13 Oct 2015

Mimpi Satu Halaman

"Sebagian besar mimpi saya sudah saya raih."

Begitu yang sering saya katakan pada mereka yang bertanya tentang hidup saya. Tidak semua saya raih memang. Tapi, saya bahagia. Pertama, karena saya adalah orang yang tahu apa yang saya inginkan. Kedua, karena saya keras kepala dan tidak takut mencoba. Ketiga, karena entah bagaimana semesta begitu baik mendukung mimpi saya.

Bidang ilmu yang saya pelajari di universitas sudah saya impikan sejak saya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saya lulus dengan predikat cum laude dan mendapatkan tawaran menjadi akademisi, yang terpaksa harus saya tolak karena itu bukan impian saya. Saya memimpikan Paris, bahkan Eropa, sejak saya masih duduk di sekolah menengah pertama. Hampir sepuluh tahun kemudian saya menginjakkan kaki di kota itu, yang bahkan lampu jalanannya pun menjadi puisi di buku catatan saya. Impian saya melanjutkan pendidikan tinggi di Inggris juga pada akhirnya terwujud dan menjadi salah satu periode paling menyenangkan di hidup saya. Kesimpulannya, kalau saya melihat ke belakang, membandingkannya dengan daftar mimpi saya, maka yang muncul di wajah saya adalah senyuman. Bahkan Michael Buble, Dewi Lestari dan Remi Sylado sudah saya coret dari daftar orang-orang yang ingin saya temui. 

Pernah ada yang bilang saya beruntung. Tapi saya bukan orang beruntung, saya orang yang diberkati. Dan akhirnya orang itu bilang "You are over-blessed."

Tapi saya tidak ingin berhenti. Satu mimpi tergenapi, maka impian baru sudah menanti.

Kali ini saya memimpikan novel karya saya sendiri terbit dan dijual di toko buku. Masalahnya saya tidak ingin sembarangan, saya mengincar dua penerbit, hanya dua penerbit dan mereka penerbit besar. Jadi novel saya harus bagus, atau dia akan berakhir di tangan penerbit entah apa.

Lalu sudah sejauh apa mimpi saya ini?

Satu halaman.

Iya, satu halaman.

Saya tahu menulis bukan cuma tentang inspirasi, tapi juga disiplin. Sayangnya, saya tidak bersahabat dengan disiplin. Bahkan untuk hal-hal yang serius seperti tugas-tugas kuliah pun saya memegang prinsip "Semua akan indah pada deadline-nya."

Masalahnya tidak ada deadline untuk novel pertama saya.

Entah bagaimana nasib Gadis Musim Semi dan Pria Musim Dingin nanti, Primavera dan Zyma, keduanya protagonis dalam novel saya. Jalan ceritanya, entah, saya belum benar-benar tahu. Tapi setidaknya saat ini saya menikmati proses memilih nama-nama tokohnya. Saya mengulik banyak bahasa, mencari tahu apa artinya, karena saya percaya nama tokoh bisa membentuk nuansa sebuah cerita. Primavera berasal dari bahasa Spanyol, artinya musim semi, sedangkan Zyma adalah bahasa Ukraina yang berarti musim dingin. Nama tokoh-tokoh lain saya ambil dari bahasa Latin, Sansekerta, Jawa, Jepang dan apa saja yang menurut saya unik tapi mudah diingat dan diucapkan.

Karakter Primavera dan Zyma belum utuh, tapi saya sudah menyayangi mereka. Demi mereka berdua, hari ini saya membaca lagi blog Dewi Lestari, Journal of a 55-Days Novel. Dia bercerita tentang perjalanan kreatifnya menulis Perahu Kertas, salah satu novel yang menjadi inspirasi saya. Dee bahkan sampai menyewa kamar kos yang menjadi kantornya untuk menulis. Dia mendisiplin dirinya menulis, setidaknya satu bab, empat sampai lima halaman, setiap hari. Jika dia sibuk, dia menulis di perjalanan, di kafe, di bandara, dimanapun dia punya waktu. Sesuatu yang tidak bisa saya lakukan selama ini. Dee menulis berjam-jam, sementara saya sibuk melawan rasa kantuk. Tapi membaca blog Dee, saya belajar bahwa menciptakan kata-kata memang adalah proses yang lambat. Satu hari empat halaman adalah hasil yang normal. Saya tidak tahu ini sebelumnya, saya lebih banyak duduk di kafe selama dua jam, hanya mendapatkan satu halaman, dan merasa tidak membuat kemajuan.

Semoga Prims dan Zy menemukan jalannya. Semoga mimpi saya yang ini menemukan jalannya.


No comments:

Post a Comment