Tidak ada yang benar-benar bebas di dunia ini. Begitu menurutku.
Kita memandang ke udara dan melihat burung-burung terbang. Kita berpikir mereka bebas. Kita memandang ke laut dan melihat ikan-ikan berenang. Kita berpikir mereka bebas. Tapi, bahkan kepak sayap mereka, gerak sirip mereka adalah hasil ikatan alam. Pernah dengar hukum Newton? Hukum Archimedes? Atau prinsip Bernoulli?
Kita memandang ke riak sungai, dan berpikir betapa beruntungnya mereka mengalir bebas. Kita berpikir mereka bebas. Tapi, bahkan sejak kita masih duduk di bangku sekolah dasar, kita sudah diajar air selalu mengalir dari tempat tinggi ke rendah. Sungai tidak mampu mengalir dari hilir ke hulu.
Kita memandang awan-awan, dan berpikir betapa beruntungnya mereka melayang bebas. Kita berpikir mereka bebas. Tapi, kita kadang lupa mereka bergantung pada angin. Angin yang juga seakan bebas, tapi sebenarnya tergantung pada pergerakan bumi dan tekanan udara.
Tidak ada yang benar-benar bebas di dunia ini. Begitu menurutku.
Aku menghitung rindu dalam rintik hujan yang akhir-akhir ini sering turun. Setiap malam, ketika kaca jendela dibayangi oleh rinai air hujan, atau, setiap pagi, ketika daun-daun masih basah oleh sisa hujan semalam. Hujan bulan Juni, begitu Sapardi pernah menulis puisi. Kakek tua itu bilang, hujan bulan juni adalah hujan yang tabah, karena ia sanggup merahasiakan rintik rindu.
Dan hujan bulan juni ini mengajarku tabah. Belajar menahan, jika tidak merahasiakan, rindu.
Aku membaca rindu dalam setiap halaman Tidak Ada New York Hari ini. Disana terserak rindu seorang pemuda pada kekasih yang ia tinggalkan sembilan tahun lalu. Rindu yang ditantang oleh jarak antara New York dan Jakarta, jarak antara ratusan purnama. Diantara halaman-halaman buku itu, kuselipkan rinduku: sebuah memorabilia dari pertemuan terakhir kita - sobekan dua tiket sinema tentang pertemuan kembali pemuda yang merindu dan kekasihnya itu.
Pada kening pemuda itu, rindu adalah kenangan yang mewujud kata-kata. Demikian juga pada hari-hariku, rindu adalah janji-janji yang mewujud puisi.
Aku menyentuh rindu dalam setiap perjalanan dan kesibukan. Pada setiap kepulanganku dan kepergianmu. Pada setiap kepulanganmu dan kepergianku. Pada setiap rencana yang pada akhirnya tertunda. Pada tumpukan kertas-kertas dan dengung mesin pencetak. Pada denting notifikasi dari aplikasi percakapan singkat. Pada namamu yang muncul pada layar ponselku.
Dan, aku selalu tahu, pada akhirnya, rindu tidak seberat itu.
Pemuda itu bertanya tentang kemana sebaiknya dia melangkah nanti. Apakah ke kota sunyi dengan banyak kastil, kota di tepi pantai dengan camar beterbangan, atau kota tempat mereka pernah melihat lukisan bulan purnama.
Va dove ti porta Il cuore. Begitu jawab gadis yang menjadi lawan bicaranya.
Pemuda itu memutar kedua bola matanya. Setiap gadis itu mengeluarkan istilah-istilah asing, ia selalu tidak tahu harus menjawab apa.
Gadis itu tertawa. "It's Italian. Artinya, 'pergilah kemana hati membawamu'...", ia menjelaskan.
Pemuda itu semakin tidak tahu harus menjawab seperti apa.
Untuk kesekian kalinya pemuda itu menemukan betapa gadis itu menelan perasaannya sendiri. Pemuda itu tahu benar kota mana yang ada di pikiran gadis itu. Mereka punya kenangan disana. Sebuah kunjungan singkat yang menyenangkan. Tidak hanya karena lukisan bulan purnama yang mempesona di galeri kota, tapi juga karena kontur kota yang berbukit, dan gedung-gedung yang - menurut gadis itu - seperti gedung-gedung di kota kesukaannya.
Mungkin nanti aku akan sering menyenandungkan lagu itu. Lagu yang menjadi tema film yang kita lihat beberapa waktu lalu. Lagu tentang rindu. Rindu yang setia, yang tidak terkata. Lagu yang mengiring sebuah kisah tentang surat-surat dari Praha.
"Kau pernah ke Praha?" tanyamu waktu itu, sesaat sebelum film itu mulai.
Aku menggeleng. "Belum," jawabku singkat.
Kau tersenyum. Mungkin kau ingat dulu kita pernah berencana bertandang kesana. Konon, Praha adalah Paris di tahun 80-an. Aku membayangkan Praha adalah Paris dalam versi yang lebih hangat dan sederhana. Jika Paris adalah tempat untuk merayakan cinta, maka Praha adalah kota untuk merenungi rindu.
Seperti merenungi rindu Jaya pada Lastri.
Aku ragu sekarang kau masih ingat pada Jaya dan Lastri, sepasang kekasih yang dihantam takdir. Takdir yang memaksa mereka berpisah, seakan kalah. Tapi apakah bisa dibilang kalah, jika bahkan sampai nafas terakhirnya Lastri tidak pernah berhenti mencintai Jaya. Dan Jaya, ah... Jaya, daripada berhenti mencintai Lastri, dia memilih tinggal dalam kesepian, ditemani ingatan dan kenangan, menyanyikan rindu.
Rindu Jaya dan Lastri adalah rindu yang setia, yang tidak terkata. Rindu yang membuatku membayangkan rindu milik kita. Apakah nanti rindu kita akan seperti rindu milik mereka?
Diantara waktu-waktu yang tersisa sekarang, aku mendoakan banyak semoga. Semoga dua setapak dimana kaki kita melangkah, sesungguhnya adalah setapak yang berdekatan, bahkan kadang bersimpangan. Semoga, setapak kita ada dalam dekapan musim yang sama, dalam irama waktu yang serupa. Setapak yang membawa kita mewujudkan Praha.
Karena ketika jarak ada, rindu itu niscaya.
Aku bisa membayangkan aku menulis surat untukmu, entah dari kota mana. Surat-surat yang mungkin tidak akan pernah kau baca. Surat-surat yang aku tulis memang tidak untuk dibaca. Surat-surat yang ditulis sekedar untuk menguatkan hati. Sampai nanti, di awal musim semi seperti ini, kita bertemu di Praha. Merayakan rindu yang setia, yang tidak terkata.
Lalu, di tepian sungai Vltava, ketika lampu-lampu di atas jembatan mulai menyala, aku akan mengingatkanmu pada rindu Jaya kepada Lastri. Rindu yang setia, yang tidak terkata.
Gadis itu menyukai April yang seakan berjalan begitu pelan. Sama seperti ia menyukai perkenalan yang perlahan-lahan.
Itulah kenapa ketika bulan April datang, gadis itu akan mengingat perjalanan awal musim semi bersama pemuda itu. Tidak hanya tentang waktu-waktu menyenangkan yang mereka habiskan di tepian Thames atau di pelataran Buckingham, tapi juga tentang bagaimana waktu membuka sketsa-sketsa dalam pikiran mereka tentang satu sama lain.
Ternyata pemuda itu sangat keras kepala. Ternyata gadis itu sangat kekanakan. Ternyata mereka sama-sama tidak suka mengalah.
Gadis itu masih ingat saat dia mendiamkan pemuda itu berjam-jam, hanya karena, pada suatu pagi, pemuda itu memutuskan berkeliling lebih dulu tanpa menunggunya. Gadis itu merasa tidak dipedulikan. Ia juga masih ingat saat dia memutuskan untuk tinggal lebih lama di kota yang mereka kunjungi, sementara pemuda itu terus membujuknya pulang. Dia menolak dan membiarkan pemuda itu pulang tanpanya. Ia tahu pemuda itu merasa tidak dianggap.
Sering sekali gadis itu merasa si pemuda tidak peka, sementara pemuda itu merasa si gadis berlebihan.
Tapi mereka sama-sama mudah memaafkan dan melupakan. Sama seperti ketika matahari bulan April yang tiba-tiba muncul bahkan ketika hujan musim semi belum sepenuhnya selesai, mengakhiri hari dengan warna-warna pelangi.
Pada akhirnya pemuda itu belajar mendengar, dan gadis itu belajar memberi ruang.
Gadis itu menyukai April yang begitu lembut dan hangat. Di awal, April akan menyapa lewat rumpun-rumpun daffodil dan tunas-tunas hijau pada ranting. Lalu ketika mereka berlalu, cherry blossoms akan mekar, sebentar lalu lenyap. Tapi bunga-bunga ungu akan terlihat di antara rerumputan di taman, sampai akhirnya kelopak-kelopak daisy muncul seperti titik-titik salju di rerumputan.
Ia menyukai April ketika perubahan demi perubahan berjalan begitu wajar, bahkan tak terasa.
Mungkin perjalanan mereka juga seperti itu. Sampai pada suatu ketika, berbulan-bulan setelahnya, gadis itu bertanya bagaimana pemuda itu bisa tahu emosinya hanya dari beberapa baris pesan singkat. Si pemuda menatap mata gadis itu dan berkata, "Aku mengenalmu. Kau tahu itu."