30 Oct 2015

Di Mataku, Gramedia adalah Sebentuk Cinta

Aku tidak ingat kapan pertama kali aku mengunjungi Gramedia.

Yang aku ingat, aku beruntung memiliki orang tua yang membesarkanku menjadi seorang pencinta buku. Bapak dan Ibu mengantarku tidur dengan segelas susu cokelat hangat dan cerita-cerita dari buku dongeng. Disaat orang tua-orang tua lain membelikan boneka untuk anak perempuan mereka, Bapak dan Ibu memberiku buku. Bagi kami, pergi berjalan-jalan di akhir minggu berarti pergi ke pusat kota dan mengunjungi toko buku.

Masalahnya, di Magelang, kota tempat aku lahir dan tumbuh besar, tidak ada Gramedia. Yang ada hanyalah toko buku dengan spanduk besar bertuliskan “Menjual Buku-Buku Terbitan Gramedia.” Tentu saja koleksinya tidak terlalu lengkap. Serial dongeng terbitan Elex Media Komputindo tidak semuanya tersedia, pun buku cerita rakyat yang dulu aku koleksi. Mungkin karena itu, karena tidak tahan melihat kekecewaanku setiap kali buku yang kucari tidak ada, Bapak dan Ibu membawaku ke Gramedia. Waktu itu aku masih duduk di Sekolah Dasar.

Mengunjungi Gramedia berarti pergi ke luar kota, tepatnya ke Jogjakarta. Itu berarti, Bapak dan Ibu harus menyiapkan dana ekstra untuk transportasi, makan siang dan jajanan entah apa, juga terutama, menuruti keinginanku berbelanja buku. Wajar saja kalau akhirnya pergi ke Gramedia adalah sebuah kemewahan. Gramedia adalah hadiah dari Bapak dan Ibu kalau prestasiku bagus saat akhir tahun ajaran, saat aku memenangkan perlombaan, atau saat Bapak dan Ibu mendapat rezeki tak terduga.

Setiap kali mengunjungi Gramedia, kami akan pergi pagi-pagi dan baru pulang saat matahari hampir tenggelam. Aku tidak terlalu ingat detilnya, tapi menurut cerita Ibu, aku betah berdiri berjam-jam membaca buku di Gramedia, lalu memilih banyak buku yang aku anggap bagus. Kadang Ibu akan bercerita betapa dia dulu sebenarnya lelah menemaniku berlama-lama menghabiskan waktu di Gramedia.

Mungkin karena kemewahan itu, setiap kami sekeluarga mengunjungi kerabat di Bandung, jika ada yang bertanya kemana aku ingin dibawa jalan-jalan, aku selalu menjawab “Gramedia!” Bahkan saat diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang, hal pertama yang aku katakan pada Bapak adalah “Asyik, di Semarang ada dua Gramedia!”

Di mataku, Gramedia adalah sebentuk cinta. Ketika sekarang aku tinggal di Jakarta, kota dengan banyak Gramedia, setiap aku mengunjungi toko ini, aku mengenang cinta Bapak dan Ibu yang selalu sabar menungguiku menghabiskan waktu disana. Aku juga mengingat cinta teman-temanku yang membawaku ke Gramedia dan membiarkan aku memilih sendiri hadiah ulang tahunku. Kata mereka, “Kami tidak hafal buku apa yang kamu punya atau tidak punya. Jadi daripada salah, lebih baik kamu pilih sendiri.” Di toko ini, aku juga mengingat cinta sahabat-sahabat priaku yang selalu siap mengantarku ke Gramedia dengan motornya setiap pulang kuliah, walaupun pertanyaan mereka selalu sama, “Kamu ngga bosan ke Gramedia setiap hari?”

Ah, aku tahu, bahkan untuk mereka yang bekerja di Gramedia, hari-hari yang mereka lewatkan di toko ini adalah juga sebentuk cinta, untuk keluarganya, untuk kolega mereka, juga untuk pelanggan yang datang dan pergi. Aku melihat sebentuk cinta itu dari susunan buku-buku yang dijaga rapi di raknya masing-masing, termasuk dari satu buku yang dibiarkan terbuka tanpa plastik pembungkus agar pelanggan dapat mengetahui isi buku sebelum membeli. Aku juga merasakan sebentuk cinta itu dari sapaan di pintu toko kalau kebetulan aku datang tepat saat toko dibuka. “Selamat pagi, selamat datang di Gramedia…”, begitu kata mereka. Sebentuk cinta itu juga ada pada senyum pramuniaga dalam ketergesaan mereka menemukan buku yang dicari pelanggan. Kadang mereka akan menyusuri rak demi rak, mencari di katalog elektronik, atau bahkan meminta bantuan kolega mereka agar buku itu ditemukan. Aku bahkan ingat, beberapa cabang Gramedia akan menyediakan kurma dan air mineral saat bulan puasa, sehingga pelanggan tidak perlu repot pergi ke luar toko untuk membatalkan puasanya. Jika tanpa sebentuk cinta, bagaimana toko ini bisa begitu nyaman, walaupun label diskon jarang ditemukan di antara tumpukan buku-buku yang dijual?

Sungguh, aku tidak ingat kapan pertama kali mengunjungi Gramedia, sama halnya seperti aku tidak tahu sudah berapa kali aku pergi kesana. Yang aku tahu, aku selalu kembali ke Gramedia karena disana aku melihat sebentuk cinta.







*postingan ini diikutkan pada kontes Gramedia Blogger Competition edisi Oktober. Info lengkap bisa dibaca disini.

No comments:

Post a Comment