24 May 2015

Perkara Memberi Waktu

Katamu dulu, waktu adalah hadiah paling berharga yang dapat diberikan seseorang kepada orang lain. "Karena waktu tidak pernah bisa dikembalikan atau diminta kembali," kau menjelaskan. Lalu setelah itu kau tiba-tiba bertanya, "Kalau begitu, siapa di antara kita yang saat ini memberikan waktunya?"

"Apa maksudmu?" aku balik bertanya sambil memandang camar-camar yang beterbangan di permukaan Thames.

"Maksudku, kita pergi berjalan-jalan seperti ini, hanya berdua. Kira-kira, siapa menemani siapa? Waktu siapa yang diberikan untuk yang lain?"

Aku tersenyum sekilas. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangat kamu. Pertanyaan yang entah berasal dari mana dan tak jelas mau kemana. "Menurutku kita saling memberikan waktu," jawabku.

"Tidak, tidak, itu jawaban kompromistis," sahutmu. "Tentu saja aku yang memberikan waktuku untukmu, menemanimu berjalan-jalan keliling London seperti ini," lanjutmu penuh keyakinan.

Keningku berkerut. "Aku sudah sering ke London, aku yang menemanimu berjalan-jalan keliling London," seruku.

Kau hanya mengedikkan bahu. 

"Baiklah, baiklah," kataku. "Anggap saja memang kau yang memberikan waktumu. Jadi, terima kasih ya untuk waktunya." 

Kau masih saja mengedikkan bahu, kali ini malah sambil mencibir. "Caramu bilang terima kasih  itu seperti terpaksa."

Mendengar itu, aku membelalakkan mata. "Apa maumu sebenarnya?" tanyaku setengah berteriak.

Dan kau tergelak karena berhasil menggodaku. Sejurus kemudian, kau berlari menghampiri gerombolan camar yang langsung beterbangan dengan ribut saat mendengar langkah kakimu mendekat.

***

Akhir-akhir ini, ketika segala tentang kita adalah tentang menjadi terbiasa, perkara memberikan waktu tidak lagi soal siapa menemani siapa. Karena ternyata memberikan waktu juga adalah memberi kesempatan satu sama lain untuk hanya berdua dengan waktunya sendiri.

Ada yang sedang kau perjuangkan dan kau butuh sendirian. Jadi ketika percakapan tengah malam menjadi begitu jarang, aku tidak menganggapnya kehilangan.

Karena kenyataannya, kau dan waktumu selalu ada. Aku melihatnya dalam pertanyaan 'Kenapa?' yang muncul di layar ponselku, padahal aku sengaja tidak memberitahumu kalau aku sedang mengalami hari yang buruk. Mungkin kau tahu dari seseorang, dan untuk sejenak menyisihkan agendamu. Waktumu menjelma dalam kalimat-kalimat, "Ceritakan padaku...", "Jadi bagaimana rencanamu?, "Kau menangis?", dan "Kemarilah, jangan sendiri ketika bersedih."

Lalu ketika kita bertemu, aku masih menangis. Kau tidak mengusap air mataku, kau bahkan tidak melarangku menangis. Kau hanya meninggalkan berkas-berkasmu, duduk di sofa dan sekali lagi, mendengarkan ceritaku. Kau mengajukan pertanyaan-pertanyaan, memberikan saran-saran lalu menyuruhku makan. Kau masih menemaniku sampai aku mengantuk dan tidak lagi merasa ingin menangis.

Esoknya ketika aku menempuh perjalanan untuk membereskan masalahku, kau tidak menghujaniku dengan nasehat-nasehat penyemangat. Kau hanya memastikan apakah aku sudah sarapan, dan bertanya jam berapa aku pulang, itupun lewat layanan pesan singkat dalam interval yang panjang-panjang.

Perkara memberi waktu memang bukan lagi soal siapa menemani siapa. Kadang kita memang seperti tidak ada untuk satu sama lain. Apalagi memberikan waktu. Aku masih ingat ketika aku menolak ajakanmu karena harus menyelesaikan banyak hal sebelum deadline. Perkara memberi waktu memang bukan lagi soal siapa menemani siapa. 

Seperti ketika aku sudah sangat lelah dan mengantuk, tapi tiba-tiba ada panggilan masuk darimu. Kau meminta bantuan membereskan sesuatu. Aku mengiyakan, lalu semenit kemudian pesan-pesanmu berdatangan. Aku memaksa otakku berpikir, padahal biasanya kantuk adalah sesuatu yang tidak bisa kutolerir. Ketika semuanya selesai, kau tidak juga merasa lebih tenang, bahkan ketika aku bilang, "Don't worry, everything will be alright." Jadi aku tetap menunda waktu tidurku, mencoba menarikmu keluar dari ketakutan-ketakutanmu sendiri. Entah berapa lama kita bertukar pesan,  sepertinya sampai kantukku hilang. Akhirnya kau bilang kau ingin menangis dan aku hanya bisa berkata, "Tidak apa-apa, menangislah..."

***

Ketika waktu menjadi sesuatu yang sulit dikompromikan, aku tidak menganggapnya kehilangan. Karena ketika waktu sedang bisa diajak bekerjasama, akan selalu ada ajakan melihat sinema atau perjalanan singkat ke taman.

Pada akhirnya, kita dan perkara memberi waktu adalah tentang memberi ruang meskipun rindu dan selalu ada ketika perlu.



No comments:

Post a Comment