Most of us don't need a psychiatric therapist as much as a friend to be silly with - Robert Brault
Jelas. Aku tidak butuh terapis. Tidak pernah dan tidak akan pernah. Bukan cuma karena aku mencintai hidup apa adanya dia. Meskipun kadang waktu terasa sesak seperti antrian bus trans Jakarta di pagi dan sore hari. Hingga ketika malam, ada keluh yang tetap tak sempat tersampaikan. Tapi hidup terlalu berwarna untuk membuat kita gila. Lagipula hidup tak pernah benar-benar sunyi.
Bersama kalian, hidupku tak pernah benar-benar sunyi.
Bersama kalian, hidup seperti kembang api.
Dan langit malam tak benar-benar seperti malam.
Seperti gelak tawa kita saat tiba-tiba mendengar melodi di Senayan City. Seorang gadis bermuka lucu dengan gerakan yang juga lucu. Ada histeria karena kita tidak pernah menyangka: White Shoes and the Couple Company sedang menari!
Juga pengembaraan kita di malam Minggu yang sebenarnya kelabu. Di antara impian yang berkali-kali lepas dari tangan, di antara harapan yang sarat banyak kepentingan, dan di antara hidup dengan pertanyaan yang belum juga redup.
Dan lagi-lagi tawa kita terselip di antara tumpukan buku yang entah bagaimana ada di rak-rak banting harga. Bukankah kita seperti kurcaci yang menggali emas di ujung pelangi? Tak perlu menanti terlalu lama untuk karena bongkah demi bongkah emas segera kita kumpulkan. Sepertinya gelak tawa di hati kita perlu berbagi tempat dengan sorak sorai.
Lalu muncul kalimat ini dari mulutmu. Iya, kamu: gadis penggemar Bisma yang menganggap membaca Confusius tak kalah menarik dengan Ronggowarsito.
Habent sua fata libelli - setiap buku punya takdirnya sendiri-sendiri
Kurang lebih artinya begini, "Setiap buku punya cerita masing-masing kenapa ia mesti hadir di dunia ini dan akhirnya bisa dibaca orang yang punya kesempatan melakukannya." Pikirkan, bukankah kita seperti sedang berada dalam pusaran takdir yang meniru pola jaring laba-laba? Menurutmu kenapa kita memilih buku yang kita pilih? Dan untuk apa? Mungkinkah ada hubungannya dengan takdir seseorang di seberang lautan yang namanya bahkan belum kita dengar?
Sepertinya aku menemukan sebuah ide cerita^^
Oh ya, kita masih punya sebuah misteri yang harus dipecahkan. Pertanyaan tentang siapa sebenarnya kakek berambut putih panjang, pemilik toko buku di Taman Ismail Marzuki. Dia yang menurut Imam adalah sastrawan yang sedang menyamar karena dia punya nomor Sapardi dan ada simbol apel tergigit di note booknya. Tentang nomor Sapardi itu, sampai sekarang belum kuhubungi. Bukan karena takut salah sambung, tapi justru karena aku khawatir itu benar-benar milik Sapardi.Oh, jantung ini mungkin bisa meloncat keluar :p
Baiklah, aku hanya sedang ingin menceritakan kembali setiap letupan kembang api. Kalian sudah tahu, itu pasti. Tapi kita masih punya rencana melihat pangeran Tionghoa yang tersesat di negeri sihir. Juga rencana melewatkan senja di taman suropati, karena siapa tahu di sana ada kelompok paduan suara dengan iringan biola. Kita masih punya banyak kembang api menunggu untuk dilesatkan ke angkasa dan meledak di sana, memberi warna dalam hidup kita.
Lalu jika semua rencana sudah habis. Katakanlah, kembang api sudah padam. Kita hanya perlu menemukan sebuah warung kopi, lalu cerita akan berlanjut lagi.
* untuk Aulia Sisca dan Aminingrum
No comments:
Post a Comment