30 Hari Menulis Surat Cinta 2016


Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca buku berjudul Wednesday Letter. Meskipun tidak membaca versi bahasa Inggrisnya, novel ini cukup membuat perasaan saya campur aduk. Padahal idenya sederhana, tentang surat-surat Jack, yang ia tulis setiap hari Rabu, untuk istrinya, Laurel. Ketika mereka berdua meninggal di saat yang bersamaan, anak-anak mereka menemukan ribuan surat yang ditulis dalam rentang waktu 39 tahun. Ternyata surat-surat itu menyimpan sebuah rahasia dalam keluarga mereka yang selama ini disimpan rapat-rapat.

Buat saya, surat cinta adalah sesuatu yang timeless. Waktu saya masih berseragam putih merah, saya punya sahabat pena dari Kalimantan. Saya hanya ingat dia bernama Adi, dan saya memanggilnya Mas Adi. Saya tidak terlalu ingat kenapa kami berhenti berkirim surat. Ketika sahabat saya, Eni, pindah ke Surabaya, kami juga saling berkirim surat. Kalau saya pulang ke rumah, saya sering membaca kembali surat-surat itu. Amplopnya sudah lusuh dan beberapa surat robek pada bekas lipatannya.

Tidak banyak orang yang memilih mengirim surat sekarang ini. Teknologi sudah merampas kebiasaan itu dan mengubahnya menjadi layanan pesan singkat yang jauh lebih cepat dan praktis. Tapi, menunggu pesan kita dibalas tentu tidak sama rasanya dengan rasa harap-harap cemas mengharap surat kita sampai dengan selamat ke orang yang dituju. Tetap saja ada yang tidak tergantikan dengan teknologi secanggih apapun.

Ketika memutuskan untuk mengikuti 30 Hari Menulis Surat Cinta, saya tidak punya keinginan khusus. Mungkin saya hanya ingin mengenang. Mengenang betapa menyenangkannya merangkai kata-kata untuk seseorang atau sesuatu yang kita sayang, meskipun mungkin semua itu tidak benar-benar tersampaikan. Meskipun tetap saja kesannya beda, karena surat-surat ini akan ditulis secara elektronik, tidak ada salahnya menggali perasaan nostalgik pada kebiasaan lama.

Jadi selama tiga puluh hari ini akan ada banyak surat cinta yang bertebaran di taman ini. Semoga akhir Februari nanti jumlahnya tepat tiga puluh. Semoga surat-surat itu membuat saya makin menghargai orang-orang dari masa lalu, dan membuat saya makin merasa dekat dengan orang-orang di sekeliling saya saat ini. Semoga surat-surat itu juga mengajari saya, walaupun tidak terdengar, bukan berarti saya tidak perlu menyampaikan apa yang memang ingin saya sampaikan.

No comments:

Post a Comment