16 Aug 2013

Mimpi Kecil Bapak

“Bapak, gadis kecilmu sudah menginjakkan kakinya di Bernabeau!”

Kalimat itu kontan melintas di pikiranku begitu aku memasuki kompleks Santiago Bernabeau – stadion yang menjadi kandang tim favoritku, Real Madrid.

Kenapa Bapak? Karena menginjakkan kaki di Bernabeau adalah salah satu mimpi kecilku, dan mimpi kecilku juga berarti mimpi kecil Bapak. Seperti mimpi kecil Bapak akan jadi mimpi kecilku juga.

Aku dan Bapak – kami terbiasa berbagi mimpi berdua.

***

Aku dan Bapak memang terbiasa berbagi mimpi. Seperti kami terbiasa berbagi cerita, berbagi waktu, berbagi kenangan.

Tapi semua dimulai oleh Bapak.


Ia yang terlebih dulu berbagi cerita padaku. Malam demi malam saat ia mengantarku tidur. Tumpukan komik wayang karya R.A. Kosasih pun habis kami ulang  tanpa kami merasa bosan, mulai dari Mahabharata, Bharatayudha sampai Pandawa Seda dan bahkan kisah keturunan-keturunan Pandawa setelah itu. 

Bapak adalah seorang pencerita ulung. Dengan fasih ditirukannya dalang-dalang kenamaan, ia tahu benar bagaimana Bima menggeram, atau betapa lembutnya kemarahan Yudhistira. Ia bahkan tak canggung dengan gaya bicara tokoh wanita seperti Drupadi atau Srikandi. Di tangan Bapak, komik wayang itu hidup. Setiap malam, aku merasa seperti sedang menonton pertunjukan wayang orang Sriwedari favorit kami berdua.

Cerita-cerita Bapak adalah benih pemimpi dalam diriku. Waktu itu, mata kecilku hanya bisa terbelalak saat ia bercerita tentang Winnetou, si ketua suku Apache. Bapak bilang, suatu hari nanti aku harus baca semua buku Karl May, lalu pergi ke Amerika untuk merasakan semangatnya. Kenyataannya, aku sudah ke Amerika, beberapa tahun lalu, tapi belum satupun buku karl May yang kubaca. Ternyata aku masih berhutang pada Bapak.

Oh ya, Bapak juga yang mengenalkanku pada Hercule Poirot dan Sherlock Holmes, bahkan saat aku masih belum berani tidur sendiri. Aku tahu Bapak selalu ingin mengoleksi semua seri Agatha Christie dan Sidney Sheldon. Keinginan yang ia tunda-tunda, karena ia lebih memilih membeli seri Lima Sekawan. Sama-sama petualangan detektif, tapi ini adalah petualangan empat detektif cilik dan seekor anjing yang kebetulan menemukan kasus disela liburan musim panas mereka. Lima Sekawan itu, untuk siapa lagi kalau bukan untukku.

Betapa berharganya dunia yang Bapak wariskan. Dunia yang disusun oleh setiap cerita yang kubaca. Dulu, dari atas vespa biru kusam, Bapak mengajarkanku membaca dengan mengeja nama-nama toko. Seperti saat aku mengeja nama dealer di dekat rumah kami, T-O-TO-Y-O-YO-T-A-TA, TOYOTA.

***

Beranjak dewasa, kami berbagi semakin banyak hal. Waktu-waktu di tengah malam menonton pertandingan sepak bola, naik motor berdua mencari masakan bebek di desa, atau menyewa kepingan film untuk ditonton. Waktu itu, aku mulai menceritakan mimpi-mimpiku : menginjakkan kaki ke benua biru, entah untuk belajar atau bekerja. 

"Dek, maaf ya. Bapak tidak bisa menyekolahkanmu ke luar negeri," kata Bapak waktu itu. 

Aku tidak menjawab, hanya sibuk menahan air mata. 'Tidak, pak, aku hanya bercerita, bukan meminta', kataku dalam hati, 'Bapak sudah melakukan terlalu banyak. Aku akan memperjuangkan mimpiku sendiri, lalu memberikannya padamu.'

***

Kini Bapak hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tiap pagi, setelah mengantar ibu ke kantor, Bapak akan duduk di teras, meminum kopinya sambil menunggu Tukang Koran mengantar Kompas. Lalu mungkin, sampai matahari meninggi, ia mengikuti setiap perkembangan negara ini. Tidak lupa ia juga memberi makan dua ekor anjing kami, lalu ia akan menonton berita di TV One atau Metro TV. Kadang ia menjemput ibu, kadang tidak. Kesepiankah Bapak? Hmm, mungkin. Tenggelam di dalam rutinitas tidak selalu menyenangkan.

Aku dan kakak-kakakku memang sudah berlari dalam mimpi kami sendiri-sendiri. Lalu bagaimana dengan mimpi-mimpi Bapak? Katanya, entah bagaimana, dia sudah mendapat semua mimpinya saat kami meraih mimpi-mimpi kami.

Entah bagaimana, katanya.

***

Hidup memang seperti rangkaian kebetulan.

Seperti saat aku mendapat pekerjaan pertamaku di sebuah retail buku terbesar nasional, Bapak ternyata pernah memimpikan hal yang sama. Selepas SMA, ia pernah merantau ke ibu kota berbekal ijazah, melamar ke perusahaan yang sama. Tapi waktu itu tahun 1965, perantauan dari daerah harus akrab dengan kecurigaan keterlibatan dengan organisasi yang waktu itu jadi musuh pemerintah. Bapak harus pulang membawa penolakan.

Satu tahun setelah itu, aku mendapat pekerjaan baru yang mengirimku ke Belanda untuk pendidikan singkat. “Kalau ada negara yang paling ingin Bapak kunjungi, itu adalah Belanda, dan kamu yang pergi kesana,” kata Bapak saat aku pulang. Ia tersenyum sambil memakai syal warna oranye yang kuberikan. Aku tahu Bapak selalu suka Timnas Belanda, tapi aku tidak pernah tahu Bapak ingin kesana. 

***

Usia Bapak sudah senja, aku juga semakin dewasa, tapi kami akan tetap mengejar mimpi bersama.