19 Sept 2012

Perjalanan Berjalan Kaki

Membaca buku tentang perjalanan selalu membuatku ingin pergi ke suatu tempat. Menikmati menjadi asing. Menikmati menjadi penasaran. Dan menikmati menjadi bahagia karena saat pulang aku tahu aku sudah jadi manusia yang, kurang lebih, berbeda.

Dan beberapa hari kemarin, karena buku perjalanan itu, aku melewatkan halte busway dimana aku seharusnya turun. Jarak dari halte berikutnya ke kantor memang tidak bisa dibilang dekat. Tapi pagi itu, matahari bersinar hangat. Jakarta masih menunjukkan sisi ramah. Waktu juga masih menyediakan ruang untuk aku sekedar menikmati jalanan.

Jadi akhirnya kuputuskan berjalan kaki ke kantor.

Untukku, perjalanan yang dilewatkan dengan berjalan kaki selalu menarik. Seperti semua inderamu merasakan perjalanan itu. Menyesapnya perlahan. Menikmati semua yang hanya bisa terlihat saat kau tidak dalam keadaan bergegas.

Seperti pagi itu. Ada penjual soto ayam yang mendorong gerobak sotonya yang sudah kosong. Rupanya dagangannya habis. Tiba-tiba ada perasaan hangat. Entah kenapa aku merasa bahagia.  Betapa Tuhan memelihara seorang demi seorang dengan ajaib. Mereka mungkin memang tidak memiliki uang sebanyak pria-pria berdasi yang keluar masuk gedung kementerian yang pagi itu juga kulewati. Tapi bahagia hanyalah sejauh hati kita punya perasaan cukup. Dan kecukupan itu ditenun dari rasa syukur. Seperti mensyukuri dagangan yang habis setiap pagi.

Ada kebahagiaan yang berbeda dengan yang kurasakan saat menelusuri trotoar yang lain, di tempat lain, di hari lain. Seperti pagi di Den Haag yang tentu saja jauh lebih sejuk dan tenang dibanding Jakarta. Dengan terbungkus syal dan mantel tebal, pagi awal musim semi yang berangin menyisakan fragmen-fragmen sederhana. Bebek-bebek dengan bulu hitam berkilau yang berenang hilir mudik di sungai kecil di tepi jalan. Atau pucuk-pucuk bunga kuning yang seakan tiba-tiba muncul di rerumputan. Alam berbicara dengan bahasa tanpa kata, menjelaskan banyak detail mempesona.

Perjalanan kemarin juga mengingatkan siang hari sehabis kuliah, berjalan kaki dari kampus ke toko buku dekat pusat kota. Panas Kota Semarang seakan mampu mematangkan telur hanya dengan dijemur. Tapi perjalanan itu seperti identitas. Ada kecintaan pada dunia yang untuknya aku rela kulitku agak sedikit menghitam. Ada ekspresi kemandirian, kalau memang  tidak ada yang mengantar, aku sendiri pun bisa. Hingga aku sadar, jarak adalah sesuatu yang relatif. Tergantung pada kebiasaan dan juga daya tahan.

Hanya dengan berjalan kaki, pada akhirnya banyak yang aku mengerti. Bahwa sering kali untuk menikmati sesuatu yang dibutuhkan hanyalah waktu.




*semoga Kuala Lumpur cukup indah dinikmati dengan berjalan kaki. Minggu depan.