15 Oct 2012

Kuala Lumpur : The Stories Inside

Seharusnya aku menulis catatan ini sejak berminggu-minggu yang lalu. Tapi rupanya beberapa perjalanan setelah itu lebih menyita waktu. Dan ketika aku memulai catatan ini, aku sedang di pesawat, pada sebuah perjalanan yang lain. Seperti biasa, aku duduk di dekat jendela. Matahari bersinar terang di luar. Kami sedang melewati sebuah pulau. Entah pulau apa.

Perjalanan yang ingin kubagikan adalah tentang Kuala Lumpur. Tapi sebelumnya, please understand that I came to this city for business. Jadi, tolong maafkan karena aku tidak bisa memberikan review yang turistik, seperti perburuan tiket, budget hotel, agenda perjalanan dan hal-hal seperti itu. Cerita perjalanan ini hanya sedikit pengamatan tentang apa yang kutemui disana, dan peristiwa apa yang kemudian menyusun sebuah bab baru pada kisah-kisah perjalananku.

Anyway, aku tidak terlalu excited dengan perjalanan yang satu ini. Entahlah, mungkin sentimen pribadi dengan Malaysia cukup mempengaruhi. Lagipula selama ini aku berpikir Kuala Lumpur tidak memiliki sesuatu yang menarik. Bagiku Menara Kembar itu pun bukan sesuatu yang fenomenal. Well, sepertinya Kuala Lumpur harus menghadapi sikap apatis ku dan membuktikan dirinya. Jujur saja, aku memang tidak mengharapkan melewatkan satu minggu dengan menyenangkan. Mungkin karena aku cuma ingin pulang dengan kebanggaan. Kebanggaan bahwa meskipun serumpun, pada akhirnya aku bisa mengatakan bahwa negaraku masih lebih baik.

Kenyataannya ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport, entah kenapa aku justru teringat kepada Bandara Charles de Gaulle. Oh, this shouldn’t happen. Setelah itu sepanjang perjalanan menuju ke kota, pepohonan hijau berderet rapi seperti sebuah gerbang yang panjang. Ah, dulu di perjalanan masuk kota Paris, pepohonan juga berderet seperti ini, hanya saja warnanya kuning dan kecokelatan.  Gosh! This city shouldn’t make me remember Paris… Yes, it shouldn’t, but it did.

Aku melewatkan 5 hari di Kuala Lumpur untu sebuah rangkaian pertemuan. Tapi, dengan semua rangkaian pertemuan itu, mustahil untuk benar-benar bisa mengeksplorasi kota. Pada akhirnya, aku menambahkan 2 hari, sehingga aku bisa melewatkan weekend tanpa pekerjaan disana. By the way, tentang pertemuan itu, itu hanya sebuah pertemuan regional, bagian dari upaya untuk mewujudkan a peaceful and prosper community, to care and to share each other. And then, please, jangan mengajukan pertanyaan lebih jauh. Believe me, your life will be more comfortable if you don’t even know about all that meeting.

Aku seharusnya menginap di hotel tempat meeting itu diadakan. Sebuah hotel bintang empat dengan pegawai yang siap memberi bantuan ekstra, sesuai dengan digit ringgit yang kita bayar.Tapi karena aku sudah lama ingin bisa merasakan sensasi backpacking lagi, kuputuskan untuk sedikit memodifikasi perjalanan kali ini. Untungnya, kali ini aku pergi sendiri, tanpa atasan. Jadi, dengan sengaja, aku memilih untuk menginap di sebuah hotel bintang dua. Agoda cukup membantu untuk mendapatkan harga yang sangat murah.

Untungnya, pertemuan berjalan lancar walaupun ada saat-saat ketika beberapa pihak nampak begitu keras kepala. Ah, tapi sudahlah, itu hanya menambahkan cita rasa seni pada sebuah negosiasi. Dari panitia, kami mendapatkan beberapa buku mengenai pariwisata kota ini. Well, for the sake of my personal sentiment,  I hated to see that this city was quite interesting. Lupakan soal mall dan pusat belanja itu, mereka sama di setiap kota. Aku justru takjub melihat di kota ini ada taman botani. Mereka punya taman anggrek, taman burung, taman kupu-kupu, dan bahkan taman kunang-kunang. Taman-taman itu menarik perhatianku, tapi sejak awal aku sudah memutuskan untuk tidak kesana. Tempat seperti itu, dengan tiket masuk khusus orang asing yang harganya 2-3 kali lipat harga tiket untuk pengunjung domestik, harus mendapatkan waktu yang cukup lama. Sekedar numpang lewat tidak akan menghasilkan kesan yang layak, sementara untuk kunjungan pertama aku ingin berkeliling dan mendapatkan nuansa kota ini.

Pagi pertama, langit cerah. Seperti kata supir yang menjemputku di bandara, hujan belum juga turun di Kuala Lumpur. Dari hotel yang aku tempati menuju tempat pertemuan, aku hanya perlu berjalan kaki sekitar 15 menit. Perjalanan berjalan kaki ini yang akhirnya mendominasi kesanku tentang Kuala Lumpur. Disini, para pejalan kaki, mendapat tempat yang layak. Tidak cuma itu, para pria-pria India atau Melayu yang duduk-duduk di pinggir ternyata bukanlah pria-pria usil. Tidak ada siulan-siulan atau panggilan-panggilan yang kadang ingin membuatku ingin melempar sesuatu untuk mengajari pria-pria seperti itu agar lebih sopan. Selanjutnya aku menemukan sikap ini hampir di seluruh daerah perdagangan yang aku kunjungi, walaupun tempat itu nampak kumuh dan tak beraturan. Aku dengan senang hati memasukkan hal ini sebagai poin plus dari Kuala Lumpur.

Di kota ini, aku tidak melihat jalanan berubah menjadi tempat parkir raksasa di pagi hari yang sibuk. Serupa dengan sistem transportasi yang aku temui di Eropa. Bis berjalan hilir mudik sebagaimana seharusnya: berhenti di halte dimana para penumpang juga sudah menunggu disana. Mereka punya MRT sebagai jalur kereta bawah tanah, dan mereka juga punya  LRT, kereta dengan jalur atas. Menuju ke tempat pertemuan, aku melewati sebuah bagian jalan yang sedang digali. Rupanya mereka sedang membuat jalur MRT baru. Oooh, ibu kota kita baru membangun tiang-tiang dan mereka sudah membuat jalur baru. Aku benci menemukan fakta ini, tapi dalam hal transportasi mereka jauh lebih baik.

Hanya saja, taxi di Kuala Lumpur sangat menyusahkan. Mayoritas mereka tidak pakai argo dan harga nya dinaikkan 3 sampai 4 kali lipat tarif normal. Di hari pertama, aku yang sedang diburu waktu agar bisa segera sampai ke kedutaan, harus menjadi korban taksi seperti itu. Hari berikutnya, pihak hotel memanggilkan taxi yang menggunakan argo, mereknya Limo Cab. Supirnya, seorang pria Chinese paruh baya, menjelaskan bahwa taxi itu adalah yang terbaik di Kuala Lumpur, sama seperti Blue Bird di Jakarta. Staf di kedutaan menyarankan agar aku sebaiknya memilih taxi dengan supir Chinese atau Melayu, hindari orang India. Dia sendiri mengakui kalau itu mungkin hanya perkara stereotype pada orang India, tapi demi keamanan, tidak ada salahnya.

Aku mengamati kalau orang India memang seperti warga kelas tiga di negara ini. Entah kenapa. Mereka kebanyakan menjadi pekerja bangunan, supir taksi, pedagang souvernir, atau pelayan restoran. Memang ada yang hidupnya lebih baik, menjadi pejabat misalnya, tapi itupun jumlahnya tidak banyak. Mungkin label warga kelas tiga itu pula yang menciptakan stereotype untuk mereka. Aku tidak melihat pembuktian dari stereotype ini, selain dari supir taksi yang menipuku di hari pertama. Ah, tapi itu pun hanya karena dia melakukan business as usual, yang sayangnya belum ku ketahui waktu itu.

Orang India lainnya, mereka baik dan ramah. Beberapa nampak macho dengan kulit gelap dan matanya yang dalam. Pada akhirnya rombongan kami menjadi dekat dengan orang-orang India yang bekerja di kedai makanan di depan hotel tempat pertemuan. Awalnya, setiap kami sudah selesai makan, mereka akan langsung memberikan bill sebagai tanda agar kami cepat pergi dari sana. Kami tertawa saja meskipun kami merasa diusir. Para wanita akan kembali ke kamar, tapi para pria akan tetap di kedai itu dan mengobrol dengan para supir panitia. Mungkin hanya kami lah peserta meeting yang melewatkan malam dengan supir-supir itu. Oh, let’s give applause to that humble Indonesian men^^ Lama-lama, pria India pelayan restoran membiarkan kami melewatkan berjam-jam di kedainya, mengobrol dari ujung ke ujung. Dia bahkan mulai menanyakan asal kami dan apakah kami akan datang lagi di malam berikutnya. Di malam terakhir kami mengunjungi kedai itu, dia menawarkan layanan delivery service ke hotel kami sebelum besok kami pulang. He was a nice Indian man of Kuala Lumpur.

Pria India kedua yang berinteraksi cukup lama dengan aku adalah supir travel turis di depan hotel. Waktu itu aku sedang menunggu jemputan dan dia sepertinya sedang mencari tahu apakah besok ada pelanggan yang harus ia antar. Kami bercakap-cakap namun dia lebih banyak bercerita. Katanya dia pernah ke Indonesia. Dia juga pernah punya pacar orang Indonesia. Seorang TKWdari Medan. Ketika hari-hari TKW itu libur, dia akan menelepon supir India ini. Lalu mereka akan berkeliling Kuala Lumpur dan mengakhirinya dengan makan bersama di KFC. Tapi setelah 3 tahun dan kontraknya habis, TKW itu pulang dan tidak kembali. Suami dan anak-anaknya menunggunya di Medan.

Lelaki india itu bercerita sambil merokok dengan pandangan jauh. Aku tidak berani menanyakan apakah dia masih mencintai TKW itu. Aku tahu itu akan sangat sulit dijawabSaat kami akan berpisah, dia nampak terkejut ketika aku memberikan mug yang aku dapat sebagai meeting souvenir kepadanya. Soon, I realized, he was a tender Indian man with a sweet smile.

(to be continued...)