Aku menghitung rindu dalam rintik hujan yang akhir-akhir ini sering turun. Setiap malam, ketika kaca jendela dibayangi oleh rinai air hujan, atau, setiap pagi, ketika daun-daun masih basah oleh sisa hujan semalam. Hujan bulan Juni, begitu Sapardi pernah menulis puisi. Kakek tua itu bilang, hujan bulan juni adalah hujan yang tabah, karena ia sanggup merahasiakan rintik rindu.
Dan hujan bulan juni ini mengajarku tabah. Belajar menahan, jika tidak merahasiakan, rindu.
Aku membaca rindu dalam setiap halaman Tidak Ada New York Hari ini. Disana terserak rindu seorang pemuda pada kekasih yang ia tinggalkan sembilan tahun lalu. Rindu yang ditantang oleh jarak antara New York dan Jakarta, jarak antara ratusan purnama. Diantara halaman-halaman buku itu, kuselipkan rinduku: sebuah memorabilia dari pertemuan terakhir kita - sobekan dua tiket sinema tentang pertemuan kembali pemuda yang merindu dan kekasihnya itu.
Pada kening pemuda itu, rindu adalah kenangan yang mewujud kata-kata. Demikian juga pada hari-hariku, rindu adalah janji-janji yang mewujud puisi.
Aku menyentuh rindu dalam setiap perjalanan dan kesibukan. Pada setiap kepulanganku dan kepergianmu. Pada setiap kepulanganmu dan kepergianku. Pada setiap rencana yang pada akhirnya tertunda. Pada tumpukan kertas-kertas dan dengung mesin pencetak. Pada denting notifikasi dari aplikasi percakapan singkat. Pada namamu yang muncul pada layar ponselku.
Dan, aku selalu tahu, pada akhirnya, rindu tidak seberat itu.
No comments:
Post a Comment