17 Apr 2015

Seperti Nic & Mar

Saat itu kita baru saja turun di tepian utara Sungai Thames. Tujuan kita selanjutnya adalah London Bridge. Sore itu mendung dan berangin. Syalku berkali-kali berkibar diterbangkan angin dan membuatku kerepotan. Baru beberapa langkah, tiba-tiba kau berkata perjalanan kita menjelajah London seperti ini serupa perjalanan Nic & Mar di Paris.

Aku memandangmu keheranan. Selama ini kau tak pernah menunjukkan tanda-tanda mengikuti mini drama itu.

"Habis kalian semua menghebohkan Nic & Mar," kau menjelaskan sambil lalu. "Aku kan jadi penasaran."

Aku tersenyum simpul. Kau memang paling tidak bisa menghadapi rasa penasaran.

"Tapi memang bagus kan dramanya?" tanyaku kemudian. Aku suka sekali mini drama yang sebenarnya adalah strategi promosi sebuah perusahaan layanan sosial percakapan itu. Nic & Mar adalah mantan kekasih, mereka bertemu lagi di Paris setelah sekian tahun dan melakukan perjalanan bersama. Banyak hal-hal kecil yang membuat mereka memikirkan kembali pilihan-pilihan yang dulu pernah mereka ambil.

"Mmm, menurutku Nicholas Saputra tidak seganteng dulu," sahutmu.

Aku menggelengkan kepala tanda tak setuju. "Bagiku dia tetap super ganteng. NicSap itu menurutku berkelas. Kau tahu bagaimana dia mendeskripsikan dirinya di akun twitter?

Kali ini giliranmu yang menggelengkan kepala.

"Full time traveler, part time actor, architect graduate," aku menjelaskan. "Dia adalah pria yang hidup dengan passion, pekerjaan yang menjanjikan dan latar belakang pendidikan yang baik."

"Well, kalau begitu kau harus mengubah profil twittermu seperti dia," balasmu. "Full time traveler, part time student. Karena kau tidak pernah belajar, jalan-jalan saja kerjamu."

Aku terbahak. Tidak pernah sekalipun aku memikirkan hal itu. Mungkin karena kesannya seperti meniru, walaupun itu berarti meniru orang sekeren Nicholas Saputra. Tapi melihat profil orang lain, lalu mengubah profil kita seperti orang itu sungguh tidak keren.

***

Aku tidak ingat berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk sampai ke London Bridge. Yang aku ingat, di tepian itu ada grup pengamen memainkan Nothing's Gonna Change My Love For You. Aku menyuruhmu menebak judul lagu itu dan kau sama sekali tidak ingat. Tapi begitu aku memberitahumu, kau menyanyikan potongan lagu itu di sisa perjalanan kita. Kita juga menemui sekelompok pembuat film yang menenteng-nenteng kamera dan properti lain. Dengan bercanda kau bilang mereka sedang syuting Nic & Mar.

"Bagian yang paling aku suka dari drama itu adalah ketika Nic bilang Mar adalah one of the best traveling partner he ever had," kataku ketika pembicaraan kita kembali kepada Nic & Mar. "Karena tidak semua orang cocok melakukan perjalanan bersama. Mark Twain dulu pernah bilang begini, 'I have found out that there ain't no surer way to find out whether you like people or hate them than to travel with them.'"

"Aku setuju," kau mengganguk. "Kadang kepribadian orang yang sebenarnya baru bisa diketahui setelah menempuh suatu perjalanan panjang bersama-sama."

Lalu aku bercerita tentang salah satu film perjalanan kesukaanku, Before Sunrise, yang kemudian diikuti oleh Before Sunset dan Before Midnight. Film ini mirip seperti Nic & Mar, tentang sepasang anak muda yang melakukan perjalanan keliling kota. Tapi kali ini, settingnya adalah Wina. Selesai mendengar ceritaku, kau menilai Before Sunrise itu tidak masuk akal. Menurutmu berbahaya sekali mengikuti seorang asing di tempat yang asing. Selain itu rasanya tidak mungkin dua orang asing bisa menemukan koneksi karena percakapan yang berlangsung hanya seperjalanan kereta.

Kau bilang kau tidak bisa semudah itu bercakap-cakap dengan orang asing.

***

Sampai di London Bridge tidak banyak yang kita lakukan. Sepertinya kita justru lebih sibuk mengomentari kerangkanya yang dicat biru. Menurut kita, cat warna biru itu tidak selaras dengan nuansa klasik kedua menaranya. Cokelat mungkin akan menghasilkan kesan yang lebih baik.

Lalu malam pun hampir menjelang. Kita memutuskan rehat sejenak di Starbucks. Kau masih saja merasa cukup dengan sebotol air mineral, sementara aku tidak bisa berpindah dari secangkir teh. Dulu kau pernah bilang membuatku bahagia itu mudah, ajak saja aku minum teh di kedai yang cantik atau bawa aku ke toko buku. Untukku bahagia itu memang sesederhana daun-daun teh yang diseduh air panas.

Sore itu, seperti biasa, camomile tea menjadi pilihanku. Kedai kopi mainstream sperti ini tidak punya teh dandelion seperti yang kita temui di Newcastle dulu. Membawa minuman masing-masing, kita duduk di bangku dekat jendela. Dari sana London Bridge terlihat begitu dekat. Aku mengangkat gelasku, menghirup aroma rerumputan yang menenangkan dan berlagak menirukan Mar, "Hey, kau tahu, minum teh itu sebaiknya dengan mata tertutup." Lalu aku menutup mataku.

"Lalu waktu buka mata, aku yang kau lihat..." katamu.

Aku tertawa dan membuka mataku. Dalam mini drama itu Nic menanggapi Mar, yang minum teh sambil menutup mata, dengan mengutip perkataan Andy Warholl, "People should fall in love with their eyes close." Tapi mungkin Mar benar, minum teh dengan mata tertutup saat kita sedih bisa membuat keadaan terasa lebih baik. Teh benar-benar membuat kita merasa lebih bahagia. Untungnya kau tak pernah menolak setiap aku memasukkan agenda minum teh dalam perjalanan kita.

***

Aku tidak tahu apakah kita yang berjalan di London benar-benar seperti Nic & Mar yang berjalan-jalan di Paris. Karena London bukan Paris. Dan kita bukan mereka. Lagipula aku tidak ingat Nic membawakan tas Mar seperti kau membawakan tasku kemarin. Aku juga tidak pernah meminjamimu sarung tangan seperti yang dilakukan Mar untuk Nic.

Tapi, suatu hari nanti, kita akan mewujudkan rencana kita mengunjungi Paris. Aku akan menunjukkan Paris kepadamu. Beberapa tahun yang lalu aku jatuh cinta pada kota itu. Disana aku pertama kali melihat daun-daun kuning kecokelatan di sepanjang jalan dari Charles de Gaulle menuju ke kota. Disana aku juga merasakan butir-butir salju pertama yang turun di atas kepalaku. Disana aku jatuh cinta pada aroma roti di pagi hari, rintik hujan yang lembut khas benua biru dan kelopak-kelopak bunga di jendela.

Mungkin di Paris aku tidak akan menyiapkan bekal makan siang untuk kita seperti yang kulakukan di London. Tapi aku jamin crepe yang dijual di Trocadero tidak akan kalah dengan crepe yang kita makan di Camden Lock Market waktu itu. Di Paris nanti, ganti aku yang akan mentraktirmu makan crepe dan kita bisa duduk menghabiskannya sambil melihat Eiffel yang semakin menua.

Aku yakin kau akan jatuh cinta pada Paris, karena  di tiap sudutnya, Paris berselimutkan sejarah. Aku memang tidak akan menemanimu menjelajah Musee du Louvre, karena aku pernah mengunjungi museum itu dan aku masih ingin melihat lukisan Monet di Musee D'Orsay. Tapi setelah itu, aku akan memenuhi janjiku membawamu ke Montmartre. Tentang Montmartre, sama seperti Mar, aku juga berpikir kawasan itu adalah yang terindah di seluruh Paris. Disana kita akan mencari kebun anggur yang tersembunyi di lembah. Lalu dari pelataran Sacré Coeur, kita bisa berdiri memandang senja yang perlahan menutupi kota.

Saat itu tidak penting lagi apakah kita benar seperti Nic & Mar.