7 Oct 2015

Pulanglah dan Kita Bisa Kembali Membuat Rencana

Kita adalah perencana.

Dulu kita pernah begitu bersemangat merencanakan banyak hal, terutama perjalanan.

Tapi kali ini ketika jarak tak bisa kompromi, kau memutuskan pergi sendiri. Tujuan pertama, ibu kota Sumatera Utara, kota tempat kau menemukan mimpi dan kota tempat aku kehilangan hati. Kota ini dulu menjadi bagian pertama dari rencana kita melangkahkan kaki di seluas-luas nusantara. Kita sudah membayangkan tempat-tempat makan yang melegenda, dan aku sungguh tidak sabar merasakan lagi rasa kue bolu-nya yang khas. 

Tapi rencana memang bisa berwujud berbeda.

Katamu kali ini kau pergi dengan seorang teman. Ah, syukurlah, meskipun tanpa aku, setidaknya kau tidak sendirian. Aku sungguh berharap teman perjalananmu itu seorang yang menyenangkan dan membuat perjalananmu berkesan. Mungkin nanti ketika perjalananmu ini selesai, aku akan banyak bertanya. Apakah kalian pergi melihat boneka sigale-gale? Benarkah dia benar-benar digerakkan roh? Apakah kalian membicarakan ornamen dalam rumah adat Batak yang rumit itu? Konon katanya orang Batak dulu adalah kanibal. Adakah adegan memakan orang tergambar di salah satu tiang? Atau, apakah kalian menertawakan stereotype masyarakat Batak yang kadang tidak masuk akal dan lucu? 

Tapi membaca pesanmu tetap saja saja membuatku pilu. "It would be more fun if you can join us," begitu katamu lewat pesan singkat. Sayangnya aku tak bisa, rumah terasa masih begitu jauh.

Jadi setidaknya untuk saat ini, kita kembali menjadi perencana. Akhir bulan ini ada Festival Penulis dan Pembaca di pulau para dewa, aku berencana bergabung dan sepertinya datang beberapa hari lebih awal bersamamu adalah sebuah pilihan. Kau terdengar bersemangat dan aku membaca kalimat ini di layar ponselku, "Cepatlah pulang, kita makan gulai kepala kakap sesuai rencana dan kita bisa bicara tentang perjalanan."

Setidaknya sampai saat itu, tahukah kamu bagaimana rasanya diingat? Seperti ketika kau bilang, "Di pulau ini ada perpustakaan kecil, dan aku langsung teringat padamu." Lalu kau mengirimkan fotonya: sebuah bangunan sederhana dengan jendela terang. Di dalamnya terlihat rak tinggi berisi buku-buku.

Mungkin begini, rasanya seperti membiarkan kau melakukan perjalanan sendirian namun tanpa penyesalan.

Karena pada akhirnya, meskipun kamu menolak permintaanku untuk masuk ke perpustakaan itu dan melihat buku-buku apa yang ada disana, kau bilang nanti kau akan mengantarku kesana. Aku mengungkapkan keherananku. Lalu kau menceritakan ketidakpuasanmu pada perjalanan kali ini, asap dari propinsi tetangga membuatmu harus membatalkan rencana berkeliling. Kau akan kesana lagi lain kali, tapi kali ini kau akan menungguku pulang. 

Dan semua nampak begitu wajar seperti hari-hari yang telah berlalu.

Kita memang hanya perencana. Tapi bukankah rencana seakan tidak berbatas. Jika memang tidak terjadi, untuk rencana selalu masih ada lain kali.





No comments:

Post a Comment