18 Nov 2015

Last Night I Dreamed About You

Last night I dreamed about you. You held my hand as we walked in a street. So simple. I don't know where we were going, but you smiled your usual smile, and I followed your steps. We kept walking until I woke up with a weird feeling.

I know in reality I will not let you hold my hands. No matter how I really want it honestly. No matter how comfortable and protective that is actually. I bet you remember the day you put your hand around my shoulder and I put it away. You held my shoulder tighter and I pushed your hand stronger.

Oh, I just do not want we are getting used to it. Then we forget that there are thousands other ways to love more meaningful than to touch.



11 Nov 2015

Kejutan Menyenangkan




Kemarin saya mendapat kejutan menyenangkan.


Rupanya tulisan yang saya buat untuk Gramedia Blogger Competition edisi Oktober dinyatakan sebagai pemenang. Entah berapa peserta yang memerebutkan voucher belanja sebesar Rp.500.000 lewat kompetisi ini. Penyelenggara memberikan tema 'Bagaimana Saya Melihat Gramedia?' dan saya membuat tulisan pendek berjudul 'Di Mataku, Gramedia adalah Sebentuk Cinta'. Sebenarnya idenya sederhana, hanya detail-detail pengalaman saya bersama Gramedia sejak masa kanak-kanak dulu.

Hadiah saya saat ini masih dalam proses pengiriman. Tapi saya sudah membayangkan buku apa yang akan saya beli.



Masih ada sisa beberapa rupiah sepertinya, tapi akan saya pakai untuk beli buku hadiah Secret Santa, acara tahunan komunitas Blogger Buku Indonesia.

Untuk saya, mendapat voucher Gramedia seperti ini cukup mencerahkan hari. Apalagi harga buku akhir-akhir ini terus naik. Kelima buku tadi sudah saya incar sejak lama. Saya memang penggemar sastra. Saya menyukai Remy Silado. Saya suka Seno Gumira Ajidarma yang tidak pernah lelah mengolah senja dalam kata-kata. Lalu Pramoedya, menurut saya semua anak negeri harus membaca bukunya. Eka Kurniawan juga penulis yang karyanya sudah diterjemahkan ke banyak bahasa.

Saya ingat betul apa yang dikatakan oleh Haruki Murakami, "If you only read the books that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking.” Jadi, saya memaksa diri saya mengunyah buku-buku yang katanya masuk dalam kategori 'berat' (walaupun sebenarnya banyak buku yang kategorinya lebih berat dari daftar bacaan saya). Ada kalanya saya membaca dengan susah payah. Misalnya, meskipun bagus, saya tidak nyaman membaca Norwegia Wood yang adalah tulisan Haruki Murakami. Tapi bagaimanapun, saya menyelesaikannya, dan saya merasa saya sedang tidak buang-buang waktu.

Bukan berarti saya tidak membaca buku populer, hanya saja memang ada beberapa buku yang bahkan menyelesaikannya saja saya tidak sanggup. Rasanya waktu saya terlalu berharga. Untuk buku populer, seperti teen lit atau chick lit, saya memilih membaca dulu di toko. Lalu kalau bagus saya beli. Favorit saya adalah Windy Ariestanty, Windry Ramadhina, dan Prisca Primasari. Saya suka cara mereka mengolah cerita cinta yang bisa dibilang tema umum, dengan narasi yang baik dan karakter yang kuat.

Entah kapan hadiah saya datang. Tapi saya tidak perlu khawatir, saya masih harus menyelesaikan Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi dan Melihat Api Bekerja milik Aan Mansyur. Menyenangkan ya?


Rahasia

dan aku menulis tentang kita
tapi ada potongan-potongan yang kujaga
tetap rahasia

karena bahkan tanpa kau berkata
aku tahu kisah mana
yang cuma milik kita berdua

aku memahamimu sejauh itu
kau mempercayaiku sedalam itu




Jakarta dan Kita

Mobil-mobil di sepanjang Jalan Stasiun Senen berderet membentuk rangkaian panjang. Malam sudah lama datang dan jam pulang kerja sudah berlalu, namun Jakarta masih hibuk. Bunyi-bunyi klakson kendaraan menceritakan ketergesaan penduduk ibu kota. Ketergesaan yang sia-sia karena kepadatan jalan seperti tidak peduli. Di antara keriuhan itu, kita berjalan di jembatan yang menghubungkan kedua halte Trans Jakarta Atrium Senen. Kau tiba-tiba berkata, "Kangen ya dengan keriuhan Jakarta seperti ini."

Aku mengangguk. Jakarta ini menyenangkan dengan caranya sendiri. Memang lalu lintasnya seperti merebut sebagian besar umur kita di jalanan. Pun cuacanya memaksa kita harus sering-sering mandi jika tidak ingin badan lengket dan gatal-gatal. Tapi, bagaimanapun menyebalkannya Jakarta, dia adalah kota yang tetap kita rindukan. Tidak salah kan kalau Sapardi pernah menulis seperti ini,

 “Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas. 
Jakarta itu kasih sayang.”

Membaca kalimat Sapardi, aku makin merasa Jakarta itu romantis.

Oh, tidak, aku sedang tidak bicara tentang fine dining di lantai 56 Menara BCA. Yah, walaupun aku tidak akan menolak untuk mencoba. Aku bicara tentang romantisme seperti yang kemarin kita lakukan, pergi ke Dufan dengan tiket setengah harga, mencoba hampir semua wahana (kecuali wahana yang melibatkan kepala di bawah), makan siang dengan bekal yang kau bawa dari rumah (aku benar-benar tidak menyangka kau juga membawakan makanan untukku), berdiri berdesak-desakkan di bis Trans Jakarta sambil tetap asyik bicara, makan soto di warung kaki lima dan akhirnya, duduk di bangku pinggir jalan sambil menunggu waktu pulang. Awalnya memang aku berharap kau tidak sungguh-sungguh mengajakku ke Dufan, tapi disana hari berlalu secepat roller coaster yang tidak pernah berani aku naiki.

Kau tahu apa yang paling aku ingat dari kunjungan kita ke Dufan kemarin?

Awalnya aku pikir, saat kita naik Bianglala dan Histeria, melihat Jakarta dari ketinggian. Di kejauhan sana laut terlihat luas. Tapi bahkan wahana konyol seperti Ice Age pun rasanya cukup lucu untuk diingat. Belum lagi ketika kita naik ontang-anting, dan kau berulang kali bertanya bagaimana kalau talinya putus tiba-tiba dan kita terlempar ke bawah. Aku benci ketika kau mulai menakut-nakutiku seperti itu.

Tapi dari semua, yang paling aku kenang adalah pasangan muda yang kebetulan dipasangkan di kereta yang sama di salah satu wahana yang namanya aku lupa. Kau juga pasti masih ingat kejadian itu. Satu kereta seharusnya hanya diisi dua orang, tapi ada tiga orang remaja perempuan duduk di satu kereta dan tiga orang remaja laki-laki di kereta sebelahnya. Penjaga menyuruh salah satu dari masing-masing kereta pindah ke kereta yang kosong. Akhirnya, dua orang asing, laki-laki dan perempuan, dipertemukan oleh kebetulan. Aku masih ingat bagaimana mereka tersenyum malu-malu, sementara teman-temannya menertawakan mereka dengan kejam. Kau sempat menyangka setelah itu mereka akan berkenalan dan bertukar nomor telepon. Jakarta itu memang sungguh romantis ya...

Di Jakarta, kita tidak punya pilihan selain menikmatinya. Menikmati riuhnya, menikmati cuacanya, menikmati lalu lintasnya, menikmati kelakuan orang-orangnya. Kau pernah bilang padaku kalau kita menikmati Jakarta dengan cara yang berbeda. Kau lebih suka nongkrong di warung roti bakar di Pecenongan, sementara aku menggemari cake-cake cantik milik Colette & Lola atau Cheese Cake Factory. Aku penggemar la min bebek di Grand Indonesia atau salmon salad Marche Restaurant, sementara kau sangat bangga dengan gulai kepala kakap di daerah Mangga Besar. Bahkan kemarin kau sempat akan mengajakku ke warung sup kaki kambing di Tanah Abang, sementara aku bersemangat bicara tentang The Reading Room, kafe dengan konsep perpustakaan di Kemang. Disana aku biasa memesan calamari dan jus stroberi, lalu duduk membaca buku berlama-lama.

Tapi bukankah kau dulu pernah bilang, kita bisa pergi ke Taman Suropati. Kau membawa gitarmu dan aku membawa bukuku. Kita sama-sama menyukai taman ini. Untuk kita, minum teh botol dan makan pop mie disana cukup seru. Aku juga membawa pulang frisbee kita, jadi rencana kita bermain frisbee di Monas tiap Jumat sore rasanya bisa diwujudkan. Lalu, kalau kita ingin menonton pertunjukan, kita bisa melihat apa yang ditampilkan di Taman Ismail Marzuki. Tapi kalau kebetulan kita sedang perlu berhemat, pusat-pusat kebudayaan seperti Institute Français, Goethe Haus, @america atau Erasmus Huis biasanya menampilkan pertunjukan gratis.

Jakarta adalah Jakarta. Disini tidak ada daun-daun warna-warni yang berguguran, pun butir-butir salju yang berjatuhan di mantel kita. Kita tidak akan menemui daffodil dan daisy di sepanjang jalanannya. Sungainya tentu jauh bila dibandingkan dengan Thames. Tapi entah dimana di sudut-sudut kota ini, kita selalu punya kesempatan melewatkan waktu seperti yang sering kita lakukan dulu.


4 Nov 2015

Apa yang Diubah Oleh Rindu

Kau tahu apa yang diubah oleh rindu?

Aku bisa membayangkan kau menggelengkan kepala dan menggerutu karena pertanyaanku yang aneh itu.

Jadi, gambarannya seperti ini. Hari saat aku pulang ke Indonesia, Jakarta masih macet. Perjalanan dari Cengkareng sampai ke hotel tempat aku menginap di bilangan Cikini memakan waktu tidak kurang dari 3 jam. Aku capek. Tapi, kau tahu apa yang terjadi? Entah kenapa aku menikmati keriuhan Jakarta kali ini. Aku tidak mengeluh ketika taksi yang membawaku hanya bisa bergerak perlahan. Yah, aku memang bukan tipe perempuan yang suka mengeluh.  Tapi bukan karena itu. Sederhananya, kemacetan sekarang rasanya tidak mengganggu. Itu saja.

Bahkan ketika aku berjalan dari hotel menuju Menteng Huis, rasanya menyenangkan. Aku mencium aroma masakan dari warung-warung di pinggir jalan. Sekali lagi aku merasakan Jakarta dari pemandangan deretan bajaj yang diparkir di tepi jalan. Beberapa pengemudinya bergerombol sambil tertawa-tawa. Yang lain tertidur di belakang kemudi sambil sesekali menyeka keringat dengan handuk yang tergantung di leher. Rasanya menyenangkan melihat mereka.

Lalu, melewati Taman Ismail Marzuki, aku melihat sekumpulan anak nongkrong. Sepertinya aku belum pernah menceritakannya padamu. Dulu di kompleks seni ini aku dan beberapa sahabat sering menonton teater atau konser, salah satu strategi kami agar tidak gila diantara kesibukan Jakarta. Tapi aku dulu tidak pernah suka melihat rombongan pemuda tanggung yang bermain bola di pelataran TIM, makan sambil bersila begitu saja di tanah dan bicara dengan suara keras. Aku tidak suka riuh, dan mereka terlalu riuh. Tapi entah kenapa malam itu rasanya menyenangkan melihat mereka.

Mungkin karena suasana seperti ini lama sekali tak kutemui. Jadi sekarang, betapapun dulu kurasa menyebalkan, rindu telah mengubahnya menjadi menyenangkan.

Saat bertemu lagi nanti, rindu pasti melakukan hal yang sama pada kita.

Kau mengerti?



30 Oct 2015

Di Mataku, Gramedia adalah Sebentuk Cinta

Aku tidak ingat kapan pertama kali aku mengunjungi Gramedia.

Yang aku ingat, aku beruntung memiliki orang tua yang membesarkanku menjadi seorang pencinta buku. Bapak dan Ibu mengantarku tidur dengan segelas susu cokelat hangat dan cerita-cerita dari buku dongeng. Disaat orang tua-orang tua lain membelikan boneka untuk anak perempuan mereka, Bapak dan Ibu memberiku buku. Bagi kami, pergi berjalan-jalan di akhir minggu berarti pergi ke pusat kota dan mengunjungi toko buku.

Masalahnya, di Magelang, kota tempat aku lahir dan tumbuh besar, tidak ada Gramedia. Yang ada hanyalah toko buku dengan spanduk besar bertuliskan “Menjual Buku-Buku Terbitan Gramedia.” Tentu saja koleksinya tidak terlalu lengkap. Serial dongeng terbitan Elex Media Komputindo tidak semuanya tersedia, pun buku cerita rakyat yang dulu aku koleksi. Mungkin karena itu, karena tidak tahan melihat kekecewaanku setiap kali buku yang kucari tidak ada, Bapak dan Ibu membawaku ke Gramedia. Waktu itu aku masih duduk di Sekolah Dasar.

Mengunjungi Gramedia berarti pergi ke luar kota, tepatnya ke Jogjakarta. Itu berarti, Bapak dan Ibu harus menyiapkan dana ekstra untuk transportasi, makan siang dan jajanan entah apa, juga terutama, menuruti keinginanku berbelanja buku. Wajar saja kalau akhirnya pergi ke Gramedia adalah sebuah kemewahan. Gramedia adalah hadiah dari Bapak dan Ibu kalau prestasiku bagus saat akhir tahun ajaran, saat aku memenangkan perlombaan, atau saat Bapak dan Ibu mendapat rezeki tak terduga.

Setiap kali mengunjungi Gramedia, kami akan pergi pagi-pagi dan baru pulang saat matahari hampir tenggelam. Aku tidak terlalu ingat detilnya, tapi menurut cerita Ibu, aku betah berdiri berjam-jam membaca buku di Gramedia, lalu memilih banyak buku yang aku anggap bagus. Kadang Ibu akan bercerita betapa dia dulu sebenarnya lelah menemaniku berlama-lama menghabiskan waktu di Gramedia.

Mungkin karena kemewahan itu, setiap kami sekeluarga mengunjungi kerabat di Bandung, jika ada yang bertanya kemana aku ingin dibawa jalan-jalan, aku selalu menjawab “Gramedia!” Bahkan saat diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang, hal pertama yang aku katakan pada Bapak adalah “Asyik, di Semarang ada dua Gramedia!”

Di mataku, Gramedia adalah sebentuk cinta. Ketika sekarang aku tinggal di Jakarta, kota dengan banyak Gramedia, setiap aku mengunjungi toko ini, aku mengenang cinta Bapak dan Ibu yang selalu sabar menungguiku menghabiskan waktu disana. Aku juga mengingat cinta teman-temanku yang membawaku ke Gramedia dan membiarkan aku memilih sendiri hadiah ulang tahunku. Kata mereka, “Kami tidak hafal buku apa yang kamu punya atau tidak punya. Jadi daripada salah, lebih baik kamu pilih sendiri.” Di toko ini, aku juga mengingat cinta sahabat-sahabat priaku yang selalu siap mengantarku ke Gramedia dengan motornya setiap pulang kuliah, walaupun pertanyaan mereka selalu sama, “Kamu ngga bosan ke Gramedia setiap hari?”

Ah, aku tahu, bahkan untuk mereka yang bekerja di Gramedia, hari-hari yang mereka lewatkan di toko ini adalah juga sebentuk cinta, untuk keluarganya, untuk kolega mereka, juga untuk pelanggan yang datang dan pergi. Aku melihat sebentuk cinta itu dari susunan buku-buku yang dijaga rapi di raknya masing-masing, termasuk dari satu buku yang dibiarkan terbuka tanpa plastik pembungkus agar pelanggan dapat mengetahui isi buku sebelum membeli. Aku juga merasakan sebentuk cinta itu dari sapaan di pintu toko kalau kebetulan aku datang tepat saat toko dibuka. “Selamat pagi, selamat datang di Gramedia…”, begitu kata mereka. Sebentuk cinta itu juga ada pada senyum pramuniaga dalam ketergesaan mereka menemukan buku yang dicari pelanggan. Kadang mereka akan menyusuri rak demi rak, mencari di katalog elektronik, atau bahkan meminta bantuan kolega mereka agar buku itu ditemukan. Aku bahkan ingat, beberapa cabang Gramedia akan menyediakan kurma dan air mineral saat bulan puasa, sehingga pelanggan tidak perlu repot pergi ke luar toko untuk membatalkan puasanya. Jika tanpa sebentuk cinta, bagaimana toko ini bisa begitu nyaman, walaupun label diskon jarang ditemukan di antara tumpukan buku-buku yang dijual?

Sungguh, aku tidak ingat kapan pertama kali mengunjungi Gramedia, sama halnya seperti aku tidak tahu sudah berapa kali aku pergi kesana. Yang aku tahu, aku selalu kembali ke Gramedia karena disana aku melihat sebentuk cinta.







*postingan ini diikutkan pada kontes Gramedia Blogger Competition edisi Oktober. Info lengkap bisa dibaca disini.

18 Oct 2015

How did it feel to travel without you?

We've promised that when we meet again soon, we'll talk about each other's journey. And if you ask me how did it feel to travel without you, it was quite alright.

You went home before me, and suddenly I found myself looking for some places to go. I didn't go much, but I took some nice pictures of the scenery. It was mid-autumn.

Once I visited an old town whose castle was full of people celebrating music. But it felt like every pathway was too wide, because there was no one calling me nerdy when I picked a fallen leave and put it carefully between the pages of a book. The autumn there was so quiet eventhough I've kicked those leaves on the ground so hard. All alone, I tented the wind and the gloomy skies and the birds in that conduit cables until the lamp posts were started to flicker. For the first time, I was thinking about home and wondering why the days seemed so long when the fact those were being shorter. Home never felt this far.

Llwyn Farm, Powys, Wales, the UK

On another time, I went to a small village which quite far from where we used to live. We planned to go to this area but, because of a we-dont-know-why reason, it never happened. The farm I stayed is vast enough to be explored. I knew the summer has ended and the weather started to be cold, but still, cycling around would be so fun. Unfortunately I ended up just walking around looking at the sheeps and horses and cows and the mist in the faraway hills. Apparenly the whole journey was not as adventurous as ours since nobody seemed to be interested with dark bushes or narrow alleys or big rocks. It does not mean that it was boring though. You must have known that I have the gift of enjoyings situations. The thing is, no one challenged me to race up to those birch trees and suddenly I forgot when was the last time I laugh so hard until I was breathless.

I remember the moments you said sorry for every plan that did not come true. yet, my journeys were fine without you, weren't those? It just would simply be better with you, for if I was with you, we must have spent so much times laughing at weird things such as apple trees and wild mushrooms.



13 Oct 2015

Mimpi Satu Halaman

"Sebagian besar mimpi saya sudah saya raih."

Begitu yang sering saya katakan pada mereka yang bertanya tentang hidup saya. Tidak semua saya raih memang. Tapi, saya bahagia. Pertama, karena saya adalah orang yang tahu apa yang saya inginkan. Kedua, karena saya keras kepala dan tidak takut mencoba. Ketiga, karena entah bagaimana semesta begitu baik mendukung mimpi saya.

Bidang ilmu yang saya pelajari di universitas sudah saya impikan sejak saya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saya lulus dengan predikat cum laude dan mendapatkan tawaran menjadi akademisi, yang terpaksa harus saya tolak karena itu bukan impian saya. Saya memimpikan Paris, bahkan Eropa, sejak saya masih duduk di sekolah menengah pertama. Hampir sepuluh tahun kemudian saya menginjakkan kaki di kota itu, yang bahkan lampu jalanannya pun menjadi puisi di buku catatan saya. Impian saya melanjutkan pendidikan tinggi di Inggris juga pada akhirnya terwujud dan menjadi salah satu periode paling menyenangkan di hidup saya. Kesimpulannya, kalau saya melihat ke belakang, membandingkannya dengan daftar mimpi saya, maka yang muncul di wajah saya adalah senyuman. Bahkan Michael Buble, Dewi Lestari dan Remi Sylado sudah saya coret dari daftar orang-orang yang ingin saya temui. 

Pernah ada yang bilang saya beruntung. Tapi saya bukan orang beruntung, saya orang yang diberkati. Dan akhirnya orang itu bilang "You are over-blessed."

Tapi saya tidak ingin berhenti. Satu mimpi tergenapi, maka impian baru sudah menanti.

Kali ini saya memimpikan novel karya saya sendiri terbit dan dijual di toko buku. Masalahnya saya tidak ingin sembarangan, saya mengincar dua penerbit, hanya dua penerbit dan mereka penerbit besar. Jadi novel saya harus bagus, atau dia akan berakhir di tangan penerbit entah apa.

Lalu sudah sejauh apa mimpi saya ini?

Satu halaman.

Iya, satu halaman.

Saya tahu menulis bukan cuma tentang inspirasi, tapi juga disiplin. Sayangnya, saya tidak bersahabat dengan disiplin. Bahkan untuk hal-hal yang serius seperti tugas-tugas kuliah pun saya memegang prinsip "Semua akan indah pada deadline-nya."

Masalahnya tidak ada deadline untuk novel pertama saya.

Entah bagaimana nasib Gadis Musim Semi dan Pria Musim Dingin nanti, Primavera dan Zyma, keduanya protagonis dalam novel saya. Jalan ceritanya, entah, saya belum benar-benar tahu. Tapi setidaknya saat ini saya menikmati proses memilih nama-nama tokohnya. Saya mengulik banyak bahasa, mencari tahu apa artinya, karena saya percaya nama tokoh bisa membentuk nuansa sebuah cerita. Primavera berasal dari bahasa Spanyol, artinya musim semi, sedangkan Zyma adalah bahasa Ukraina yang berarti musim dingin. Nama tokoh-tokoh lain saya ambil dari bahasa Latin, Sansekerta, Jawa, Jepang dan apa saja yang menurut saya unik tapi mudah diingat dan diucapkan.

Karakter Primavera dan Zyma belum utuh, tapi saya sudah menyayangi mereka. Demi mereka berdua, hari ini saya membaca lagi blog Dewi Lestari, Journal of a 55-Days Novel. Dia bercerita tentang perjalanan kreatifnya menulis Perahu Kertas, salah satu novel yang menjadi inspirasi saya. Dee bahkan sampai menyewa kamar kos yang menjadi kantornya untuk menulis. Dia mendisiplin dirinya menulis, setidaknya satu bab, empat sampai lima halaman, setiap hari. Jika dia sibuk, dia menulis di perjalanan, di kafe, di bandara, dimanapun dia punya waktu. Sesuatu yang tidak bisa saya lakukan selama ini. Dee menulis berjam-jam, sementara saya sibuk melawan rasa kantuk. Tapi membaca blog Dee, saya belajar bahwa menciptakan kata-kata memang adalah proses yang lambat. Satu hari empat halaman adalah hasil yang normal. Saya tidak tahu ini sebelumnya, saya lebih banyak duduk di kafe selama dua jam, hanya mendapatkan satu halaman, dan merasa tidak membuat kemajuan.

Semoga Prims dan Zy menemukan jalannya. Semoga mimpi saya yang ini menemukan jalannya.


9 Oct 2015

Nottingham, Suatu Hari Ketika Seorang Gadis Menangis

Gadis itu berjalan dari rumah menuju stasiun dengan perasaan kalut. Ia terus menangis sambil berbicara dengan sahabatnya melalui telepon genggam. Pagi itu gerimis dan udara sudah mulai dingin. Rupanya musim panas sudah akan berlalu.

Ia bercerita kepada sahabatnya mengenai sakit hatinya. Sahabatnya mendengarkan dengan sabar, memastikan gadis itu baik-baik saja.

"Kemana kamu akan pergi?" tanya sahabatnya.

"Nottingham...", sahut gadis itu pelan.

"Sendirian?" tanya sahabatnya lagi.

"Iya," gadis itu menyahut singkat.

Di kereta menuju Nottingham, gadis itu berusaha menenangkan perasaannya. Ia sudah tidak lagi menangis, tapi siapapun yang melihat air mukanya pasti tahu ia sedang bersedih. Meskipun Nottingham bukan kota favoritnya, gadis itu merasa tetap harus pergi dan menenangkan hati. Nottingham adalah kota besar terdekat dari tempat dia tinggal, dia tidak punya pilihan. Entah, kali ini dia hanya ingin berada di tengah keramaian. Mungkin supaya pikirannya teralihkan dari kesedihan. 

Ini bukan pertama kalinya gadis itu pergi ke Nottingham. Kota itu cukup luas, tapi sebenarnya atraksinya tidak terlalu banyak. Dari stasiun, gadis itu membeli tiket tram dan menaiki tram pertama yang lewat tanpa memikirkan tujuannya. Tram itu membawanya ke daerah pemukiman di pinggir kota. Ia melihat jejak-jejak pertama musim gugur di pohon-pohon maple sepanjang jalan. Kawasan yang ia lewati sunyi, ia tidak melihat banyak orang. Akhirnya gadis itu memutuskan turun dan menaiki tram lain menuju pusat kota.

Kawasan city centre di Nottingham cukup menarik baginya. Dia menyukai pertokoannya yang berarsitektur klasik. Tapi meskipun begitu, setelah menyusuri jalanan di kawasan Old Market Square tanpa punya tujuan, gadis itu memutuskan untuk mencari toko buku. Dia sengaja mencari toko buku independen yang selama ini selalu menjadi semacam sanctuary saat dia butuh menenteramkan hati. Akhirnya dia menemukannya, sebuah toko buku mungil di jalan Goose Gate, namanya Bookwise. Ternyata Bookwise juga merangkap menjadi toko musik. Bahkan ruangan depan toko ini dikhususkan untuk memamerkan rekaman-rekaman musik klasik.

Ruangan yang memuat buku-buku yang dijual ada di belakang. Tidak besar, tapi bukunya lumayan beragam. Gadis itu menghampiri rak yang memajang buku-buku fiksi. Ia melihat beberapa buku karangan Louis de Bérnieres, tapi ia ingat, bahkan Captain Corelli's Mandolin yang ia beli bertahun-tahun yang lalu pun belum ia baca. Ia membaca satu demi satu judul buku yang tertata dalam posisi vertikal itu. Aneh sekali, gadis itu bisa berada di toko buku, berkeliling dari satu rak ke rak yang lain, hanya mengamati sampul dan membaca judul-judul buku. 

Tiba-tiba ponsel gadis itu berbunyi. Dari seberang, suara adiknya menyapa, "Mbak dimana?"

Gadis itu memberitahu adiknya ia berada di Nottingham. Ia mendengar adiknya menghembuskan nafas panjang.

"Ceritakan padaku, Mbak..."

Tiba-tiba air mata gadis itu mengalir turun. Ia buru-buru menghapusnya. Ia merasa beruntung toko buku itu dalam keadaan sepi. Hanya ada seorang nenek dan cucunya.

"Kalau aku cerita, aku akan menangis lagi," kata gadis itu, suaranya tertahan.

Di seberang sana, suara adiknya ikut tercekat. "Tapi Mbak harus cerita, setidaknya supaya aku tahu apa yang terjadi..."

Gadis itu meletakkan kembali buku yang sedang ia pegang. Ia berjalan keluar dan mencari bangku yang biasanya banyak berada di tepi jalan. Langit sudah mulai cerah, tapi udara semakin dingin, dirapatkannya jaket yang ia pakai. Akhirnya gadis itu menemukan bangku di depan pertokoan dan menceritakan semua kepada adiknya yang dengan sabar mendengarkan. Ia bicara tentang kekecewaan, perkataan yang melukai hatinya, harapan yang lenyap, dan juga betapa ia sebenarnya ingin bisa memaafkan.

Adiknya selama ini adalah orang yang selalu menghiburnya. Dia adalah laki-laki yang akan ikut berkaca-kaca ketika gadis itu meneteskan air mata. Adiknya akan menemaninya melewati hari-hari yang seperti roller coaster, dan menunjukkan kepadanya sisi dunia yang penuh tawa. Bersama adiknya, gadis itu akan tertawa di antara tangisnya. 

Dia meyakinkan adiknya bahwa dia akan baik-baik saja. 

Adiknya percaya gadis itu akan baik-baik saja. Dia hanya berkata dia menunggu gadis itu pulang ke rumah.

Gadis itu menghapus air matanya. Ia merasa begitu kedinginan. Entah apa yang ada di pikirannya tadi pagi, pergi hanya memakai jaket tipis seperti ini. Ia memutuskan memesan teh di kafe terdekat untuk menghangatkan badannya, lalu ia memutuskan pulang. Bahkan Nottingham Castle pun tidak membuatnya tertarik. Ia hanya ingin pulang.

Ia memutuskan melewati jalan lain menuju stasiun. Kali ini jalanan itu bukan tipe favoritnya. Hanya pedestrian biasa, tidak berestetika dan bahkan agak sedikit kumuh. Melewati salah satu sudut ia mendengar cicit burung. Gadis itu berhenti dan memasang telinga. Benar, itu suara cicit burung, datang dari satu sisi bangunan. Ia menghampirinya, ada satu sisi tembok yang ditutup papan sehingga membentuk ruang diantaranya. Di dalamnya ia melihat seekor burung dara. Ruang di antara tembok dan papan itu terlalu sempit untuk burung itu mengembangkan sayap dan terbang. Papan itu juga terlalu tinggi untuk burung itu melompat. Burung itu terjebak.

Gadis itu mengulurkan tangannya meraih burung itu. Burung itu ketakutan, tapi ia tak melawan ketika kedua tangan gadis itu mengangkatnya. Gadis itu kemudian meletakkan burung itu di tepi trotoar. Awalnya ia heran mengapa burung itu tidak langsung terbang. Tapi mungkin burung itu perlu memulihkan kekuatan. Gadis itu tidak punya waktu lagi untuk menunggui burung itu, keretanya sudah hampir datang. 

Bergegas gadis itu melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari tempat ia menolong burung itu, ia melewati sebuah halte bus. Sepasang kakek dan nenek duduk di bangku halte dan memandangnya. Mereka duduk berdampingan, memegang tongkatnya masing-masing. Ketika pandangan mereka beradu, kakek dan nenek itu tersenyum. Bibir nenek itu bergerak pelan dan mengatakan sesuatu. "Thank you," begitu ia bilang.

Gadis itu terheran-heran. Ia tidak merasa melakukan sesuatu untuk mereka. Tapi kemudian ia paham. Mereka berterima kasih untuk burung itu.

Tiba-tiba gadis itu merasa hatinya hangat. Tiba-tiba ia merasa harinya tidak seburuk yang ia rasakan tadi. Ia merasa perjalanan kali ini sedikit menyembuhkan.






7 Oct 2015

Pulanglah dan Kita Bisa Kembali Membuat Rencana

Kita adalah perencana.

Dulu kita pernah begitu bersemangat merencanakan banyak hal, terutama perjalanan.

Tapi kali ini ketika jarak tak bisa kompromi, kau memutuskan pergi sendiri. Tujuan pertama, ibu kota Sumatera Utara, kota tempat kau menemukan mimpi dan kota tempat aku kehilangan hati. Kota ini dulu menjadi bagian pertama dari rencana kita melangkahkan kaki di seluas-luas nusantara. Kita sudah membayangkan tempat-tempat makan yang melegenda, dan aku sungguh tidak sabar merasakan lagi rasa kue bolu-nya yang khas. 

Tapi rencana memang bisa berwujud berbeda.

Katamu kali ini kau pergi dengan seorang teman. Ah, syukurlah, meskipun tanpa aku, setidaknya kau tidak sendirian. Aku sungguh berharap teman perjalananmu itu seorang yang menyenangkan dan membuat perjalananmu berkesan. Mungkin nanti ketika perjalananmu ini selesai, aku akan banyak bertanya. Apakah kalian pergi melihat boneka sigale-gale? Benarkah dia benar-benar digerakkan roh? Apakah kalian membicarakan ornamen dalam rumah adat Batak yang rumit itu? Konon katanya orang Batak dulu adalah kanibal. Adakah adegan memakan orang tergambar di salah satu tiang? Atau, apakah kalian menertawakan stereotype masyarakat Batak yang kadang tidak masuk akal dan lucu? 

Tapi membaca pesanmu tetap saja saja membuatku pilu. "It would be more fun if you can join us," begitu katamu lewat pesan singkat. Sayangnya aku tak bisa, rumah terasa masih begitu jauh.

Jadi setidaknya untuk saat ini, kita kembali menjadi perencana. Akhir bulan ini ada Festival Penulis dan Pembaca di pulau para dewa, aku berencana bergabung dan sepertinya datang beberapa hari lebih awal bersamamu adalah sebuah pilihan. Kau terdengar bersemangat dan aku membaca kalimat ini di layar ponselku, "Cepatlah pulang, kita makan gulai kepala kakap sesuai rencana dan kita bisa bicara tentang perjalanan."

Setidaknya sampai saat itu, tahukah kamu bagaimana rasanya diingat? Seperti ketika kau bilang, "Di pulau ini ada perpustakaan kecil, dan aku langsung teringat padamu." Lalu kau mengirimkan fotonya: sebuah bangunan sederhana dengan jendela terang. Di dalamnya terlihat rak tinggi berisi buku-buku.

Mungkin begini, rasanya seperti membiarkan kau melakukan perjalanan sendirian namun tanpa penyesalan.

Karena pada akhirnya, meskipun kamu menolak permintaanku untuk masuk ke perpustakaan itu dan melihat buku-buku apa yang ada disana, kau bilang nanti kau akan mengantarku kesana. Aku mengungkapkan keherananku. Lalu kau menceritakan ketidakpuasanmu pada perjalanan kali ini, asap dari propinsi tetangga membuatmu harus membatalkan rencana berkeliling. Kau akan kesana lagi lain kali, tapi kali ini kau akan menungguku pulang. 

Dan semua nampak begitu wajar seperti hari-hari yang telah berlalu.

Kita memang hanya perencana. Tapi bukankah rencana seakan tidak berbatas. Jika memang tidak terjadi, untuk rencana selalu masih ada lain kali.





5 Oct 2015

Poemcard #11



The Distance





it is the distance 
that finds the words to describe the morning breeze
it is the distance
that kindles the flames to overcome the longing of forgetting
it is the distance
that give meaning to every little trace

and hold the memories to stay




2 Oct 2015

Pesan Akhir Musim


Gambar diambil dari sini



  Dear Four Seasons,


You are more than you think you are.
You can more than you think you can.
Walk further. Jump higher.
I pray you countless miracles.



Ciel de Printemps



Musim Semi dalam Botol Berpita Perak

Aku menemukannya sepulang mengantarkanmu ke stasiun. Aku duduk di kamarmu, memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk bersedih. Kamarmu sekarang kosong, hanya tersisa beberapa barang. Di atas lemari kecil, di sebelah meja tempat kamu biasa belajar, aku melihat kantung kertas itu. Sebuah catatan kecil menandakan kantung itu ditujukan untukku. Ada kotak kecil dengan pita putih di dalamnya. Aku membuka kertas pembungkusnya yang berwarna emas, dan aku menemukannya. 

Kamu meninggalkan musim semi dalam botol berpita perak berisi cairan merah jambu. Aku mencium wangi jeruk dan bunga peony. Pikiranku seperti terbawa pada suatu hari di awal April, pada sebuah kota di tepi Mediterania. Hari itu, matahari bersinar hangat dan angin bertiup sejuk.


Gambar diambil dari sini

Pencipta wewangian itu, seorang pria Perancis yang mungkin lebih terkenal dari Presiden, menggambarkannya sebagai a dress embroidered with a thousand tiny flowers atau a floral bouquet. Mereka yang mengenalku pasti tahu keduanya termasuk dalam hal-hal yang menjadi kesukaanku.  Bahkan lagu favoritku, La Vie En Rose, menjadi musik latar komersial pendek mengenai wewangian ini. Belum lagi, Natalie Portman, ikon wewangian yang kamu tinggalkan untukku, mempunyai karakter yang selama ini aku kejar. Dia, aktris jelita lulusan Harvard, kombinasi kecerdasan, kecantikan dan kesuksesan. Bukankah kamu dulu bilang aku adalah utopia? Menurutmu aku berbeda dari gadis-gadis kebanyakan. Kadang ketika kita bercakap berdua, kamu sering menanyakan pertanyaan ini, "Why are you so smart?" Seandainya kamu tahu, aku menghargai anggapan seperti itu, lebih dari ketika orang-orang memuji penampilanku.

Ah, tapi kamu pasti tidak memilihkan parfum itu untukku berdasarkan sebuah deskripsi. Kamu bilang kamu sengaja memilihkan wewangian beraroma bunga, karena kamu tahu selama ini wewangianku beraroma daun. Kamu hanya ingin aku memakai sesuatu yang berbeda. Kamu menyukai wanginya, kamu berpikir itu sesuai untukku, sesederhana itu.

Tapi wewangian dari high end fashion label seperti yang kamu tinggalkan itu bukan barang sederhana. Memberi hadiah memang bukan sebuah hal yang sulit untukmu, tapi bahkan saat kamu pulang, teman-teman dan sahabat-sahabatmu pun tidak mendapatkan hadiah semewah ini. Aku tahu, karena aku yang membantumu memilihkan buah tangan untuk mereka. Beberapa orang kenalan kamu pilihkan hiasan lemari es, lalu beberapa gadis yang kamu anggap dekat mendapatkan apron untuk memasak. Beberapa orang kamu pilihkan sesuatu yang lebih istimewa, tapi, kamu bilang, itu pun karena mereka meminta.

Jadi, mengapa aku? Aku tidak pernah meminta kemewahan musim semi seperti yang kamu tinggalkan itu. Hanya saja, seorang teman pernah berkata, "Don't ask why. Because you deserve that."

I know sometimes we better regard things as simple as that.

Setiap kali aku mencium wangi musim semi yang kamu tinggalkan, aku akan mengingat kepergianmu. Beberapa saat setelah berpamitan, kamu tidak mengijinkanku melihat sorot matamu. Kamu sama sekali tidak menoleh ke belakang. Tapi, sama halnya denganmu, aku tidak mengijinkanmu melihat air mataku. Aku susah payah menahannya sampai tubuhmu hilang di tangga menuju peron. Seandainya kamu tahu, bahkan berjam-jam setelah kepergianmu, aku masih merenungi sebuah kehilangan. 



P.s. : Kamu pasti tidak tahu kan kalau Miss Dior Blooming Bouquet berarti a Promise of Love?





29 Sept 2015

Pesan dari Istanbul


Foto oleh Nur Adhib Angayomi

Istanbul biasanya cerah. Tidak kali ini. Hujan deras. Angin menderu. Di kedai kopi aku berteduh. Hanya sekedar menghabiskan waktu. Lalu datang berita dari negeri seberang. Tentang kamu yang seseorangmu beranjak. Menyisakan aroma musim semi. Terperangkap sunyi. Terkurung dalam kaca merah jambu.

Mungkin, mendung di hatimu menjadi hujan badai di kota ini. Meski kau tak bercerita, aku tahu. Alam sudah mengatakannya kepadaku. Jelas, lugas, tanpa ragu.

Gadis yang Duduk di Sudut Taman, kau tahu? Musim gugur mungkin memang bukan waktumu. Musim dingin juga mungkin akan melayukan tamanmu. Tapi musim semi akan datang lagi. Sampai saat itu tiba, Dia akan membimbingmu, dan Waktu akan memekarkan taman bungamu.



(oleh Nur Adhib Angayomi)

27 Sept 2015

Pesan Dari Praha

 Pesan dari Praha,

Foto oleh Alfia Oktivalerina

Salam hangat dari potongan senja Sungai Vltava untuk sahabatku si Gadis Pencinta Langit...

Aku yakin kamu akan jatuh cinta dengan kota ini pada jejakan kaki pertama. Kubayangkan kau larut dalam sore dengan manisnya trdelnik dan teh (walau kau pasti tergoda mencicip Czech beer! Haha!), memandang Charles Bridge ditemani coretan puisi atau prosa novel perdanamu (ha!). Aku tahu kau tak suka riuh, jadi menyepilah di sekitar Prague Castle yang tinggi kala petang untuk menyambut cantiknya suasana malam kota dari atas sepuasmu. Atau kau bisa sekedar habiskan waktu susuri Pariszka Street yang konon mengimitasi Champs Elysees di kota favoritmu. 

Kemasi tangismu, kubur sedihmu, dan kembangkan senyum termanismu untuk semua mimpi yang belum terbayar. Ya, bernyanyilah, menarilah, rayakan hidupmu dalam kecantikan melegenda bersama kentalnya nuansa medieval dan bangunan-bangunan bergaya gothic yang mempesona nan misterius.

Sahabatku, mencintai Praha akan jauh lebih sederhana sebab ia tak akan membuatmu kehabisan air mata.

***

Jawaban dari London,



Hai Gadis yang Dulu Bermimpi Menjadi Putri,

Aku membaca tulisanmu sambil menyusuri jalanan kota London. Aku beruntung memakai sunglasses karena itu berarti tidak ada yang tahu kalau aku sedang menahan air mata.

Aku tidak pernah mengira London akan menjadi kota yang menenteramkan. Kota ini masih terlalu riuh untukku apalagi ketika aku melewati Leicester Square dan Picadilly. Tapi menyusuri kawasan pemukiman yang sunyi di kota ini, memasuki toko buku-nya satu demi satu, aku merasa bahagia itu sederhana, sesederhana kesanggupanku untuk menghitung hal-hal di genggaman tangan dan kerelaanku  melepas apa yang memang tidak teraih.

Sampai di titik ini aku memutuskan untuk memandang semua seperti sebuah perjalanan. Aku ingat, tidak peduli seberapa dalam aku mencintai Paris dulu, hari itu aku harus pulang, meninggalkan jalanan batu Montmartre, meninggalkan gemerlap Champs Elysees, meninggalkan riak Sungai Seine. Aku ingat aku meninggalkan Paris dengan berat, karena Paris adalah kota yang kuimpikan selama bertahun-tahun, yang pada akhirnya bisa kuraih, tapi yang sejak awal aku tahu waktuku bersamanya hanya sementara. Tapi satu hal yang pasti, selama di Paris, aku bahagia, dan itu cukup.

Tentang perjalanan ini, kalau pada akhirnya waktuku habis dan aku memang tidak bisa tinggal, setidaknya aku berharap aku telah meninggalkan jejak. Semoga jejak itu adalah jejak yang baik, jejak yang memberi pelajaran, jejak yang mengajar bijaksana, dan jejak yang berharga untuk dikenang.

Terima kasih telah berjalan bersamaku di perjalanan ini. Suatu hari nanti, aku akan mengunjungi Praha, dan melakukan semua yang kau tulis, sambil mengingatmu. Semoga pada saat itu, kamu, Gadis yang Dulu Bermimpi Menjadi Putri, sudah mencapai impianmu di Oxford, di antara tumpukan buku-buku dan kesempatan-kesempatan tak terbatas.

Akan ada saatnya kita duduk minum teh dan bertukar cerita-cerita bahagia.



18 Sept 2015

Surat Untuk Gadis Pencinta Langit

Hai Gadis Pencinta Langit, boleh minta waktumu sebentar? Aku tahu akhir-akhir ini banyak yang kau pikirkan. Tentang pertemuan. Tentang perpisahan. Tentang pertanyaan. Tentang kemungkinan. Tentang banyak hal.

Aku tahu beberapa hari ini kau baru saja mengunjungi toko-toko buku terbaik di kota London. Daunt Books di Marylebone dan Foyles di Charing Cross memang ajaib. Hatchhard di Piccadilly kau rasa terlalu mewah, tapi tetap saja kau menyukainya. Tempat-tempat itu menenangkan hatimu, bukankah begitu? Aku bisa melihatnya dari wajahmu, kau bahagia. Matamu melebar melihat buku-buku berjajar dan kau berjalan di tengah udara dingin sambil bersenandung. Beda sekali dengan rautmu kemarin, ketika kau tahu ada kisah yang harus diakhiri. 

Gadis Pencinta Langit, beberapa kali kau memang dipaksa merapikan kepingan-kepingan hatimu. Dan betapa bangganya aku melihatmu selama ini begitu berani. Mengasihani diri sendiri tidak pernah jadi pilihanmu. Kau tidak sembarang mengeluh. Kau bahkan tidak memberi makan kemarahanmu. Kau memilih membereskan air matamu, dan walaupun berat, memilih pergi, melangkahkan kaki menjauhi apa yang melukaimu.

Aku percaya kau pasti masih ingat kisah-kisahmu itu. Waktu itu kau hanya berdoa agar hari cepat berlalu, karena kau tahu luka hanya sementara. Kau hanya membutuhkan sedikit kesabaran dan daya tahan ekstra, dan berdoa memberimu semua itu. Aku tidak akan pernah lupa doamu yang sederhana, yang kau ulangi setiap pagi, "Tuhan, permintaanku hanya satu, tolong aku agar tidak menangis hari ini."

Kau menjaga senyummu dengan menjauhi semua lagu dan film tentang cinta yang terlalu bersifat romansa. Kau memilih tertawa bersama sahabat-sahabatmu, mengunjungi galeri, pergi ke museum, menonton teater, menikmati konser-konser jazz dan akustik, juga mencoba restoran yang suasananya menyenangkan. Kau menenggelamkan dirimu di toko buku dan membaca buku-buku sastra. Kau mengambil keputusan tidak akan lagi membaca terjemahan, kecuali terjemahan bahasa Inggris. Padahal kau tahu selama ini kau tidak pernah berhasil menyelesaikan buku berbahasa asing. Tapi kau memaksa dirimu melakukan sesuatu yang selama ini tidak pernah kau lakukan. Betapa sekarang kau bisa membaca buku non-terjemahan sama santainya dengan membaca buku-buku terbitan lokal.

Lalu kau memutuskan pergi ke negeri yang dulu hanya kau tahu dari buku-buku dongeng. Setelah pria itu pergi, kau tahu kau tidak bisa hanya menunggu. Kau harus mengejar sesuatu, dan pendidikan tinggi menjadi pilihanmu. Keputusanmu itu menyembuhkan. Kau keluar dari ketakutanmu, menerobos area nyaman, dan sekali lagi, memilih petualangan.

***

Sampai saat ini, pernahkah kau mengukur langkah-langkahmu, hai Gadis Pencinta Langit?

Kau sudah menginjakkan kaki di seluruh pulau paling besar di Nusantara, bahkan juga beberapa pulau kecil. Kau telah melihat betapa ibu pertiwimu sangat cantik, dan betapa takjubnya kau pada manusia-manusia yang berlindung di pelukannya. Di negerimu, kau telah membiarkan kakimu dipermainkan ombak di pantai Lasiana. Kau juga membiarkan rambutmu berantakan karena angin di tepi Sungai Mahakam. Kau bahkan tidak keberatan ketika terik matahari di Pulau Meranti menggelapkan rona kulitmu.

Kau memang telah melihat kesedihan di mata para pemuda saat bercerita tentang bencana. Kau mendengar tentang jejak-jejak kematian saat tsunami Aceh, langsung dari mereka yang mengalaminya. Kau juga mendengar tentang kehilangan karena letusan Gunung Gamalama di Ternate. Tapi kau justru belajar dari mereka, tentang ketabahan untuk melanjutkan kehidupan dan kekuatan penerimaan pada apa yang telah digariskan alam.

Di negerimu itu, kau telah melihat senyum anak-anak kepulauan saat kau mengajari mereka bermimpi: anak-anak Tapanuli, anak-anak Nusa Tenggara, hingga anak-anak Papua. Melihat mereka, kau seperti melihat dirimu sendiri ketika imajinasimu tidak mengenal ketakutan. Kau meyakinkan mereka dunia terlalu luas untuk dihabiskan di satu tempat, karena mereka bisa, karena mereka punya kesempatan yang sama.

Lihat betapa luasnya negerimu, Gadis Pencinta Langit. Lalu bayangkan, betapa jauhnya langkahmu, karena kau telah pergi begitu jauh meninggalkannya. Betapa jauh mimpi telah membawamu. Dari gemerlap Los Angeles hingga kesunyian Luxemburg. Dari Jepang yang arif hingga Perancis yang berkelas. Kau telah mengecap musim-musim, menjelajahi kota-kota, mengenal desa-desa, lalu menuliskannya dalam ribuan kata.

Gadis Pencinta Langit, mengunjungi begitu banyak tempat, bertemu begitu banyak orang, seharusnya kau telah begitu akrab dengan pertemuan dan perpisahan. Seharusnya kau telah begitu terbiasa dengan perkenalan dan keakraban yang sementara. Tidak bisakah kau satu kali lagi menanggungnya? Menanggung luka karena kehadirannya yang hanya sementara? Menanggung sekali lagi perasaan kehilangan dan juga sedikit kesepian?

***

Kau memberinya nama Pria Empat Musim, karena sejak awal kau tahu, empat musim adalah waktu kalian. Lebih dari itu adalah keajaiban. Kini musim gugur sudah datang, dan kau sudah membaca pertandanya. Ada yang harus kau lepaskan bersamaan dengan daun-daun yang juga berguguran. Jadi, Gadis Pencinta Langit, lepaskanlah dan tetaplah bahagia. Ingatlah, kau telah menghabiskan empat musim sebagaimana seharusnya. Kau mengenalnya dari bukan siapa-siapa sampai waktu memantrai kalian dengan kedekatan. 

Ah, aku masih ingat desa kecil ketika kau mulai merasa dia istimewa. Salju pasti turun sangat lebat di desa itu pada malam sebelum kalian pergi kesana. Semua nampak putih dan sunyi. Beberapa kali kau harus berpegangan di tas punggungnya karena jalanan terlalu licin. Aku tahu kau tidak akan pernah lupa tatapan canggungnya sebelum dia memegang tanganmu untuk sebuah foto bersama. Iya, tentu bukan karena itu. Kau mulai memperhatikannya karena dia sengaja meminjam telepon genggammu hanya untuk membaca kabar terbaru tentang sebuah kecelakaan pesawat, juga ketika dia mempertanyakan kapan sebenarnya kemerdekaan negaramu diakui oleh Belanda. Kau mulai merasa dia teman bicara yang menyenangkan, dan ternyata memang demikian. Betapa banyak malam kalian habiskan untuk bicara tentang apa saja.

Lalu musim semi datang, begitu juga musim panas. Kalian beberapa kali pergi berdua dan kau begitu bahagia, begitu juga dia.  Tidak semua pasangan bisa melewatkan waktu berdua di tepian Sungai Thames dengan cangkir cokelat panas di tangannya. Kalian beberapa kali memandang senja yang sama, dan tidak peduli apakah hari akan berganti, memaksa kalian kehabisan waktu. Kalian juga mengagumi jalanan-jalanan batu tanpa sungguh-sungguh peduli akan persimpangan yang cepat atau lambat harus kalian lewati. Kalian hanya memilih sebuah hal sederhana: menjadi bahagia. Semua kebahagiaan itu tidak memberimu pilihan untuk menyesal saat ini. Semesta telah begitu baik pada kalian, memberi kalian kesempatan saling menemani dan membuat kenangan.

Dengan waktu yang kalian punya, kalian telah menikmati begitu banyak. Tawa di bawah tangga, pertengkaran-pertengkaran lucu, diskusi-diskusi mengasyikkan, perjalanan-perjalanan menyenangkan. Sekali lagi, semesta tidak memberimu alasan untuk menyesal, karena bersamanya kau bahagia. Kau telah menyayanginya dengan berani, sejauh batas yang bisa kau jalani, dan kini jika Semesta memintamu melepasnya, lepaskan dengan keberanian yang sama, dengan kebahagiaan yang sama.

Karena kini, ketika waktumu habis dengannya, pilihanmu adalah berhenti dan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, atau berjalan menyiapkan petualanganmu yang lain. Bukankah sedikit waktu setelah kau pulang kau sekali lagi akan pergi? Entah dimana nanti, aku yakin kau akan menikmati perasaan menjadi asing, dan seperti biasanya, kau akan berjalan dengan peta di tangan, sambil tersenyum dan bernyanyi pelan. Kau layak bahagia karena hidupmu adalah hidup yang menyediakan banyak kemungkinan, sambutlah dengan mata yang berbinar karena harapan.

***

Gadis Pencinta Langit, berjalanlah seirama dengan skenario Semesta. Lepaskan dia dan tetaplah bahagia. 






Jalanan kota London, awal musim gugur



Dirimu Sendiri


14 Sept 2015

Sepertinya Kita Terlalu Sering Bersama, Berdua.

"Kenapa kau tidak mengajakku?" tanyamu.

Aku terdiam.

"Atau setidaknya beri tahu aku kalau kamu mau pergi," katamu lagi.

Aku masih diam.

"Jadi kamu tidak mau terbuka? Tidak mau cerita alasanmu pergi kemarin?", ada nada mendesak pada suaramu.

"Apakah aku punya pilihan untuk tidak menjawab?" Aku tahu kali ini aku harus bicara. Kau bukan orang yang punya banyak stok kesabaran. 

Kali ini kau yang terdiam.

***

Apakah kau sadar, sepertinya kita terlalu sering bersama, berdua. 

Seringnya, kau adalah orang pertama yang aku temui setiap hari dan orang terakhir dengan siapa aku bicara sebelum aku tidur. Kau adalah orang yang aku minta menemaniku pergi berbelanja. Juga kepada siapa aku bercerita tentang impian dan harapan. Kau adalah orang yang akan tiba-tiba duduk di sebelahku di sofa dan bicara sampai tengah malam.

Sepertinya kita memang terlalu sering bersama, berdua. 

Aku adalah orang yang kau ajak pergi ke pusat kota. Aku adalah orang yang kau minta untuk menunggu waktu latihanmu selesai. Aku adalah orang kepada siapa kau menceritakan setiap keluhan dan ketakutan. Aku adalah orang yang kau minta memasak saat sudah dekat waktu makan. Aku adalah orang yang akan menyuruhmu makan ketika kau baru saja pulang.

Kita sudah begitu terbiasa hingga waktu terasa begitu lalu. Ah, bukankah selama ini kita sudah terbiasa sendiri?

***

Hingga aku memutuskan pergi. Sebentar. Beberapa hari. Mengingat bagaimana rasanya saat aku begitu suka hanya berdua dengan diriku sendiri. 

Lalu pesan itu datang, "Are you alright?" 

Dan aku menjawab singkat, "I'm good."

Kau masih menghubungiku, menanyakan beberapa hal. Aku menjawab seperlunya. Kau tidak bertanya aku dimana dan mengapa. Tapi tiba-tiba kau menyisipkan kalimat itu, 

' y a n g  m e r i n d u k a n m u'

Ah, bukankah cinta itu seharusnya membebaskan? Iya, cinta itu membebaskan. Lalu apa yang membuat jarak kita seperti terlalu dekat? Lalu apa yang membuat aku ingin sejenak menjadi sendiri, menikmati waktu ketika hanya ada aku, secangkir teh dan sebuah buku?

Sepertinya kita memang terlalu sering bersama, berdua. Aku tidak bisa memberitahukan ini padamu. Tapi, mungkin kau perlu tahu, aku pulang karena kata rindumu.




31 Aug 2015

Perjalanan Lepas Tengah Malam

Sudah lepas tengah malam dan kita masih di perjalanan. Hanya ada satu dua mobil yang kita temui. Di negara ini penerangan jalan begitu temaram dan bahkan di beberapa bagian tidak ada lampu sama sekali. Kau menyetir sambil melawan kantuk dan aku duduk di sampingmu, bertahan untuk tidak jatuh tertidur. Kita hanya berdua, aku tidak mungkin tidak bangun dan menemanimu. Perjalanan kita masih panjang, beberapa puluh mil lagi sebelum kita sampai ke rumah. 

Baru beberapa mil, kau memintaku menyanyi karena, katamu, itu akan membantumu konsentrasi. Setelah dua tiga lagu, aku menyerah. Aku bilang aku tidak suka menyanyi. Segera kau protes karena kau tahu setiap pagi aku suka bersenandung di dapur, sambil memasak atau menyapu lantai. Tapi siapa yang suka menyanyi tengah malam begini, ketika badan lelah dan suara serak akibat kantuk. Lagipula, suaraku sebenarnya tidak bagus dan aku tidak pandai mengingat lirik.

Jadi akhirnya aku membacakanmu sebuah cerita pendek. Judulnya Hanya Isyarat. Cerita ini salah satu favoritku, diambil dari buku Recto Verso karangan Dewi Lestari. Kisahnya pedih, tentang seorang gadis yang mencintai seorang pria dari kejauhan, sebatas memandang punggungnya saja. Keinginan gadis itu hanya satu, ia ingin tahu apa warna mata pria itu.
Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.
Aku membaca cerita itu pelan-pelan sementara kau masih berkutat dengan kemudi. Entah kau mendengarkan aku atau tidak. Tapi sepertinya iya, karena setiap aku melambat kau akan memintaku terus membaca. Tapi kau bukan penggemar cerita dengan bahasa melankolis seperti ini. Setelah cerita itu selesai kau bilang kau tidak mengerti. Aku harus sedikit menjelaskannya dengan bahasa yang lebih sederhana.

"Gadis itu tahu mereka tidak bisa bersama, jadi dia hanya ingin tahu apa warna mata pria itu. Ternyata warnanya cokelat muda..." kataku.

"Tapi apa hubungannya dengan cerita tentang punggung ayam?" tanyamu lagi.

"Itu perumpamaan," jawabku sekenanya. Aku sudah tidak punya energi lagi untuk menjelaskan. Perjalanan kita hari ini sungguh terasa panjang.

Aku memandang keluar jendela. Kau mengumpat espresso yang tadi kau minum di restoran tempat kita makan malam. Sama sekali tidak membantu, begitu katamu. Ah, kau memang tidak pernah suka kopi. Seharusnya minum kopi sedikit saja akan membuatmu terjaga karena kau tidak terbiasa. Aku jadi ingat ketika kau meneleponku malam-malam, memintaku menemanimu terjaga karena kau tidak bisa tidur gara-gara espresso. Aku bilang aku mengantuk waktu itu, lalu kau menyuruhku tidur. Entah siapa yang lalu kau minta menemanimu melewati insomnia malam itu.

Kau memacu mobil di luar batas kecepatan karena menurutmu itu akan membantumu konsentrasi. Aku sibuk mencari artikel-artikel yang mungkin akan menarik perhatianmu. Lalu aku ingat kau suka sejarah, jadi aku memilih sebuah artikel tentang pemberontakan Malari. Tapi rupanya kau sudah terlalu mengantuk dan memilih menepikan mobil supaya kau bisa tidur sejenak. Aku ikut memejamkan mataku, tidak lama, lalu kita kembali melanjutkan perjalanan. 

Sampai di rumah, aku membuatkanmu segelas teh panas. Tidak seperti kopi, teh akan memberimu perasaan tenang dan membuat tidurmu lebih nyenyak. Kita bercakap sebentar di dapur sebelum masuk ke kamar masing-masing.

Kau berhenti sejenak di depan pintu kamarmu, nampak ragu-ragu. "Terima kasih sudah menyanyikanku lagu-lagu itu," katamu pada akhirnya.

Aku hanya tersenyum dan menyahut, "Terima kasih sudah menyetir sejauh itu."

Lalu masing-masing kita menutup pintu.