29 Mar 2016

Menyayangimu dengan Ketenangan

aku ingin menyayangimu dengan ketenangan menyerupai langit malam. bukan tentang kelam, tapi tentang hening. hening yang teduh. hening yang berhias titik-titik kecil cahaya bintang. yang kadang redup tapi selalu mampu menuntunmu menentukan arah.

karena kekuatan apa pada perempuan yang melebihi ketenangan. yang membuatnya mampu menyimpan perasaan, menguji dugaan, menyingkirkan ketakutan, menahan kemarahan, dan mengulur kesabaran. yang mampu membuatnya memeluk air mata seakan manik mutiara. yang membuatnya mampu berhenti sejenak, membawa hati dan pikirannya ke hadapan surga, dan pada akhirnya menerima. 

karena hanya dengan ketenangan, aku bisa menyayangimu dengan telapak tangan yang terbuka. karena genggaman  erat bukan tentang apakah tanganku akan terluka, tapi tentang sayapmu yang aku ingin tetap utuh dan ada. 

ketenangan adalah milik mereka yang percaya. dan tentang kita, aku terlalu percaya pada pengaturan Semesta.



25 Mar 2016

Aku Menyiapkan Hatiku

Aku menyiapkan hatiku untuk ratusan purnama saat kita tak bisa bersua. Waktu itu rautmu akan serupa bayang-bayang yang setia menemaniku berjalan. Entah kemana nanti kehidupan membawaku pergi.

Karena aku sungguh tak bisa menjawab pertanyaanmu tentang kemana.

“Bisa kemana saja,” jawabku waktu itu.

Mungkin ke tempat orang-orang bermata kecil yang tinggal di antara rumpun-rumpun bambu. Dulu aku suka membaca puisi-puisi yang dikirim dari tempat itu. Puisi-puisi tentang puncak gunung dan sungai mutiara.

Bisa juga ke tempat semarak penuh warna yang orang-orangnya suka menari salsa. Disana matahari bersinar sepanjang tahun seakan setiap hari adalah pesta.

Tapi semoga hidup berbaik hati mengijinkanku kembali pada daun-daun gugur dan rintik hujan yang lembut. Disana ada mimpi masa kecil yang waktu itu aku ceritakan. Tentang kue rempah yang diminum saat minum teh dan pasangan-pasangan yang jatuh cinta.

“Kapan kau berangkat?” tanyamu kemarin. Dan aku masih tidak bisa menjawab. 

Hanya saja, saat ini aku memang sedang menyiapkan hatiku untuk sebuah jarak setelah tangan kita selesai dilambaikan. Mungkin waktu itu aku akan menangis, tapi mungkin juga tidak. Karena kamu yang tidak pernah memintaku tinggal adalah sebuah kebahagiaan.

Berjanjilah padaku, nanti ketika aku akan lenyap ke balik ruang tunggu, sebelum pesawat yang akan membawaku menderu dan berlalu, kamu akan melepasku sambil tersenyum. Waktu itu aku akan membiarkanmu menggengam tanganku, meski aku pasti sedang sibuk menguatkan hati dan langkahku.


Menuju Pertemuan

Gadis itu menyukai waktu-waktu menuju sebuah pertemuan yang ia rindukan. Beberapa hari, beberapa jam, beberapa menit, bahkan beberapa detik sebelumnya. Ia menyukai saat-saat ia melihat jam tangannya dan melihat jarum jam yang sebenarnya berjalan stagnan. Selama ini ia selalu belajar bersahabat dengan waktu, dan saat-saat seperti ini adalah saat-saat ia menggenggamnya lebih erat. 

Pada akhirnya Gadis itu memang memutuskan seirama dengan waktu. Ia memutuskan berjalan bersamanya tanpa harus merasa waktu berjalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Ia tahu kadang waktu begitu misterius, tapi ia juga tahu waktu begitu baik. Kadang waktu akan menyembunyikan sebuah hadiah yang tidak ia duga, yang diberikan pada saat yang juga tidak ia duga, membuatnya begitu bahagia. 

Pertemuan nanti salah satunya.

Selama ini Gadis itu hanya berharap pada pertemuan sesaat. Sesaat yang cukup untuk memberi jawaban pada rindu. Tapi waktu berpikiran lain. Ia memberi gadis itu kesempatan. Kesempatan yang panjang untuk berdua bersama yang dia rindukan, merasakan kembali hari yang berjalan pelan, hanya untuk duduk dan bercerita tentang apa saja.

Ia tahu selama ini ia mengambil keputusan yang tepat: tidak membebani waktu dengan tuntutan, tapi justru membiarkan waktu menjalankan apa yang ia rencanakan. Gadis itu pada akhirnya mengenal waktu. Waktu sangat keras kepala. Tidak ada keluhan atau pujian yang bisa membuat waktu mau mengubah kecepatan langkahnya. 

Tapi Semesta memberitahunya sebuah rahasia: bahwa waktu hanya bisa dirangkul dengan penerimaan. Dan menerima, itulah yang selama ini Gadis itu lakukan.



23 Mar 2016

The Surprise


+ Are you alright?

-  No, I'm not. I'm missing you.

Yes, there is always something surprising. This is one of the surprises.



22 Mar 2016

Sayap pada Kakimu. Sayap Pada Punggungku.

Bagaimana aku bisa mengatakan keberatanku pada kepergianmu beberapa bulan lagi? Karena bahkan dimanapun kau berada di negeri ini, ratusan mil dari kota kita saat ini, pada akhirnya aku yang akan membentangkan jarak ribuan mil.

Menjadi kecewa berarti menjadi tidak adil.

Apa bedanya jarak ratusan mil dan ribuan mil? Karena rindu akan sama biru, karena waktu tetap tak mau menunggu. Karena kita, tetap akan merasakan hari-hari pelan berarak, seakan tak bergerak.

Tapi aku tidak akan pernah mengambil sayap pada kakimu, seperti aku tidak ingin kau menahan sayap pada punggungku. Walaupun kau harus pergi ke timur dan aku memilih pergi ke barat. Walaupun timur dan barat seperti dua kutub tanpa pertemuan.

Tapi bukankah jika kau berjalan ke timur dan aku berjalan ke barat, terus seperti itu, justru jarak akan menyusut? Semesta sudah merancang bumi begitu rupa, sehingga perjalanan yang seperti menjauhkan justru menyatukan.

Jadi apa yang kita takutkan? Jarak? Waktu? Sepi? Rindu?

Menanggung beban sayap yang tidak mengepak pasti lebih berat dari semua itu. Beban itu tumbuh tak terlihat di sayap pada kakimu dan sayap pada punggungku ketika terbang tidak menjadi pilihan.

Beban tak tertahan yang bernama penyesalan.

Aku tidak ingin pada akhirnya kita menyesal karena tidak terbang meraih kesempatan.




20 Mar 2016

Pada Akhirnya, Tidak Ada yang Perlu Dilupakan

Untuk sekian banyak perjalanan yang telah mereka lewati, gadis itu merasa ia dijaga. Pemuda itu menjaganya. Ia diperlakukan dengan baik. Ia merasa aman.

Suatu waktu pemuda itu membawakan tasnya, padahal bawaannya sendiri tidak bisa dibilang ringan. Di waktu yang lain pemuda itu membelikannya donat, hanya karena beberapa menit sebelumnya mereka melewati toko kue dan gadis itu tiba-tiba mengatakan ia sudah lama tidak makan donat. Saat mereka bersepeda berdua, pemuda itu akan sering menoleh ke belakang untuk memastikan ia baik-baik saja dan tidak terlalu ketinggalan. Ah, tapi bukan tentang itu. Ini adalah tentang bagaimana pemuda itu membiarkannya menentukan batas. Ia gadis yang keras, pemuda itu juga. Tapi, batas adalah batas. Gadis itu tidak suka berkompromi.

"Kenapa kau tidak takut pergi berdua denganku?" tanya pemuda itu suatu kali. Mereka sedang bersepeda di suatu sore musim panas. Kawasan taman yang mereka tuju tidak terlalu ramai, di beberapa bagian malah tidak terlihat orang.

"Kenapa aku harus takut?" gadis itu balas bertanya.

"Karena aku bisa saja menarikmu ke semak-semak, lalu..."

Gadis itu tertawa. "Ah, kau ini ada-ada saja."

"Bagaimana jika aku sungguh-sungguh melakukan itu?"

"Aku akan berteriak lalu melaporkanmu ke polisi," sahut gadis itu santai. "Disini untuk kasus seperti itu hukumannya berat."

Pemuda itu tertawa. Pembicaraan absurd itu berhenti sampai disana. Gadis itu menemukan semak dengan buah-buah kecil asing, memetiknya dan memakannya begitu saja. Pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepala keheranan. Ia sudah mengerti kebiasaan gadis itu memakan buah-buah aneh yang ia temui di jalan, tapi tetap saja ia berkata suatu hari nanti gadis itu bisa saja keracunan.

Tentang batas-batas, kadang gadis itu merasa pemuda ini mengujinya.

Pernah pemuda ini mengajaknya menonton Hitch, sebuah film yang dibintangi oleh Will Smith. Hitch adalah seorang dokter cinta yang mengajari trik-trik menaklukkan perempuan pada pria-pria yang menjadi kliennya. Pemuda itu bilang film itu banyak mengajarinya tentang bagaimana menaklukkan gadis-gadis. Gadis itu ingat dulu dia mencibir. "Ah, apa itu trik-trik aneh. Menurutku semua tergantung apakah seorang perempuan membiarkan dirinya ditaklukkan atau tidak."

Hal yang paling diingat oleh gadis itu adalah pelajaran tentang ciuman. Menurut Hitch, pria hanya perlu memberikan 90% dan wanita akan memberikan 10% sisanya.

Gadis itu mengerutkan dahi ketika pemuda itu bertanya apakah menurutnya teori itu benar.

"Aku tidak tahu," sahut gadis itu. "I've never been kissed."

Pemuda itu menatapnya dengan pandangan yang sukar diartikan.

"I spare my first kiss for my wedding day," gadis itu menjelaskan dengan ringan seakan itu bukan komitmen besar.

Pemuda itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Bagaimana kalau sekarang aku memancingmu dengan yang 90% itu?" tanyanya lagi.

Gadis itu menjawab datar dengan nada final pada suaranya, "Bahkan kalau kau memancingku dengan yang 99%, aku tidak akan pernah memberimu 1% sisanya."

Pemuda itu tidak berkata apa-apa, tapi tiba-tiba ia mengarahkan tangannya menyentuh pundak gadis itu. Sedetik kemudian gadis itu memukul tangannya. Ketika pemuda itu menarik tangannya dan berteriak kesakitan, gadis itu tertawa keras sambil sekilas meminta maaf.

Ia tahu pemuda itu hanya menggodanya.

Sering gadis itu mengingat waktu-waktu yang mereka lewati hanya berdua. Perjalanan-perjalanan. Pembicaraan-pembicaraan. Kesunyian-kesunyian. Gadis itu tidak merasa ada bagian-bagian yang ia ingin lupakan. Ia simpan semua dalam tempat khusus untuk kenangan-kenangan bahagia. Ia senang pemuda itu menjaga dan menghormatinya di tiap kesempatan. Mungkin karena ia memang menjaga dan menghormati dirinya sendiri. Tapi mungkin juga karena, alih-alih bermain dengan batas-batas, mereka begitu sibuk dengan begitu banyak hal lain yang lebih menarik perhatian.




16 Mar 2016

Sampai Waktunya Nanti

Kalau aku tidak berlari mengejarmu, bukan berarti aku tidak takut kehilangan. Aku hanya tidak ingin bertindak berdasar ketakutan. Kalau aku tidak membanjirimu dengan pertanyaan, bukan berarti aku tidak menaruh perhatian. Aku hanya tidak ingin bertindak berdasar kecurigaan.

Berlarilah, sampai memang kau lelah. Sampai semua yang kau ingin tercapai sudah. Tak perlu kita pikirkan jarak. Jarak hanya akan mengukir rindu dan rindu melahirkan puisi. Tidak lebih. Pun aku tidak memintamu selalu ada, menghujaniku dengan pesan-pesan dimana dan sedang apa. Aku hanya perlu kamu mendorongku terbang, sampai menghilang dari pandang. Sampai aku benar-benar menyentuh bintang.

Bukankan dulu pernah kubisikkan, aku akan menyayangimu dengan berani. Jadi, tak apa kita saling membebaskan, sampai waktunya nanti kita berjalan beriringan.

Waktu itu, punggungmu membawa keberhasilan, dan genggamanku penuh bintang-bintang. Waktu itu, kita tak mengenal penyesalan, dan kita tak perlu memandang ke belakang.

14 Mar 2016

Chiang Mai: Lentera yang Tidak Ditemukan



Teman saya bilang, Chiang Mai adalah kota yang diterangi cahaya lentera. Saya datang ke Chiang Mai dengan harapan akan menyaksikan lentera-lentera bersinar. Tapi ternyata, lentera hanya ada saat perayaan. Di hari biasa, Chiang Mai adalah tipikal kota-kota di Asia Tenggara: pedagang kaki lima yang merebut tempat pejalan kaki, pengendara motor tanpa helm, juga kabel-kabel listrik yang dipasang rendah dan carut cengkarut. Saya beranggapan kabel-kabel itu benar-benar merusak pemandangan. Begitu rendah posisinya, sampai-sampai ada yang menjuntai begitu saja di depan jendela lantai dua. Siapapun yang memasangnya, sepertinya dia tidak punya selera.


Tapi tentang kabel-kabel listrik itu, ada yang menarik.

Pernah saya melintas di salah satu jalan utama menuju keramaian Night Bazaar. Tiba-tiba di persimpangan saya mendengar suara kicauan burung. Riuh sekali. Yang mengherankan, di jalan itu tidak ada satupun pedagang burung. Bunyi lampu lalu lintas saat berubah merah pun bukan itu.

Saya terus berjalan sambil bertanya-tanya. Selang beberapa waktu saya baru menyadari gumpalan-gumpalan hitam bertengger di bentangan kabel-kabel listrik. Gumpalan yang ternyata adalah burung-burung, jumlahnya puluhan, bahkan sepertinya ratusan. Pepohonan yang jumlahnya terbatas di Chiangmai, rupanya memaksa burung-burung itu memanfaatkan kabel-kabel sebagai tempat beristirahat. Di malam hari, burung-burung itu menghadiahi Chiangmai dengan kicauan. Mungkin hadiah itu khusus untuk mereka yang baru mulai bekerja, seakan malam adalah pagi: pedagang-pedagang di jalanan, pegawai Thai massage yang kena shift malam, atau bahkan para ladyboy semampai di tempat karaoke yang gemerlap.

Ternyata apa yang kelihatannya buruk, tidak selalu benar-benar buruk.


Chiangmai pun begitu.

Sungai Ping seperti sungai di kampung saya. Kotanya pun tidak megah atau artistik. Beberapa tempat bahkan nampak kumuh dan gersang. Pasarnya tipikal pasar oleh-oleh yang menjual buah tangan murah meriah. Tapi, ternyata cukup satu perjalanan ke balik tembok kota tua, saya menemukan pesona Chiang Mai yang sebenarnya.

Berawal dari Tha Phae Gate, pintu gerbang kota tua, saya menyusuri jalan-jalan sempit dengan deretan hostel, kafe, restoran dan toko cinderamata di kanan kirinya. Turis-turis kaukasia berjalan hilir mudik dengan kaca mata hitam dan kulit cokelat diterpa matahari. Tapi, di tengah keriuhan itu, saya juga menemukan banyak Wat, tempat peribadatan kepada Sang Buddha. Jarak dari satu Wat ke Wat yang lain hanya beberapa meter.

Seperti Indomaret, pikir saya.

Entah ada berapa Wat yang saya kunjungi. Yang saya ingat, Wat Chedi Luang Worawawihan adalah yang paling besar. Sama-sama didominasi warna keemasan, tetap saja setiap Wat meninggalkan kesan berbeda. Beberapa terasa sangat tradisional, beberapa lucu, beberapa romantis. Bisa saja setiap orang di kota ini memiliki Wat favoritnya masing-masing. Para orang tua mungkin akan berdoa di Wat Chedi dan menghabiskan berjam-jam untuk bercakap dengan para biksu. Generasi yang lebih muda bisa saja lebih senang pergi Wat Phakao karena ada kafe dan taman bunga. Bahkan, ada pula Wat dengan patung Donal Bebek di pelatarannya. Entah apa yang dilakukan si Donal di pelataran itu.


Menyusuri kota tua yang penuh tempat pemujaan ini, bisa saja Tiga Raja, yang monumennya sempat saya kunjungi, dulunya memang merancang Chiangmai menjadi kota yang menenangkan jiwa. Kalau sekarang Chiangmai berubah riuh, tentu sama karena jaman memang sudah berubah. Tapi diantara gemerlap kafe-kafe, Wat-Wat ini seperti menawarkan tempat beristirahat, untuk sekedar menikmati ketenangan, atau duduk bersama para biksu di salah satu sudut dan bercakap tentang kehidupan.




Chiangmai ini unik sekali.

Di tengah tatanan kota yang seperti kalang kabut, tetap saja di sudut-sudut kota ini, ada keramahan khas Thailand yang mudah ditemukan. Keramahan yang nampak dari senyuman orang-orang yang mengucapkan salam, sambil membungkukkan badan dan menangkupkan tangan.


Lalu dalam perjalanan pulang, lagi-lagi saya berpikir: seperti Chiangmai, apa yang kita anggap buruk, bisa saja tidak benar-benar buruk. Mungkin kita hanya belum mendengar kicauan burung di antara kabel yang silang menyilang. Sama halnya kita tidak menaruh perhatian pada hal menyenangkan yang terjadi di tengah kerumitan hidup. Atau mungkin kita belum sempat menjelajah kawasan kota tua. Mungkin ada gerbang yang memang terlebih dulu harus ditemukan. Mungkin ada tempat semacam Wat yang harus kita datangi. Sama halnya kita selama ini sibuk pada banyak hal yang tidak sesuai harapan, lalu melupakan tempat-tempat dimana kita menemukan ketenangan, dan bahkan jawaban. Bisa saja tempat itu ada pada pelukan orang-orang tercinta, atau pada permohonan yang dinaikkan ke Angkasa.



Saya tidak menemukan lentera-lentera yang saya cari, tapi saya merasa perjalanan ke Chiangmai kemarin adalah perjalanan yang indah. Dan sore itu senja yang saya lihat dari atas pesawat, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, juga sangat indah.




5 Mar 2016

Masih Ada Kupu-Kupu di Bandung



Bertemu dengan Aan Mansyur adalah salah satu momen paling inspiratif di bulan Januari. Diskusi yang hanya sebentar di salah satu sudut Pasar Santa ini banyak membukakan mata saya tentang dunia kepenulisan. Salah satunya tentang seni mengamati. Penulis adalah pengamat. Semakin detil ia mengamati, semakin kuat tulisan yang dia buat. Tentang hal ini, Aan bilang begini, "Kau harus mau berjalan untuk dapat menangkap lebih banyak hal."

Di Bandung, saya membuktikan perkataan Aan.


Tujuan pertama saya adalah Braga, sebuah jalan dengan bangunan-bangunan tua yang menciptakan suasana khas Eropa. Saya memutuskan berjalan kaki dari Jalan Supratman, menyusuri Jalan Jenderal Achmad Yani, masuk ke Jalan Asia Afrika, terus sampai ke Jalan Braga. Bandung tidak semendung hari sebelumnya. Masih berawan, namun cerah. Saya berjalan sambil mengenang kunjungan pertama saya ke Braga, lebih dari lima tahun yang lalu. Perjalanan waktu itu adalah salah satu yang paling berkesan dan lucu.

Tapi kali ini saya lebih ingin bercerita tentang kupu-kupu.

Saya merasa dunia berubah, itu niscaya. Termasuk soal kupu-kupu. Dulu, saya masih sering melihat makhluk cantik ini beterbangan. Kadang sendiri, kadang berdua, kadang bergerombol. Mengejar kupu-kupu adalah salah satu kesukaan saya, bahkan sampai saya beranjak dewasa. Tapi beberapa tahun belakangan ini, mereka seperti lenyap. Terakhir saya melihatnya di Kebun Binatang London, dalam sebuah habitat buatan, dengan kupu-kupu yang sengaja didatangkan dari banyak tempat.

Tetap saja, mengamati kupu-kupu bersayap transparan disana tidak mendatangkan perasaan yang sama dengan perasaan yang muncul saat saya melihat kupu-kupu tanpa sengaja.

Perasaan yang akhirnya saya dapatkan kembali di jalanan kota Bandung.


Awalnya saya mengira kupu-kupu yang beterbangan di rumpun gelagah dekat rel kereta itu cuma sebuah kebetulan. Kebetulan yang saya dapat karena saat itu ada kereta hendak lewat. Terpaksa berhenti dan menunggu di depan pos penjagaan kereta tidak jauh dari Pasar Kosambi, saya justru melihatnya: kupu-kupu kecil bersayap kuning, terbang hilir mudik.

Saya menyimpan perasaan hangat yang dibawa kupu-kupu itu. Saya berpikir, bisa jadi saya tidak akan mendapatkan perasaan yang sama dengan segera.

Tapi Bandung justru menghujani saya dengan perasaan itu. Kota ini tidak hanya mempertemukan saya dengan banyak kupu-kupu, hampir di sepanjang perjalanan, tapi juga gerombolan capung dan satu dua ekor kumbang.

Gerombolan capung itu saya lihat di antara gedung-gedung tua di Braga. Banyak sekali, beterbangan di angkasa, bebas tak terjangkau. Pemandangan yang mengingatkan saya pada alun-alun kota saya bertahun-tahun yang lalu, saat saya masih berseragam putih biru. Belakangan, saya tak pernah lagi menemukan seekorpun capung disana. Betapa beruntungnya Bandung yang masih dicintai capung-capung.


Mungkin saya memang terlalu sentimentil. Menganggap kupu-kupu dan capung-capung sebagai bagian terbaik dari perjalanan? Aneh, kalau kata teman-teman saya. Tak apalah, karena bahkan saya sendiri tidak mengerti kenapa saya sering jatuh cinta pada apa yang biasanya terlewatkan, seperti kupu-kupu di sepanjang Jalan Merdeka, capung-capung di Jalan Braga, tiang lampu di Jalan Asia Afrika bahkan lumut yang membuat trotoar di Jalan Taman Sari bersemu kehijauan. Oh, jangan lupakan aroma yang menguar dari toko roti tua bernama Sumber Hidangan. Konon, toko ini sudah ada di Braga sejak akhir tahun 20an. Menunya pun masih banyak  menggunakan bahasa Belanda




Berjalan sendirian seperti di Bandung ini membuat saya berpikir. Sepertinya kegelisahan yang ditulis Aan Mansyur dalam puisi-puisinya di buku Melihat Api Bekerja adalah kegelisahan orang-orang yang ingin hidup di kota yang tidak membuat mereka tergesa. Dalam puisi Surat Pendek buat Ibu di Kampung, ia menulis, 'aku memilih tinggal di kota dan itu adalah hukuman'. Semua jelas, karena dalam bahasa Aan, kota tanpa ruang bermain adalah kota yang membakar dirinya. Di kota itu, orang-orang tak punya waktu menyapa tetangganya dan mereka hidup dalam kecepatan yang mengingatkan kita pada restoran cepat saji.

Menyedihkan.

Semoga yang dikhawatirkan Aan tidak terjadi. Ketakutan tentang suatu hari ketika 'orang membaca puisi tentang taman kota, mengunjungi museum burung, atau membaca dongeng tentang hutan-hutan yang hilang'.* Semoga yang terjadi adalah, kota-kota tetap akrab dengan rimbun pepohonan, hingga semua orang bisa berjalan lebih pelan, sekedar melewatkan waktu di taman atau menjadi pedestrian. Atau, seperti yang saya lakukan, memandang orang lalu lalang dari di salah satu bangku dekat titik Bandung 0 km, titik dimana Daendels dulu berkata, "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd"**. Semoga semua orang perlahan menyadari hal-hal yang selama ini terlewatkan, menghitungnya diam-diam dan merasa bahagia. Karena ternyata Semesta punya cara memberikan bahkan apa yang tidak pernah mereka sangka.



Saya berharap sekembalinya ke Jakarta, saya masih punya waktu-waktu seperti yang saya lewatkan di Bandung, walaupun hanya duduk membaca, entah di kedai kopi atau salah satu sudut taman kota. Di Braga, saya memang sempat mampir di Wiki Koffie, memesan teh camomile dan  membaca Inteligensi Embun Pagi, seri terakhir Supernova karangan Dee Lestari. Dari sana saya berjalan lagi sampai ke Jalan Taman Sari, sebelum menutup hari dengan menyenangkan di Kineruku, sekali lagi.

Sepanjang kita masih punya kota seperti Bandung, percayalah, kita masih bisa disebut beruntung.






*Dikutip dari puisi "Seekor Kucing dan Sepasang Burung" dalam "Melihat Api Bekerja" karya Aan Mansyur.

**Bahasa Belanda yang berarti 'Coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota.' Diucapkan oleh H.W. Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1808-1811. Ia mengatakan kalimat ini sambil menancapkan tongkat kayu di tempat yang kemudian menjadi titik 0 km kota Bandung. Semua ini tertulis dalam Prasasti Bandoeng km. '0' (Nol) di Jalan Asia Afrika.

2 Mar 2016

Kineruku: Perpustakaan dan Kumpulan Hal-Hal Menyenangkan

 

Bandung sedang menuju senja ketika saya sampai ke bangunan mungil di Jalan Hegarmanah ini. Serambinya yang temaram menyambut saya. Sekilas tidak ada yang istimewa, hanya lampu taman, rumpun bambu, juga dua bangku di teras depan. Tapi masuklah, kalau kamu mencintai buku, kamu tidak akan tidak jatuh cinta pada Kineruku.

Kineruku ini seperti kumpulan banyak hal-hal menyenangkan: buku-buku, musik indie, dan suasana bernuansa vintage. Ada banyak genre buku yang tersedia, mulai dari sastra sampai filsafat. Ah, tapi dasar otak saya ini pemalas, saya masih saja tidak tertarik pada buku-buku selain fiksi. Sayang saya tidak punya banyak waktu untuk benar-benar duduk dan membaca buku. Jadi akhirnya saya menelusuri rak yang memajang buku-buku dijual, menimbang-nimbang apakah saya harus membeli buku puisi Rieke Diah Pitaloka, sampai akhirnya menemukan kumpulan cerpen Gunawan Maryanto, Pergi ke Toko Wayang. Saya membawa pulang buku itu, bukan hanya karena edisi bertanda tangan, tapi lebih karena buku ini mengingatkan saya pada Bapak. Selain sepak bola, kegemaran pada pewayangan adalah salah satu warisan Bapak. Lagipula, saya tidak pernah menemukan buku ini di tempat lain. Aneh sekali.

Di Kineruku, berkeliling saja rasanya membuat saya bahagia. Di meja dekat pintu, penjaga kasir sibuk memberi label pada tumpukan CD yang sepertinya baru datang. Di ruang sebelah, seorang gadis muda duduk membaca sendirian. Di teras belakang, ada pasangan dengan laptop di hadapan. Sore itu, sambil melihat-lihat, saya mendengar suara Ari & Reda dari pengeras suara di langit-langit. Mereka menyanyikan puisi-puisi Sapardi. Nyanyian lembut mereka bercampur dengan obrolan riuh rendah sekelompok pemuda yang duduk mengelilingi meja di tengah ruangan. Di salah satu rak saya menemukan deretan CD musik. Bukan musik mainstream tentu saja. Beberapa musisi saya tahu, beberapa tidak.Tapi bahkan dari sampul albumnya saja, beberapa album menarik perhatian saya. Misalnya, album berjudul Kita Sama-Sama Suka Hujan, dengan ilustrasi stoples dan bunga biru di sampulnya. Ternyata itu album kolaborasi banda Neira dan dua grup lain. Saya jadi ingat saat saya mengunjungi toko milik Demajors, sebuah indie label, di kawasan Jakarta Selatan. Waktu itu saya dan Priska sok menebak-nebak apakah sebuah album bagus atau tidak, hanya dari sampulnya saja.



Saya meninggalkan Kineruku beberapa menit sebelum waktunya tutup, setelah sebelumnya mampir ke toko barang vintage di sebelahnya. Tapi, bahkan setelah pulang, saya masih penasaran sekali dengan arti nama Kineruku. Awalnya saya mengira Kineruku adalah kata bahasa Jepang, tapi google tidak menyediakan petunjuk apapun. Masalahnya saya sudah terlanjur penasaran. Lain kali kalau saya kesana lagi, saya akan menanyakannya. Mungkin pada teteh yang kemarin berjaga di meja kasir, atau pada lelaki keriting berkacamata yang saya duga adalah pemilik tempat ajaib ini.


Kineruku ini mengingatkan saya pada mimpi yang kadang iseng saya perbincangkan dengan Priska dan Mas Daniel. Mimpi tentang sebuah tempat dimana orang-orang bisa membaca buku, menyesap teh atau kopi, menyenandungkan balada-balada tua, dan, siapa tahu, jatuh cinta. Priska si arsitek sudah mulai merancang desain tempat impian kami. Mungkin nanti kami akan banyak berdebat untuk menggabungkan selera tiga kepala. Lalu, soal buku yang akan jadi koleksi, saya yang akan jadi pemikir utamanya. Mimpi ini yang membuat saya lebih menyukai toko buku daripada perpustakaan. Meminjam buku berarti harus mengembalikannya, padahal untuk mewujudkan impian kami, saya harus mempunyai cukup banyak buku. Terakhir, mas Dani, dia bertanggung jawab dengan urusan musik dan, mungkin, ekspresi kreatif lain. Saya bisa membayangkan mas Dani akan membuat pertunjukan musik akustik bersama teman-temannya, atau memimpin diskusi dengan Komunitas Kota Tua dimana dia menjadi anggota.



Kenapa saya serius sekali dengan mimpi ini? Karena bagi saya, di tengah selera pasar yang cenderung sama, baik untuk buku atau musik, mendapatkan alternatif seperti yang ditawarkan Kineruku mendatangkan perasaan nyaman. Saya tahu saya aneh, seperti yang sering dibilang oleh beberapa orang. Mungkin karena selera saya tidak seperti orang kebanyakan. Sudahlah, tidak apa-apa, setidaknya di Kineruku saya tahu saya tidak menjadi aneh sendirian. Semoga nanti tempat impian saya menciptakan efek yang sama.

 



1 Mar 2016

Bandung Pada Suatu Pagi

Bandung hari ini mendung dan dingin.

Bertugas di Bandung selama beberapa hari, saya sengaja tidak menginap di hotel. Saya lebih memilih tidur di kos adik saya yang terletak di daerah Cikaso. Alasannya sederhana, saya ingin lebih banyak melihat Bandung. Tinggal di hotel tempat acara diadakan biasanya membuat saya malas kemana-mana. Jadi, kali ini, meskipun harus menempuh jarak yang lumayan sampai ke Ciumbuleit, tempat acara dinas diselenggarakan, saya sangat menikmatinya. 

Pagi ini saya berangkat menggunakan jasa ojek online. Naik motor selalu jadi kesukaan saya sejak remaja. Saya suka merasakan angin menerpa wajah saya dan mendengar suara-suara di sekitar. Yang paling penting, saya bisa melihat banyak hal lebih jelas dan detail. Saya baru sadar penangkal petir yang berbentuk seperti sate di Kantor Gubernur Jawa Barat sudah dicat biru. Terakhir kali saya kesana, 'sate' itu masih berwarna cokelat. Saya juga baru tahu kalau gedung megah dengan tulisan Pos Indonesia yang saya lewati tadi adalah Museum Pos Indonesia. Saya harus kesana nanti. Lalu, suara-suara, pagi selalu memiliki suaranya sendiri. Pagi ini saya mendengar tukang bubur memukul-mukul mangkoknya di mulut suatu gang sempit. Saya juga mendengar seru murid-murid sekolah menengah yang sedang main basket di lapangan. Saya berharap mendengar suara burung, tapi rupanya saya belum terlalu beruntung.

Naik motor di tengah Bandung yang kelabu pagi ini rasanya menyenangkan. Saya tidak hafal jalan-jalan mana saja yang saya lalui dari Cikaso sampai Ciumbuleuit. Selama ini pengetahuan saya tentang Bandung memang hanya sebatas Jalan Braga dan Jalan Riau. Jalan Braga masih menjadi the most charming street in Bandung, tapi Jalan Riau tidak pernah istimewa untuk saya. Bagaimanapun, saya bukan penggemar factory outlets dan butik-butik, meskipun mereka disembunyikan dalam bangunan-bangunan tua berarsitektur indah.

Untung saja pagi ini saya menemukan satu lagi jalan favorit saya, di area Kebun Binatang Bandung. Dari google saya baru tahu namanya adalah Jalan Taman Sari. Berdekatan dengan kampus Institut Teknologi Bandung yang tersohor itu, Jalan Taman Sari memiliki trotoar yang dipayungi rimbun pepohonan. Melihat sulur-sulur yang menjuntai dari tiap pohon, saya merasa sedang ada di kampung halaman. Di kota saya, Magelang, saya sering berjalan dari depan Akademi Militer sampai Pemakaman Giriloyo. Berjalan saja, tanpa maksud apa-apa, hanya sekedar merasakan teduh yang akhir-akhir ini sudah begitu jarang. Di tepi jalan itu, banyak tumbuh pohon mahoni tua yang konon sudah ada sejak jaman Belanda. Mungkin usia pohon-pohon mahoni itu sama tuanya dengan usia pohon asem londo di kawasan dekat alun-alun kota Magelang.

Saya rindu sekali berjalan kaki di bawah rimbun pepohonan seperti ini. Tidak perlu ke hutan seperti Sherwood Forest dulu, di Jalan Taman Sari pun rasanya cukup, sambil memasang earphone dan mendengarkan lagu. Di benak saya, setidaknya ada tiga lagu yang terbayang: Sabda Rindu yang dinyanyikan Tio Pakusadewo, Ini Rindu milik Mian Tiara dan Ada Di Sana oleh Danilla. Mungkin besok pagi saya akan berangkat lebih awal, memesan ojek online lagi, tapi kali ini berhenti sejenak di Jalan Taman Sari. Lalu saya akan berjalan-jalan sebentar, menikmati pagi di Bandung. Saya berharap besok Bandung masih mendung dan dingin.