entahlah. Mungkin karena Marlena sesungguhnya bukan generasi terakhir manusia yang suka bersahabat pena. Diam-diam saya juga, sayangnya saya tidak menemukan orang yang mau repot-repot bersahabat pena ketika aplikasi percakapan, atau surat elektronik, atau telepon, menawarkan komunikasi yang lebih praktis. Jadi, saya sudah cukup puas menulis surat untuk orang-orang yang saya kagumi, misalnya Vincent Van Gogh atau Michael Buble, walaupun saya tahu surat saya tidak akan pernah sampai. Saya tidak heran, karena masalahnya, kalau tidak untuk orang yang sudah mati, saya menulis surat untuk orang yang alamatnya entah dimana.

Tapi, dua kali mengunjungi Edensor, saya tidak sekalipun menulis surat untuk Pak Cik. Mungkin saya memang tipe manusia yang cepat puas, melihat menara gereja St. Peter saja saya sudah begitu senang sampai melupakan soal surat untuk Pak Cik itu. Baru ketika mendengar Pak Cik akan mengunjungi Warwick, perkara surat itu muncul kembali di otak saya. Saya pikir, walaupun saya tidak bisa bertemu Pak Cik, kali ini mungkin saya punya kesempatan untuk benar-benar menulis surat yang akan dibaca oleh orang yang dituju.

Waktu surat ini sampai ke tangan Pak Cik, terlepas dari apakah Pak Cik membalas surat ini atau tidak, saya anggap bucket list saya sudah tercapai. Yah, walaupun memang surat ini tidak ditulis di Edensor. Tapi, kalau Pak Cik membalas surat ini, mungkin surat balasan untuk Pak Cik selanjutnya benar-benar akan ditulis di Edensor. Lalu setelah itu, mungkin kita bisa meneruskan hobi Marlena dan menjadi dua orang yang dianggap langka di abad ke-21 ini. Rasanya pasti membanggakan :)

Pak Cik, menulis sepanjang ini, saya sebenarnya tidak tahu apa yang sebenarnya saya tulis di surat ini. Mungkin pada akhirnya saya lebih banyak meracau ini itu. Bahasa yang saya pakai juga tidak semenarik Ukun. Sampai saat ini, setiap saya berulang tahun, saya masih berharap ada yang memberi saya kado Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ah, tapi apa perlunya saya bicara tentang hal itu pada Pak Cik. Jadi, mungkin lebih baik saya bercerita tentang bagaimana kesan saya mengunjungi Edensor. Untuk setiap kunjungan saya ke Edensor, saya menulis tentangnya itu di blog saya. Kedua tulisan saya tentang Edensor saya sertakan di surat ini. Saya akan sangat senang kalau Pak Cik berkenan membacanya.

Di tulisan pertama saya, saya menulis tentang Edensor sebagai tempat merayakan mimpi yang tercapai, dan juga tempat merayakan saatnya membuat mimpi-mimpi baru. Setelah mimpi saya tentang Edensor dan surat untuk Pak Cik ini tercapai, mimpi saya selanjutnya adalah mengunjungi Museum Kata dan juga pantai-pantai indah Belitong. Ketika saya benar-benar menginjakkan kaki disana, pasti rasanya tidak kalah spektakuler dengan apa yang saya rasakan waktu mengunjungi James Joyce Museum di Sandy Cove, Dublin. Lagipula, siapa tahu akhirnya saya bisa bertemu Pak Cik di Museum itu. Nanti, saya akan menjabat tangan Pak Cik dan memperkenalkan diri sebagai Gadis yang Merayakan Mimpinya di Edensor, atau Gadis yang Suka Meracau di Surat-Surat yang Ia Tulis Entah Untuk Siapa. 

Sampai pertemuan itu terjadi, saya punya dua harapan. Pertama, semoga waktu itu Pak Cik masih ingat saya. Kedua, saya berharap Pak Cik masih terus menulis, syukur-syukur salah satunya menulis surat untuk saya :p

Selamat atas penghargaan Honorary Doctorate in Literature yang baru saja diterima, Pak Cik. Semoga semakin banyak mimpi Pak Cik yang bisa dirayakan dan menginspirasi semakin banyak orang untuk memperoleh keberaniannya bermimpi.



Salam,
D



P.s. : salah satu kawan saya menitipkan beberapa pertanyaan ini untuk Pak Cik: bagaimana Marlena bisa jatuh cinta kepada Amirza?, bagaimana Ukun dan Tamat menemukan Marlena? dan siapa sesungguhnya ayah Zorro? Kami sudah membahas pertanyaan-pertanyaan itu sampai jauh malam, tapi tetap saja membingungkan.


Surat ini disampaikan melalui budi baik Tiga Bebek Pemberani yang selama ini selalu bersemangat mengejar mimpi-mimpi mereka. Semoga Hidup membawa mereka ke banyak tempat menyenangkan dimana mimpi-mimpi mereka dirayakan. 



14 Jul 2015

Hanya Saja Rasanya Menyenangkan

Biasa saja. Hanya berebut buku, berlomba membacanya lebih dulu. Lalu percakapan tengah malam, tentang sang protagonis yang naif, gadis ilalang yang jatuh cinta tapi gengsi, dan cupid yang jarang mandi. Ada yang menganggap itu romansa. Entah. Hanya saja rasanya menyenangkan.

Biasa saja. Hanya mengusir bosan ke padang pinggir kota, berjalan di antara pepohonan dan memunguti buah-buah pinus. Ada cerita tentang kenangan masa kecil bersama ayah masing-masing, pelesiran ke kebun sawit dan perjalanan naik motor menyusuri persawahan. Rusa mengamati diam-diam di kejauhan dan ayam hutan terbang tiba-tiba dari balik semak. Ada yang merasakan renjana. Entah. Hanya saja rasanya menyenangkan.

Biasa saja. Hanya percakapan di dapur pukul tiga pagi, saat penghuni rumah lain tertidur. Ada setangkup roti tawar, dua gelas susu cokelat dan ide-ide jenaka. Ada yang menangkap cinta dari tawa berderai di bawah tangga. Entah. Hanya saja rasanya menyenangkan.

Jika memang harus diberi makna, entah apa, karena semua hanya peristiwa biasa, berlangsung sewajarnya. Hanya saja rasanya menyenangkan.



7 Jul 2015

Rumah Jalan Hazelwood

Nanti, ketika semua ini selesai, mungkin kita masih akan membicarakan bunga di jendela, sikat gigi dalam satu gelas atau sepatu yang ditata bersebelahan. Kita pasti akan sangat merindukan makan malam dengan menu sederhana namun penuh canda, saat kita duduk di lantai, makan dengan tangan dan bicara tentang apa saja. Bahkan ingatan tentang pertanyaan-pertanyaan kecil seperti "Jam berapa kau pulang?", "Nanti makan di rumah kan?", atau "Masak apa hari ini?", bisa mendatangkan perasaan sendu yang tak terjelaskan.

Hari-hari yang dilewatkan di tempat ini mungkin biasa. Misalnya, tentang cucian piring di pagi hari, teriakan berebut kamar mandi, kucing hitam milik tetangga, dan bangku di pekarangan belakang. Tapi tetap ada yang terasa istimewa, meskipun itu hanya sebuah sapaan dari ujung tangga.

Memang apa yang hari ini kita sebut rumah tidak selamanya kita tinggali. Tapi kenangannya bisa kita simpan sampai nanti, dan kita rindukan sesekali.