2 Feb 2016

Surat #2: Untuk Kucing Kecil Bernama Cing-Ku



Cing-Ku, malam tadi, aku sedang menunggunya ketika aku melihatmu di bawah gerobak penjual nasi goreng. Kamu begitu kecil, basah, bingung dan sendirian. Ketika dia datang, aku menunjukkanmu padanya. Reaksinya sudah kuperkirakan. Dia jatuh iba padamu, Cing-Ku.

Ketika kau bergerak mendekati kami yang sedang makan sate padang, dia memelukmu dengan kedua kakinya. Awalnya aku pikir, tindakannya itu menyakitimu. Siapa tahu kau merasa sesak dihimpit sepatu seperti itu. Tapi dia bilang, kau pasti merasa lebih hangat. Dan, benar, kau duduk diam-diam, tidak lagi menangis. Ketika dia beranjak untuk mengembalikan piring ke uda penjual sate, kau seperti kebingungan.

Semalam, dia begitu memikirkanmu, Cing-Ku. Dia memintaku memeliharamu, tapi tidak mungkin, pemilik rumah kosku tidak akan mengijinkan. Tapi, dia adalah pria yang keras hati. Menurut dia, setidaknya untuk malam ini saja, aku harus mau menampungmu, sampai kau cukup sehat untuk hidup sendirian di jalanan. Aku jarang sekali menolak permintaannya, termasuk keinginannya untuk merawatmu.

Akhirnya aku setuju memberimu tempat, meski hanya untuk semalam.

Cing-Ku, kau tahu apa yang dia lakukan kemudian? Dia kembali ke kantornya, mencari kardus dan tempat minum untukmu. Dia menaruh kain dan tumpukan tisu dalam kardus itu. Tentu saja agar kau bisa tidur di dalamnya dan merasa hangat. Dalam perjalanan menuju rumah kosku, kami mampir ke toko dan membelikanmu susu. 

Kami memang harus menaruhmu di depan kos, tidak membawamu ke dalam. Tapi, sepertinya itu sudah sangat menolongmu. Kamu segera tertidur segera setelah aku mengeringkan badanmu dengan tisu. Menyebalkan sekali, dia yang berkeras merawatmu, tapi dia tidak mau menyentuhmu karena tidak ingin tangannya kotor. Tapi, mungkin karena dia tahu aku suka perkerjaan merawat makhluk hidup. Sama seperti aku merawat bunga matahariku dulu. Dia baru akan menyiram bunga-bunga itu kalau aku sedang tidak ada di rumah.

Sebelumnya juga pernah terjadi seperti ini. Suatu hari dia tiba-tiba menelepon, hanya untuk memberitahu aku ada seekor anjing masuk halaman rumahnya. Anjing itu duduk tanpa tenaga di sudut dekat tembok. Dia bertanya apakah anjing ini lapar. Kubilang, mungkin iya. Kalau ada masakan berkuah daging, anjing itu pasti akan makan dengan lahap. Kebetulan hari itu ibunya memasak gulai. Dia memberi makan anjing itu dengan nasi bercampur kuah gulai. Katanya anjing itu makan sampai dua piring. Setelah makan, anjing itu pergi dengan lebih bersemangat.

Pernah juga dia menolong seekor burung kecil yang belum pandai terbang. Dia mengambil burung itu dari tengah jalan dan membawanya ke pinggir. Katanya, supaya burung itu tidak terlindas sepeda yang sering lewat.

Oh ya, dia memberi nama anjing itu Jing-An. Tidak kreatif memang, tapi menurutku itu lucu. Dan, kau tahu, itulah kenapa aku memberimu nama Cing-Ku. 

Pagi tadi, dia menyempatkan diri mengingatkanku untuk memberimu makan. Tapi rupanya kau lebih suka berbaring di antara tumpukan kain dan tisu itu. Ah, kau beruntung bertemu dengan dia, Cing-Ku. Kalau bukan karena dia, belum tentu aku akan memungutmu. Dia memang kadang keras kepala, tapi, Cing-Ku, dia adalah pria paling lembut hati yang pernah ku kenal. 

Kepada pria seperti ini, tidak salah kan jika aku menaruh hati?



No comments:

Post a Comment