8 Sept 2017

Suatu Hari Hujan di Macau



Hujan tiba-tiba membuyarkan kerumunan di Largo do Senado. Serentak orang-orang membuka payung mereka, berhamburan ke lorong-lorong pertokoan, sambil memandang langit dengan pandangan kacau. Cuaca di Macau akhir-akhir ini sedang tidak bagus, aku ingat perkataan temanku Ka Man kemarin. Memang ada berita taifun akan melewati Hong Kong besok, dan Macau begitu dekat dengan wilayah bekas koloni Inggris itu. 

***

Alih-alih berteduh, sejenak aku menikmati Largo do Senado di saat lengang. Hujan sepertinya paham aku tidak suka keramaian. Payung transparan dengan motif bunga-bunga biru milikku juga nampaknya senang bertemu lagi dengan karibnya. Suara hujan jatuh pada permukaan payung terdengar seperti percakapan yang riang, senang, melompat-lompat.

Bau hujan menguar dari sela-sela ubin batu yang diatur seperti mozaik gelombang hitam dan cokelat. Bangunan bergaya Eropa memamerkan warna pastel yang, bahkan saat hari hujan seperti ini, terlihat cerah. Favoritku adalah bangunan tua berwarna kuning di sebelah bangunan putih besar Santa Casa da Misercodia. Entah kenapa. Mungkin karena bangunan yang ternyata sebuah apotik itu nampak lebih tua dan lusuh. Kau bisa melihat lumut hijau kehitaman tumbuh pada temboknya. Dia seperti wanita tua yang memulas diri seperlunya, sementara bangunan lain seperti kawan sepermainan yang semampai dan pandai bergaya.

28 Aug 2016

Jogja Versi Kita

Sejak akhir tahun lalu, aku tidak akan bisa mengingat Jogja tanpa aku juga mengingatmu. Kamu, dan perjalanan kita.

Akhir-akhir ini Jogja kembali diingat karena, setelah 14 tahun, Rangga dan Cinta bertemu disana. Pasangan itu sepertinya sudah berubah legendaris seperti Galih dan Ratna atau Jesse dan Celine. Mereka jatuh cinta saat SMA, bersama puisi-puisi dan lagu-lagu masa muda, sampai ketakutan Rangga memisahkan mereka. Lalu, dalam semalam, perjalanan mereka di Jogja mengembalikan kembali segala perasaan. Atau, memang karena sebenarnya perasaan itu tidak pernah hilang, tak peduli jarak New York - Jakarta, tak peduli jarak musim antara perpisahan dan pertemuan.

Mengikuti Rangga dan Cinta, orang-orang kembali ke Jogja. Mereka pergi ke Keraton Ratu Boko, minum kopi di Klinik Kopi, makan di warung Sate Klathak Pak Bari, dan melihat matahari terbit di Puthuk Setumbu. 

Tapi kita punya Jogja versi kita sendiri.

17 Aug 2016

Rasa Syukur Ini Karena Bersamamu

Kalau aku merindukanmu nanti, aku akan mengingat sore saat kita duduk di atas karang, memandang ke lautan. Langit kelabu, tapi hujan sudah berhenti, bahkan gerimis pun sudah tak lagi turun. Pantai Tanjung Tinggi terlihat tenang dan teduh. Batu-batu granit di sekeliling kita nampak begitu pendiam. Kita hanya mendengar deru ombak dan pekik camar yang sesekali.

Ini sore terakhir kita di pulau ini. Dan kita sudah melihat banyak, termasuk melihat bagaimana pulau ini terluka karena anak-anak mudanya kehilangan mimpi. 

Sore itu aku menyadari satu hal: betapa kita sudah begitu saling terbiasa. Kesunyianmu tak lagi meresahkanku, dan langkahku yang kadang tak terencana menjadi wajar bagimu.

Sunguh, bagi kita, bersama saja sudah cukup.

Cukup.

15 Jul 2016

Untuk Gadis yang Menyebut Dirinya Zat Radikal Bebas

Tidak ada yang benar-benar bebas di dunia ini. Begitu menurutku. 

Kita memandang ke udara dan melihat burung-burung terbang. Kita berpikir mereka bebas. Kita memandang ke laut dan melihat ikan-ikan berenang. Kita berpikir mereka bebas. Tapi, bahkan kepak sayap mereka, gerak sirip mereka adalah hasil ikatan alam. Pernah dengar hukum Newton? Hukum Archimedes? Atau prinsip Bernoulli? 

Kita memandang ke riak sungai, dan berpikir betapa beruntungnya mereka mengalir bebas. Kita berpikir mereka bebas. Tapi, bahkan sejak kita masih duduk di bangku sekolah dasar, kita sudah diajar air selalu mengalir dari tempat tinggi ke rendah. Sungai tidak mampu mengalir dari hilir ke hulu.

Kita memandang awan-awan, dan berpikir betapa beruntungnya mereka melayang bebas. Kita berpikir mereka bebas. Tapi, kita kadang lupa mereka bergantung pada angin. Angin yang juga seakan bebas, tapi sebenarnya tergantung pada pergerakan bumi dan tekanan udara. 

Tidak ada yang benar-benar bebas di dunia ini. Begitu menurutku. 


14 Jun 2016

Rindu Bulan Juni

Aku menghitung rindu dalam rintik hujan yang akhir-akhir ini sering turun. Setiap malam, ketika kaca jendela dibayangi oleh rinai air hujan, atau, setiap pagi, ketika daun-daun masih basah oleh sisa hujan semalam. Hujan bulan Juni, begitu Sapardi pernah menulis puisi. Kakek tua itu bilang, hujan bulan juni adalah hujan yang tabah, karena ia sanggup merahasiakan rintik rindu.

Dan hujan bulan juni ini mengajarku tabah. Belajar menahan, jika tidak merahasiakan, rindu.

Aku membaca rindu dalam setiap halaman Tidak Ada New York Hari ini. Disana terserak rindu seorang pemuda pada kekasih yang ia tinggalkan sembilan tahun lalu. Rindu yang ditantang oleh jarak antara New York dan Jakarta, jarak antara ratusan purnama. Diantara halaman-halaman buku itu, kuselipkan rinduku: sebuah memorabilia dari pertemuan terakhir kita - sobekan dua tiket sinema tentang pertemuan kembali pemuda yang merindu dan kekasihnya itu.

Pada kening pemuda itu, rindu adalah kenangan yang mewujud kata-kata. Demikian juga pada hari-hariku, rindu adalah janji-janji yang mewujud puisi.

Aku menyentuh rindu dalam setiap perjalanan dan kesibukan. Pada setiap kepulanganku dan kepergianmu. Pada setiap kepulanganmu dan kepergianku. Pada setiap rencana yang pada akhirnya tertunda. Pada tumpukan kertas-kertas dan dengung mesin pencetak. Pada denting notifikasi dari aplikasi percakapan singkat. Pada namamu yang muncul pada layar ponselku.

Dan, aku selalu tahu, pada akhirnya, rindu tidak seberat itu.