15 Jul 2015

Surat Untuk Pak Cik

Menulis surat untuk Andrea Hirata di Edensor adalah bucket list no. 9 saya. Pada akhirnya saya memang mengunjungi Edensor, namun tidak menulis surat untuk Andrea, yang akrab disapa Pak Cik. Hari ini Andrea mendapatkan penghargaan di bidang sastra dari University of Warwick dan perkumpulan pelajar disana mengadakan acara buka puasa bersama. Saya tidak datang ke acara itu. Saya memilih menulis surat untuk Andrea, sesuai bucket list saya. Jauh di dalam hati saya, saya ingin melihat apakah nanti Hidup akan memberi saya kesempatan bertemu penulis hebat ini, dengan skenario yang saya impikan...


Surat saya untuk Pak Cik seperti ini, 

Pak Cik Andrea Yang Terhormat, 

Beberapa hari yang lalu saya baru menyelesaikan Ayah, novel terbaru Pak Cik. Novel itu terbang begitu jauh, dari Yogyakarta ke Leicester, kota tempat saya belajar, kurang lebih tujuh ribu lima ratus lima puluh koma tiga mil jaraknya. Saya khusus meminta teman saya, yang kebetulan sedang pulang ke Indonesia, untuk membawakannya saat dia kembali ke Inggris. 

Waktu Laskar Pelangi, novel pertama Pak Cik terbit, saya masih berjuang meraih gelar sarjana dan sibuk dengan mimpi-mimpi menjelajah Eropa. Lalu, membaca Edensor otomatis membuat saya memasukkan desa ini ke daftar tempat yang harus saya datangi. Saya dan sahabat-sahabat saya sering sekali membicarakan desa ini, dan apa yang kira-kira akan kami lakukan kalau kami menginjakkan kaki disana. Sekarang, lebih dari sepuluh tahun kemudian, Tuhan memeluk mimpi-mimpi saya, seperti Ia dulu memeluk mimpi-mimpi Pak Cik. Delapan bulan di Inggris, saya sudah dua kali ke Edensor. Yang pertama, di awal musim dingin tahun lalu, dan yang kedua, di pertengahan musim semi tahun ini.

Sebelum saya berangkat ke Inggris, salah satu bucket list saya adalah mengunjungi Edensor dan menulis surat untuk Pak Cik. Kenapa menulis surat? Entahlah. Mungkin karena Marlena sesungguhnya bukan generasi terakhir manusia yang suka bersahabat pena. Diam-diam saya juga, sayangnya saya tidak menemukan orang yang mau repot-repot bersahabat pena ketika aplikasi percakapan, atau surat elektronik, atau telepon, menawarkan komunikasi yang lebih praktis. Jadi, saya sudah cukup puas menulis surat untuk orang-orang yang saya kagumi, misalnya Vincent Van Gogh atau Michael Buble, walaupun saya tahu surat saya tidak akan pernah sampai. Saya tidak heran, karena masalahnya, kalau tidak untuk orang yang sudah mati, saya menulis surat untuk orang yang alamatnya entah dimana.

Tapi, dua kali mengunjungi Edensor, saya tidak sekalipun menulis surat untuk Pak Cik. Mungkin saya memang tipe manusia yang cepat puas, melihat menara gereja St. Peter saja saya sudah begitu senang sampai melupakan soal surat untuk Pak Cik itu. Baru ketika mendengar Pak Cik akan mengunjungi Warwick, perkara surat itu muncul kembali di otak saya. Saya pikir, walaupun saya tidak bisa bertemu Pak Cik, kali ini mungkin saya punya kesempatan untuk benar-benar menulis surat yang akan dibaca oleh orang yang dituju.

Waktu surat ini sampai ke tangan Pak Cik, terlepas dari apakah Pak Cik membalas surat ini atau tidak, saya anggap bucket list saya sudah tercapai. Yah, walaupun memang surat ini tidak ditulis di Edensor. Tapi, kalau Pak Cik membalas surat ini, mungkin surat balasan untuk Pak Cik selanjutnya benar-benar akan ditulis di Edensor. Lalu setelah itu, mungkin kita bisa meneruskan hobi Marlena dan menjadi dua orang yang dianggap langka di abad ke-21 ini. Rasanya pasti membanggakan :)

Pak Cik, menulis sepanjang ini, saya sebenarnya tidak tahu apa yang sebenarnya saya tulis di surat ini. Mungkin pada akhirnya saya lebih banyak meracau ini itu. Bahasa yang saya pakai juga tidak semenarik Ukun. Sampai saat ini, setiap saya berulang tahun, saya masih berharap ada yang memberi saya kado Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ah, tapi apa perlunya saya bicara tentang hal itu pada Pak Cik. Jadi, mungkin lebih baik saya bercerita tentang bagaimana kesan saya mengunjungi Edensor. Untuk setiap kunjungan saya ke Edensor, saya menulis tentangnya itu di blog saya. Kedua tulisan saya tentang Edensor saya sertakan di surat ini. Saya akan sangat senang kalau Pak Cik berkenan membacanya.

Di tulisan pertama saya, saya menulis tentang Edensor sebagai tempat merayakan mimpi yang tercapai, dan juga tempat merayakan saatnya membuat mimpi-mimpi baru. Setelah mimpi saya tentang Edensor dan surat untuk Pak Cik ini tercapai, mimpi saya selanjutnya adalah mengunjungi Museum Kata dan juga pantai-pantai indah Belitong. Ketika saya benar-benar menginjakkan kaki disana, pasti rasanya tidak kalah spektakuler dengan apa yang saya rasakan waktu mengunjungi James Joyce Museum di Sandy Cove, Dublin. Lagipula, siapa tahu akhirnya saya bisa bertemu Pak Cik di Museum itu. Nanti, saya akan menjabat tangan Pak Cik dan memperkenalkan diri sebagai Gadis yang Merayakan Mimpinya di Edensor, atau Gadis yang Suka Meracau di Surat-Surat yang Ia Tulis Entah Untuk Siapa. 

Sampai pertemuan itu terjadi, saya punya dua harapan. Pertama, semoga waktu itu Pak Cik masih ingat saya. Kedua, saya berharap Pak Cik masih terus menulis, syukur-syukur salah satunya menulis surat untuk saya :p

Selamat atas penghargaan Honorary Doctorate in Literature yang baru saja diterima, Pak Cik. Semoga semakin banyak mimpi Pak Cik yang bisa dirayakan dan menginspirasi semakin banyak orang untuk memperoleh keberaniannya bermimpi.



Salam,
D



P.s. : salah satu kawan saya menitipkan beberapa pertanyaan ini untuk Pak Cik: bagaimana Marlena bisa jatuh cinta kepada Amirza?, bagaimana Ukun dan Tamat menemukan Marlena? dan siapa sesungguhnya ayah Zorro? Kami sudah membahas pertanyaan-pertanyaan itu sampai jauh malam, tapi tetap saja membingungkan.


Surat ini disampaikan melalui budi baik Tiga Bebek Pemberani yang selama ini selalu bersemangat mengejar mimpi-mimpi mereka. Semoga Hidup membawa mereka ke banyak tempat menyenangkan dimana mimpi-mimpi mereka dirayakan. 



No comments:

Post a Comment