6 Jan 2016

Perjalanan, Pertanyaan dan Momen-Momen Penasaran

Saya tidak bisa membayangkan ada orang lain yang mengunjungi Borobudur, hanya duduk-duduk di bangku di pelatarannya, tanpa naik ke sampai ke puncak, selain dia. Iya, dia, teman perjalanan saya yang selama ini berbagi langkah-langkah kaki ke banyak tempat. Dia adalah travel companion, a sidekick, somebody who is in the same journey with me. Selama empat musim yang baru berlalu, dia menemani saya bicara sampai tengah malam, mendebatkan banyak perkara tidak penting, tidak melewatkan sedikitpun kesempatan untuk menggoda saya sampai saya marah-marah, dan membuat banyak rencana perjalanan dengan bahagia.

Ketika beberapa waktu lalu kami mengunjungi Borobudur, alih-alih mengamati detail relief dan stupa, ia justru mengajak saya duduk di sudut yang teduh, mengamati pengunjung yang bersemangat, dan mengajukan pertanyaan, "Pengunjung sebanyak ini, masa iya tidak berpengaruh pada candi ini?"

Saya yang sudah tidak terlalu heran dengan perilaku travelingnya yang ajaib hanya menyahut sekenanya, "Candi ini sudah dibuka untuk umum sejak oh-I-dont-know-when, dan dia masih berdiri sampai sekarang."

Dalam hal ini kami memang berbeda. Saya rasa perbedaan ini tidak ada hubungannya dengan jender, tapi memang, dalam perjalanan kami, saya banyak merasa, sementara dia banyak berpikir. Saya cenderung menerima banyak hal begitu saja, tanpa mempertanyakan, sementara dia kebalikannya. Sepertinya mesin-mesin di otaknya selalu sibuk mengolah informasi apa saja yang dikirimkan oleh inderanya.

Misalnya, ketika kami masih di negeri para penyihir dan sedang berjalan-jalan di taman. Ketika saya menemui pepohonan, saya berdiri di bawahnya dan merasa bahagia. Saya sibuk merasakan hembusan angin sambil memejamkan mata, dan berharap ketika mata saya terbuka saya akan melihat peri pohon melambai-lambai dari ranting terendah. Tapi, dia justru mengamati sebuah pohon dan penasaran setengah mati kenapa, tidak seperti pohon-pohon yang lain, pohon itu dikelilingi oleh pagar pendek.

Sampai akhirnya kami menemukan sebuah plakat yang menerangkan pohon itu ditanam oleh anggota keluarga Kerajaan ketika ia berkunjung ke kota kecil kami.

Pertanyaan-pertanyaan sidekick saya ini memang sering membawa kami ke penemuan-penemuan tak terduga.

Di Borobudur, hal itu terjadi lagi. 

Mendengar jawaban saya tadi, dia memandang saya dengan pandangan tak percaya. Entah sudah berapa kali dia mengatakan saya ini kurang peka. Termasuk ketika saya berjalan begitu cepat dan cenderung berdesakkan dengan orang-orang, tanpa sadar yang saya desak-desak adalah orang tua yang memakai tongkat. Dia sering memarahi saya karena sifat saya ini.

Tapi kali ini dia hanya diam, mengambil ponselnya dan mulai mengetik sesuatu. Saya tahu apa yang dia lakukan. Google adalah teman terbaiknya di momen-momen penasaran seperti ini.

"Nih, dengar," serunya tak lama kemudian. "Beberapa waktu lalu dilaporkan, pondasi Candi Borobudur telah amblas sedalam 1,7 sentimeter. Penyebabnya, daya dukung lingkungan semakin rendah karena Candi Borobudur terlampau berat menahan beban batu dan orang di atasnya."

Saya tidak tahu bagaimana harus menanggapi selain dalam hati mengakui rasa penasarannya lagi-lagi benar.

Ia terus membacakan artikel yang ia temukan itu, tentang bagian-bagian candi yang aus karena terlalu sering disentuh, tentang cuaca yang membuat batu-batu semakin lapuk, dan tentang pengunjung yang tidak peduli. Ketika artikel itu selesai dibaca, dia memandang ke candi megah di hadapan kami dan berkata pelan, "Kasian sekali Borobudur ini. Demi kepentingan ekonomi, dia harus menderita, diinjak sana-sini sampai amblas. Sudah, kita lihat dari sini saja, tidak usah ikut naik."

Saya merasa itu keputusan yang aneh. Tapi, sudahlah, lagipula ini bukan pertama kalinya saya ke Borobudur. Akhirnya yang keluar adalah pertanyaan wajib saya ketika saya diperhadapkan pada kebiasaannya mengkritik, "Jadi, menurutmu bagaimana baiknya Borobudur ini diperlakukan?"

Dia menaikkan alis. "Batasi jumlah pengunjung, itu paling mudah. Naikkan harga tiket supaya mereka yang datang memang hanya benar-benar mereka yang tertarik dan pastinya cukup peduli pada kelangsungan candi ini."

Duh. Tema ini: pertimbangan ekonomi versus pertimbangan kelestarian. Di negeri ini pariwisata berputar pada dua titik pendulum ini. Sebenarnya ini bisa jadi bahan diskusi yang menarik, tapi siang itu, dan seperti siang-siang biasanya, saya malas berpikir. Cuaca panas sekali. Jadi akhirnya saya cuma diam membiarkan dia merenungi nasib malang candi warisan wangsa Syailendra ini.

Saya tidak tahu berapa lama kami duduk-duduk di pelataran itu. Sepertinya cukup lama. Saya mengamati rombongan turis Cina yang mengambil kesempatan berkunjung untuk berdoa di hadapan Buddha. Sementara dia, asyik berselancar di dunia maya, mencari tahu jawaban dari semua pertanyaan yang muncul dari otaknya yang selalu sibuk. Kadang dia akan membacakan fakta menarik yang dia temukan, tentang nama arsitek Borobudur, bagaimana teknik candi itu dibangun dan tentang bagaimana pengelola kastil tua di Jerman mewajibkan pengunjungnya memakai sandal khusus agar lantai pualam kastil tidak rusak. Saya seperti murid yang manis mendengarkan guru sejarah sedang mengajar.

Diam-diam, saya berjanji agar lain kali lebih banyak mengajukan pertanyaan dalam perjalanan-perjalanan kami.

Matahari semakin beranjak naik. Cuaca semakin panas. Dia bertanya apakah saya sudah ingin pulang.

"Kamu benar-benar tidak mau naik ke atas?" tanya saya entah untuk kali keberapa.

Dia hanya tersenyum dan menjawab singkat, "Ada keindahan yang cuma perlu dilihat, tanpa perlu disentuh."

Saya tertegun.

Memang sidekick saya ini ajaib. Sampai sekarang saya masih menduga dia tidak naik ke puncak Candi karena cuaca yang panas, bukan karena dia berniat mulia tidak menambah kerusakan Borobudur. Tapi, apapun itu, lagi-lagi rasa penasarannya menambahkan sesuatu pada perjalanan kami.

No comments:

Post a Comment