9 Feb 2016

Surat #6: Untuk Madrid

Hola, Madrid. Bagaimana kabarmu?

Ada yang sedang ingin aku ceritakan padamu. Akhir-akhir ini ada satu lagu berbahasa Spanyol yang sering aku dengar. Alasannya sederhana, hanya karena di lagu itu ada kalimat ini:

porque nada es importante
cuando hacemos los recuerdos por las calles de Madrid

Because nothing is important
When we make memories on the streets of Madrid

Dan kalimat itu membuatku mengenang satu hari yang kulewatkan di jalananmu. Satu hari yang membuat aku jatuh cinta padamu. Entah kenapa.

Mungkin karena ketika aku mendarat di Aeropuerto Adolfo Suárez Madrid-Barajas, sekitar tengah malam, saat itu sedang hujan. Hujan yang rintiknya seperti kesepian, perlahan dan malu-malu. Di tengah hujan awal musim semi itu, aku dan temanku berputar-putar mencari hostel, menyusuri jalanan yang basah dan kerumunan orang yang berteduh. Kami sempat heran karena kau masih begitu riuh ketika hari sudah menjelang pagi.

Keesokan harinya kami lebih heran lagi karena kami menemuimu begitu sunyi. Matahari belum terbit benar dan udara masih menyisakan kesan musim dingin. Tidak ada yang lebih sendu dari berdiri di bawah lampu-lampu yang bersinar kekuningan di kawasan Palacio Real. Pagi itu, patung raja-raja di Plaza de Oriente masih serupa bayangan. 

Apakah sekarang kamu masih seperti itu? Sunyi di pagi hari dan riuh di malam hari?

Apakah dandelion masih banyak tumbuh di Cybele Palace? Mungkin tidak. Sepertinya dandelion yang aku temukan disana waktu itu memang hanya kebetulan tumbuh. Tapi sampai sekarang dandelion itu masih jadi dandelion paling besar dan paling indah yang pernah kutemui. Di negeriku, dandelion jarang tumbuh, dan kalaupun ada, mereka lebih mungil dan lebih rapuh.

Madrid, aku merindukanmu. Aku rindu berjalan di lorong-lorong Plaza Mayor, di antara para pedagang souvenir yang ribut. Pelajaran bahasa Spanyol yang pernah kuambil tidak cukup menolongku memahami mereka, tapi aku bisa merasakan gairah khas pada apa yang mereka katakan. Aku juga rindu berdiri di Puerta del Sol, memandang patung beruang dan pohon madron yang menjadi lambang kota. Patung itu adalah titik Madrid 0 km. Di Paris, mereka yang berdiri di titik 0 km dekat Cathedral Notre Dame, akan kembali ke kota itu suatu hari nanti. Bagaimana denganmu? Apakah sama? Karena aku tidak juga mendapat kesempatan kembali.

Tapi aku berjanji akan kembali. Mungkin aku akan mengajak Bapak nanti. Kau ingat, ketika aku berdiri di depan Estadio Santiago Bernabeu, aku menangis sekaligus tertawa. Itu karena aku ingat Bapak. Bapak dan kegilaannya pada sepak bola. Oh, Bapak bukan penggemar Real Madrid. Akulah yang Madridista. Tapi Real Madrid selalu tentang kenangan dengan Bapak, tentang masa-masa aku melewatkan masa remaja menonton pertandingan sepak bola hanya berdua. Jadi kalau aku nanti, sekali lagi, pergi kesana, aku ingin mengajak Bapak.

Sampai dengan saat itu, Madrid, aku akan belajar bahasa Spanyol. Iya, selama ini sepertinya aku memang kurang berusaha. Aku masih saja kesulitan menghafalkan konjugasi-konjugasi itu, belum lagi membedakan apakah sebuah benda masuk kategori laki-laki atau perempuan. Tapi lihat saja, aku akan berusaha, agar nanti saat aku kembali, aku tidak hanya membuat kenangan denganmu, tapi juga dengan mereka yang selama ini tinggal dalam keteduhanmu.