Aku tidak ingat kapan pertama kali aku
mengunjungi Gramedia.
Yang aku ingat, aku beruntung memiliki
orang tua yang membesarkanku menjadi seorang pencinta buku. Bapak dan Ibu
mengantarku tidur dengan segelas susu cokelat hangat dan cerita-cerita dari
buku dongeng. Disaat orang tua-orang tua lain membelikan boneka untuk anak perempuan
mereka, Bapak dan Ibu memberiku buku. Bagi kami, pergi berjalan-jalan di
akhir minggu berarti pergi ke pusat kota dan mengunjungi toko buku.
Masalahnya, di Magelang, kota tempat aku
lahir dan tumbuh besar, tidak ada Gramedia. Yang ada hanyalah toko buku dengan
spanduk besar bertuliskan “Menjual Buku-Buku Terbitan Gramedia.” Tentu saja
koleksinya tidak terlalu lengkap. Serial dongeng terbitan Elex Media Komputindo
tidak semuanya tersedia, pun buku cerita rakyat yang dulu aku koleksi. Mungkin
karena itu, karena tidak tahan melihat kekecewaanku setiap kali buku yang
kucari tidak ada, Bapak dan Ibu membawaku ke Gramedia. Waktu itu aku masih
duduk di Sekolah Dasar.
Mengunjungi Gramedia berarti pergi ke luar
kota, tepatnya ke Jogjakarta. Itu berarti, Bapak dan Ibu harus menyiapkan dana
ekstra untuk transportasi, makan siang dan jajanan entah apa, juga terutama,
menuruti keinginanku berbelanja buku. Wajar saja kalau akhirnya pergi ke
Gramedia adalah sebuah kemewahan. Gramedia adalah hadiah dari Bapak dan Ibu
kalau prestasiku bagus saat akhir tahun ajaran, saat aku memenangkan perlombaan,
atau saat Bapak dan Ibu mendapat rezeki tak terduga.
Setiap kali mengunjungi Gramedia, kami akan
pergi pagi-pagi dan baru pulang saat matahari hampir tenggelam. Aku tidak
terlalu ingat detilnya, tapi menurut cerita Ibu, aku betah berdiri berjam-jam
membaca buku di Gramedia, lalu memilih banyak buku yang aku anggap bagus. Kadang
Ibu akan bercerita betapa dia dulu sebenarnya lelah menemaniku berlama-lama menghabiskan
waktu di Gramedia.
Mungkin karena kemewahan itu, setiap kami
sekeluarga mengunjungi kerabat di Bandung, jika ada yang bertanya kemana aku
ingin dibawa jalan-jalan, aku selalu menjawab “Gramedia!” Bahkan saat diterima
di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang, hal pertama yang aku katakan
pada Bapak adalah “Asyik, di Semarang ada dua Gramedia!”
Di mataku, Gramedia adalah sebentuk cinta.
Ketika sekarang aku tinggal di Jakarta, kota dengan banyak Gramedia, setiap aku
mengunjungi toko ini, aku mengenang cinta Bapak dan Ibu yang selalu sabar
menungguiku menghabiskan waktu disana. Aku juga mengingat cinta teman-temanku
yang membawaku ke Gramedia dan membiarkan aku memilih sendiri hadiah ulang
tahunku. Kata mereka, “Kami tidak hafal buku apa yang kamu punya atau tidak
punya. Jadi daripada salah, lebih baik kamu pilih sendiri.” Di toko ini, aku
juga mengingat cinta sahabat-sahabat priaku yang selalu siap mengantarku ke Gramedia
dengan motornya setiap pulang kuliah, walaupun pertanyaan mereka selalu sama,
“Kamu ngga bosan ke Gramedia setiap hari?”
Ah, aku tahu, bahkan untuk mereka yang
bekerja di Gramedia, hari-hari yang mereka lewatkan di toko ini adalah juga
sebentuk cinta, untuk keluarganya, untuk kolega mereka, juga untuk pelanggan
yang datang dan pergi. Aku melihat sebentuk cinta itu dari susunan buku-buku
yang dijaga rapi di raknya masing-masing, termasuk dari satu buku yang
dibiarkan terbuka tanpa plastik pembungkus agar pelanggan dapat mengetahui isi
buku sebelum membeli. Aku juga merasakan sebentuk cinta itu dari sapaan di
pintu toko kalau kebetulan aku datang tepat saat toko dibuka. “Selamat pagi,
selamat datang di Gramedia…”, begitu kata mereka. Sebentuk cinta itu juga ada
pada senyum pramuniaga dalam ketergesaan mereka menemukan buku yang dicari
pelanggan. Kadang mereka akan menyusuri rak demi rak, mencari di katalog
elektronik, atau bahkan meminta bantuan kolega mereka agar buku itu ditemukan. Aku
bahkan ingat, beberapa cabang Gramedia akan menyediakan kurma dan air mineral
saat bulan puasa, sehingga pelanggan tidak perlu repot pergi ke luar toko untuk
membatalkan puasanya. Jika tanpa sebentuk cinta, bagaimana toko ini bisa begitu
nyaman, walaupun label diskon jarang ditemukan di antara tumpukan buku-buku
yang dijual?
Sungguh, aku tidak ingat kapan pertama kali mengunjungi Gramedia, sama halnya seperti aku tidak tahu sudah berapa kali aku pergi kesana. Yang aku tahu, aku selalu kembali ke Gramedia karena disana aku melihat sebentuk cinta.
*postingan ini diikutkan pada kontes Gramedia Blogger Competition edisi Oktober. Info lengkap bisa dibaca disini.