13 Feb 2015

Vianden Siang Itu

Luxembourg adalah tujuan selanjutnya setelah Belgia. Betapa kecilnya kedua negara itu hingga dalam dua jam batas kedua negara sudah dilewati. Bandingkan dengan perjalanan kereta 8 jam dari Jakarta ke Semarang yang biasa aku lalui. 

Di Luxembourg aku mengingatmu. Tepatnya, di jalanan sempit kota Vianden yang membawaku ke Vianden Castle di atas bukit. Konon, Victor Hugo pernah menetap di kota sunyi ini. Aku membayangkan dia dulu sering berjalan di tepi Sungai Our, bersama imajinasinya, merangkai puisi, prosa dan sketsa. Belakangan aku baru tahu ada museum Victor Hugo disana, tapi entah dimana, mungkin di dekat patung Hugo yang waktu itu kulihat.



Butuh waktu untuk menaiki bukit menuju ke kastil. Tapi kota itu sendiri seperti puisi. Tidak ada banyak orang, hanya beberapa yang kami temui. Mungkin karena ini musim dingin, atau mungkin memang daerah ini sudah bukan pilihan bagi para pejalan. Aku melewati rumah-rumah dengan jejak-jejak masa lalu di pintu dan jendelanya. Lorong-lorongnya seperti menyimpan kisah-kisah yang menunggu ditemukan. Dan di jalanan menanjak itu, di antara toko-toko gelap dan hotel-hotel yang tutup, aku mengingatmu.


in this tranquil place,
I was thinking of you,
stranger I haven't met,
or... have I?

I was wondering
how was it like if we were here together
maybe I would throw some words
and you would catch it and make a joke

then while we were walking
I would hold your backpack
and you would act as if you were going to let me fall

but I know you wouldn't
you just wouldn't

Vianden Castle belum kehilangan pesonanya meskipun harus melewati pemugaran  berulang kali. Kemegahannya mungkin tidak sebanding dibanding saat pertama kali dibangun diantara abad ke-11 dan ke-14. Memang beberapa bagian kastil ini berupa reruntuhan, tapi melihat kastil ini berdiri di puncak bukit, lalu memasuki ruang demi ruang dan membayangkan kehidupan macam apa yang pernah terjadi disana, tetap melahirkan perasaan sublim. 


Kau tahu, kastil ini mengingatkanku pada dongeng tentang putri berambut panjang yang dikurung di atap menara. Aku bisa membayangkan kau tertawa membayangkan masa kecil yang kulewatkan dengan kisah-kisah putri di dalam kastil yang menunggu pangerannya datang. Ah tidak, jangan khawatir, aku tumbuh besar dan ternyata aku tidak bisa diam menunggu. Aku memutuskan keluar dari kastilku, menjelajah tempat-tempat baru dan berharap kau melakukan hal yang sama. Mungkin kau ada di suatu tempat, entah dimana. Mungkin kita pernah bertemu muka, mungkin bahkan pernah bertegur sapa, mungkin juga ada hari-hari yang pernah dilewatkan bersama. Tapi, saat kita menemukan satu sama lain, aku berharap kita sedang sibuk melihat dunia. Aku tahu, saat itu, hidup kita pasti lebih kaya dibandingkan bila kita hanya sekedar saling menunggu. Setelah itu, kita masih punya banyak waktu untuk berbagi cerita perjalanan dan merencanakan petualangan baru.



3 Feb 2015

Bruges dan Kenangan

Hai, Petualang. Apa kabar? Semoga kamu sudah bisa sedikit menarik napas dari kesibukan.

Aku sedang di Bruges sekarang. Akhirnya ada sesuatu yang membuatku betah di Belgia, setelah Brussels yang kumuh dan Antwerp yang riuh. Seandainya aku tahu, mungkin aku akan melewati kedua kota itu dan langsung naik kereta dari Luxemburg ke Bruges.

Iya, iya, aku bisa membayangkan kamu mengatakan, "I told you..." sambil mengetuk kepalaku. Aku tidak sepertimu, yang selalu terencana dan mempersiapkan segala sesuatu dengan rapi. "Banyak-banyak riset sebelum berangkat," katamu waktu itu, dan aku hanya menggangguk tanpa pernah benar-benar mendengarkan. Pikirku, perjalanan ini cuma seminggu dan terus terang, Eropa jarang menawarkan kejutan yang seperti kembang api. Jadi aku hanya sekedar membuat rencana perjalanan, dari kota ke kota tanpa mencari tahu apakah tempat-tempat itu cukup layak mendapatkan waktu liburku yang berharga. Kau tahu, beberapa kota dalam daftar ini sudah pernah kukunjungi.

Kalau bukan karena temanku yang baru sekali ke Belgia aku tidak akan memasukkan Brussels dalam daftar. Aku masih tidak menemukan sesuatu yang menarik dari kota ini. Manekin Pis, patung si bocah pipis yang terkenal itu sangat kecil, tersembunyi di salah satu pojok pusat kota. Memang di pusat kota ada wafel dan moules - masakan kerang - yang lezat, tapi berada di sebuah kota dan hanya berkeliling di pusat kotanya rasanya menyedihkan. Masalahnya jika kita bergerak sedikit ke tepi, kita hanya akan menemukan pemukiman tak terawat dan lorong-lorong bau pesing.

Bruges benar-benar menebus semua itu.


Sekali lihat, kamu pasti akan tahu kota ini akan jadi favoritku. Rasanya seperti masuk ke mesin waktu. Aku tahu kamu pasti akan suka dengan jalanan batunya yang sempit dan aku akan jatuh cinta dengan bunga-bunga di jendela. Toko-toko kue dan cokelat mungkin bukan seleramu, tapi aku sangat rela berat badanku naik untuk mencoba potongan-potongan yang menggoda itu. Kalau kamu disini, kamu pasti harus memaksaku meninggalkan etalase toko yang menjual pernak pernik rumah berhias renda Belgia. Andai saja aku punya cukup uang untuk membawa pulang semua itu.

Petualang, kau pasti tidak akan terkejut kalau aku suka kota ini karena kota ini romantis. Tidak, ini bukan tentang fakta bahwa di kota ini banyak terdapat kissing spots atau patung kodok mungil yang bila dicium oleh 1000 turis akan berubah menjadi pangeran atau putri yang akan membawakan ranselmuTidak, itu romantisme yang aneh. Aku suka kota ini karena dia romantis dengan caranya yang bersahaja. Tidak perlu banyak aturan, letakkan saja sepeda di depan jendela dan dia akan terlihat romantis dengan sendirinya.

Ok, ok, aku tahu kamu bukan penggemar romantisme. Aku akan berhenti sampai disini atau, seperti yang kamu sering bilang, kita akan terkapar karena diabetes. Tapi aku sungguh tidak menemukan kata lain untuk menggambarkan kota ini. Misalnya saja, berjalan dari stasiun sampai ke pusat kota, kamu akan melewati jalanan kecil dengan sungai dan pepohonan di tepinya. Jalanan itu akan membawamu ke sebuah biara tua, tidak banyak yang bisa dilakukan disana selain menikmati kesunyian. Sungguh, berjalan di kota ini, melihat angsa-angsa di kanal dekat biara, aku tidak bisa tidak mengingatmu. Kamu pasti akan suka tempat ini, seperti kamu jatuh cinta pada taman di kota kita, tempat burung-burung berkumpul dan kamu bisa memberi mereka makan. Aku membayangkan kita duduk di tepi kanal, bicara tentang apa saja: masa kecil, lagu kesukaan, impian dan banyak rencana perjalanan.

Aku beruntung datang ke Bruges saat musim dingin, setidaknya kota kecil ini tidak terlalu ramai. Kau tahu, rasanya aku lebih bersahabat dengan sunyi. Di kota ini kamu selalu bisa menemukan tempat untuk sendiri. Seperti saat berada di ketinggian dekat gerbang kota, melihat senja yang jatuh di atap-atap bangunan dan mengubahnya menjadi bayangan.

Senja di kota ini, salah satu senja terindah yang pernah kulihat. Memandang senja itu, aku teringat suatu sore saat kita berdebat tentang mana yang lebih menakjubkan: fajar atau senja. Katamu, fajar bercerita tentang harapan yang tidak dibawa oleh senja, dan aku berkeras bahwa senjalah yang mengawetkan fajar dalam kenangan. Aku tahu, waktu itu kita hanya cukup sombong untuk mengakui bahwa fajar dan senja, begitu juga dengan kenangan dan harapan, adalah sahabat yang lebih senang berjalan bersama. Seperti kita yang saat ini menempuh perjalanan sendirian, membawa kenangan tentang satu sama lain dan harapan tentang senja dan fajar yang nanti dilewatkan bersama.





Bicara tentang kenangan, kota ini sepertinya tidak ingin beranjak darinya. Dalam peta yang kudapat cuma-cuma di biro wisata, aku membaca bagaimana mereka tidak membuka pintu pada restoran-restoran cepat saji. Tentu saja, untuk apa membeli kentang di restoran itu kalau disini kita bisa menemukan kedai yang menjual frites - kentang goreng - khas Belgia dengan saus mayonaise hampir disetiap lorong. Kata mereka, Starbucks di Bruges terlihat menyedihkan dibandingkan dengan kedai kopi milik perorangan yang banyak tersebar di kota. Mungkin Bruges memang mengajak kita memaknai apa itu kenangan, seperti menaiki perahu yang pelan-pelan menyusuri kanal. Banyak orang merasa hidupnya berlalu kelewat cepat, tapi mungkin saja mereka memang tidak pernah tahu caranya berhenti atau berjalan pelan.

Berjalan pelan di Bruges membuatku bisa kembali menulis puisi. Kamu memang bukan orang terbaik yang bisa kuajak bicara tentang kata-kata, tapi seperti yang selalu kau katakan, denganmu aku boleh bicara apa saja.

di bruges, 
masa lalu seperti berdesakan
hilir mudik dari vlamingstraat
menuju wollestraat

di bruges
orang-orang masih bisa tertawa
di tepian kanal di bawah pepohonan
walau matahari melambaikan tangan
dan angsa-angsa bergegas pulang
masih ada segelas duvel di tangan
dan sepeda menunggu di tepi jalan

di bruges
waktu sekedar bisikan


Semoga harimu indah disana, Petualang. Semoga kesibukan tidak membuatmu lupa untuk kadang berjalan lebih pelan.




Salam dari Bruges,


Aku.