23 Dec 2014

Bagaimana Saya Jatuh Cinta Pada Dublin - 1

Mungkin jatuh cinta pada Dublin memang harus pelan-pelan. Dia tidak tampan luar biasa sampai membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Walaupun Dublin bukan pesolek seperti Paris, jelas dia sangat menarik hingga akhirnya saya memutuskan tinggal. Ketika teman-teman saya pulang ke Inggris, saya menambahkan tiga hari di Dublin. Dan Dublin memang mempesona. Tiga hari tentu saja tidak cukup mengenal semua tentang kota ini. Tapi ternyata kota ini begitu memahami saya.

Walter Mosley dulu pernah berkata, “A man’s bookcase will tell you everything you’ll ever need to know about him.” Saya anggap itu benar. Maka saya menyempatkan diri melihat ‘rak buku’ Dublin. 'Rak buku' pertama adalah perpustakaan Trinity College yang tersohor: The Old Library. Saya harus merelakan anggaran belanja tiga hari untuk memasuki tempat ini. Tapi sebagai salah satu perpustakaan yang wajib dikunjungi, saya tahu saya hanya dihadapkan pada dua pilihan: penghematan beberapa hari ke depan atau penyesalan.

Saya paling tidak ingin menyesal.


Dengan rak buku yang menjulang dari lantai sampai ke langit-langit, suasana di The Old Library begitu khidmat. Dibangun sekitar tahun 1700, perpustakaan ini menyimpan kurang lebih 200.000 buku tua dengan sampul tebal yang khas. Tentu saja buku-buku itu sedemikian tua sampai pengunjung tidak diperbolehkan menyentuhnya. Menjadi rapuh setelah beberapa abad adalah sesuatu yang normal. 

Salah satu koleksi paling terkenal yang dimiliki perpustakaan ini adalah The Book of Kells. Buku ini memuat 4 kitab Injil yang ditulis dalam bahasa Latin dengan gaya penulisan formal yang disebut 'insular majuscule'. Buku ini ditulis di atas kulit lembu dengan pena yang berasal dari bulu ekor angsa. Sementara itu tintanya merupakan campuran berbagai bahan pewarna alami. Buku ini telah melewati berbagai tantangan, mulai dari serangan bangsa Viking, kebakaran, hingga akhirnya sampai di The Old Library.

Sayang sekali di ekshibisi The Book of Kells pengunjung tidak boleh mengambil gambar.

Perpustakaan lain yang saya kunjungi adalah The National Library of Ireland (NLI) atau Leabharlaan Náisiúnta na hÉireann dalam bahasa lokal. Dari Senin sampai Sabtu, perpustakaan ini dibuka gratis untuk pengunjung. Saya pertama kali berkunjung di hari Minggu, tapi saya beruntung tetap bisa mengunjungi pameran yang kebetulan sedang diadakan. Kali ini, NLI sedang mengenang W.B. Yeats, penyair dan penggiat sastra Irlandia.

Sebelum memasuki ruang ekshibisi Yeats, Dublin mengenalkan saya pada James Joyce. Nama besarnya sudah sering saya dengar. Salah satu sahabat saya adalah pengagumnya dan dia begitu bersemangat merekomendasikan kisah-kisah Joyce. Gara-gara sahabat saya itu, saya pernah mencoba membaca terjemahan Portrait of The Artist as A Young Man, tapi tidak selesai. Entah kenapa. Mungkin waktu itu saya lebih tertarik pada buku lain dan A Portrait terlupakan begitu saja.

Beberapa tahun belakangan, Dublin sibuk dengan peringatan 100 tahun Bloomsday (1904-2004). Bloomsday yang diperingati setiap 16 Juni ini merupakan setting waktu novel Joyce yang berjudul Ulysses. Namanya diambil dari Leopold Bloom, tokoh utama dalam novel yang menceritakan kehidupan Bloom pada tanggal 16 Juni 1904 dari pukul 8 pagi sampai hari berganti. Salah satu jejak peringatan ini ada di NLI berupa delapan standing banner yang menceritakan tentang Joyce.

Dari standing banner pertama sampai kedelapan, pengunjung bisa mengenal Joyce lewat topik-topik ini: James Joyce’s Ulysses, Joyce’s Life and Works, The Writer at Work: 1914 – 22, Publishing Ulysses, Controversy and Censorship, Shakespeare and Company, Shakespeare and Company, Joyce’s Dublin: The City in the Book, Joyce’s Dublin: Music in Dublin and Ulysses.

Walaupun membaca Ulysses baru sekedar rencana, sekarang saya sedikit mengerti kekaguman teman saya pada James Joyce. Dia penulis berdedikasi, tentu saja. Joyce menulis dengan alat apapun yang dia punya. Dia juga punya ikatan khusus dengan toko buku legendaris Shakespeare and Co. Saya beruntung pernah mengunjungi toko buku di kota Paris ini lima tahun yang lalu. Yang paling menarik adalah ini: memakai Dublin sebagai latar novelnya, James Joyce bercita-cita kalau suatu hari nanti Dublin lenyap dari muka bumi, kota ini masih bisa direkonstruksi lewat detail yang ia tulis. Dan Dublin hari ini memang belum lenyap, tapi kisah-kisah dalam novel-novel Joyce telah begitu melekat pada kota ini. Tidak heran pameran ini juga menceritakan tentang orang-orang yang melakukan ‘ziarah’ ke Dublin, mengikuti jejak-jejak Joyce dan tokoh-tokoh dalam novelnya.

Di ekshibisi kedua, William Butler Yeats dan karya-karyanya dihadirkan dengan menawan melibatkan hampir seluruh indera kita. Puisinya dihadirkan audibel dan visual di area Verse and Vision. Ketika saya memasuki area ini, puisi Sailing to Byzantium menyambut saya, dibacakan oleh narator bersuara dalam. Lalu di area lain, bagian-bagian hidup Yeats dihadirkan lewat berbagai buku, manuskrip, dan surat yang pernah ia tulis. Beberapa foto dan testimoni tentang Yeats juga ditampilkan. Untuk saya pribadi ekshibisi ini sangat impresif, dan rupanya bukan cuma saya yang berpikir demikian. Ekshibisi ini telah mendapatkan berbagai penghargaan dan merupakan salah satu ekshibisi sastra berpengaruh. Menariknya, ekshibisi ini bisa dikunjungi secara online disini.


Hari berikutnya, saya kembali ke NLI berharap bisa masuk ke Reading Room. Reading Room berbentuk ruangan bundar itu sangat nyaman namun serius, para pengunjung tidak diperbolehkan mengambil foto. Pengunjung juga tidak boleh membawa tas maupun mantelnya, dan alat tulis yang boleh dipakai hanya pensil. Saya langsung merasa bersalah karena datang kesana hanya untuk melihat-lihat. Jadi setelah berkeliling sebentar, saya memutuskan keluar dan melihat ekshibisi lain, kali ini tentang Irlandia dan Perang Dunia I. 

Tanpa pengetahuan sedikitpun tentang sejarah Irlandia, saya mencoba memahami pameran ini. Ketika Irlandia masuk dalam perang, diadakanlah rekrutmen besar-besaran. Para pemuda dipanggil menjadi tentara. Agak menyedihkan ketika banyak orang menanggapi panggilan itu karena menjadi tentara berarti mendapatkan penghasilan tetap, meskipun jumlahnya tidak besar. Mereka yang tidak bergabung dengan militer juga dibutuhkan untuk pekerjaan sukarela pendukung, seperti merajut syal, menjahit seragam, atau memasak ransum. Perang ini begitu mempengaruhi masyarakat Irlandia. Tapi Perang Dunia ini juga menjadi awal kemerdekaan Irlandia, ketika para pemuda terbagi dua: bergabung dengan pasukan Inggris atau dengan pasukan nasional Irlandia yang baru saja terbentuk. Konflik semakin meruncing saat Inggris menetapkan “Home Rule” atau pajak khusus untuk pembangunan Irlandia, yang tentu saja ditolak dan memicu perang kemerdekaan Irlandia.

Terakhir, saya menyempatkan pergi ke Dublin Public City Library. Mungkin inilah perpustakaan dalam arti fungsional di Dublin, tempat orang membaca dan meminjam buku. Ketika saya mencari keberadaan perpustakaan ini, saya sempat tersesat karena ternyata lokasinya berada di pusat perbelanjaan. Siapa mengira di Ilac Shopping Centre yang riuh itu ada sebuah perpustakaan yang nyaman? Koleksinya tidak terlalu banyak, namun cukup lengkap. Bahkan area khusus untuk anak-anak juga tersedia. Selain buku, perpustakaan ini juga memiliki music library dengan koleksi CD musik klasik dan jazz yang cukup banyak. Tersedia juga DVD film-film klasik yang mungkin sudah tidak tersedia di toko. Malam terakhir saya di Dublin, saya melewatkan waktu di perpustakaan ini mengetik draft Catatan Dari Irlandia. Di perpustakaan ini pula saya mencetak boarding pass saya untuk esok hari.