31 Aug 2015

Perjalanan Lepas Tengah Malam

Sudah lepas tengah malam dan kita masih di perjalanan. Hanya ada satu dua mobil yang kita temui. Di negara ini penerangan jalan begitu temaram dan bahkan di beberapa bagian tidak ada lampu sama sekali. Kau menyetir sambil melawan kantuk dan aku duduk di sampingmu, bertahan untuk tidak jatuh tertidur. Kita hanya berdua, aku tidak mungkin tidak bangun dan menemanimu. Perjalanan kita masih panjang, beberapa puluh mil lagi sebelum kita sampai ke rumah. 

Baru beberapa mil, kau memintaku menyanyi karena, katamu, itu akan membantumu konsentrasi. Setelah dua tiga lagu, aku menyerah. Aku bilang aku tidak suka menyanyi. Segera kau protes karena kau tahu setiap pagi aku suka bersenandung di dapur, sambil memasak atau menyapu lantai. Tapi siapa yang suka menyanyi tengah malam begini, ketika badan lelah dan suara serak akibat kantuk. Lagipula, suaraku sebenarnya tidak bagus dan aku tidak pandai mengingat lirik.

Jadi akhirnya aku membacakanmu sebuah cerita pendek. Judulnya Hanya Isyarat. Cerita ini salah satu favoritku, diambil dari buku Recto Verso karangan Dewi Lestari. Kisahnya pedih, tentang seorang gadis yang mencintai seorang pria dari kejauhan, sebatas memandang punggungnya saja. Keinginan gadis itu hanya satu, ia ingin tahu apa warna mata pria itu.
Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.
Aku membaca cerita itu pelan-pelan sementara kau masih berkutat dengan kemudi. Entah kau mendengarkan aku atau tidak. Tapi sepertinya iya, karena setiap aku melambat kau akan memintaku terus membaca. Tapi kau bukan penggemar cerita dengan bahasa melankolis seperti ini. Setelah cerita itu selesai kau bilang kau tidak mengerti. Aku harus sedikit menjelaskannya dengan bahasa yang lebih sederhana.

"Gadis itu tahu mereka tidak bisa bersama, jadi dia hanya ingin tahu apa warna mata pria itu. Ternyata warnanya cokelat muda..." kataku.

"Tapi apa hubungannya dengan cerita tentang punggung ayam?" tanyamu lagi.

"Itu perumpamaan," jawabku sekenanya. Aku sudah tidak punya energi lagi untuk menjelaskan. Perjalanan kita hari ini sungguh terasa panjang.

Aku memandang keluar jendela. Kau mengumpat espresso yang tadi kau minum di restoran tempat kita makan malam. Sama sekali tidak membantu, begitu katamu. Ah, kau memang tidak pernah suka kopi. Seharusnya minum kopi sedikit saja akan membuatmu terjaga karena kau tidak terbiasa. Aku jadi ingat ketika kau meneleponku malam-malam, memintaku menemanimu terjaga karena kau tidak bisa tidur gara-gara espresso. Aku bilang aku mengantuk waktu itu, lalu kau menyuruhku tidur. Entah siapa yang lalu kau minta menemanimu melewati insomnia malam itu.

Kau memacu mobil di luar batas kecepatan karena menurutmu itu akan membantumu konsentrasi. Aku sibuk mencari artikel-artikel yang mungkin akan menarik perhatianmu. Lalu aku ingat kau suka sejarah, jadi aku memilih sebuah artikel tentang pemberontakan Malari. Tapi rupanya kau sudah terlalu mengantuk dan memilih menepikan mobil supaya kau bisa tidur sejenak. Aku ikut memejamkan mataku, tidak lama, lalu kita kembali melanjutkan perjalanan. 

Sampai di rumah, aku membuatkanmu segelas teh panas. Tidak seperti kopi, teh akan memberimu perasaan tenang dan membuat tidurmu lebih nyenyak. Kita bercakap sebentar di dapur sebelum masuk ke kamar masing-masing.

Kau berhenti sejenak di depan pintu kamarmu, nampak ragu-ragu. "Terima kasih sudah menyanyikanku lagu-lagu itu," katamu pada akhirnya.

Aku hanya tersenyum dan menyahut, "Terima kasih sudah menyetir sejauh itu."

Lalu masing-masing kita menutup pintu.


No comments:

Post a Comment