18 Nov 2014

Cerita Tentang Rumput Tetangga

Saya bertemu Matjaz di situs Couchsurfing ketika saya sedang mencari tumpangan di Basel, Switzerland. Dia berbaik hati menawarkan tempat untuk kami, saya dan Adhib, bermalam di flat mungilnya. Pria Slovenia berusia 40 tahun ini tinggal bersama Karmen, pasangannya yang masih berumur 28 tahun, tidak jauh dari SBB Station. 

"How did you guys meet each other?", tanya saya ketika kami menghabiskan waktu di Papa Joe's Bar.

Matjaz tertawa, "Tanyalah pada Karmen. Versinya lebih romantis."

Sayang Karmen tidak lancar berbahasa Inggris. Akhirnya Matjaz menjelaskan dengan singkat, mereka bertemu secara kebetulan, jatuh cinta dan tinggal bersama.


Matjaz dan Karmen ketika mengantar kami menyusuri Sungai Rhine

"Tidak terasa sudah sembilan tahun kami bersama. And we're not married.", begitu kata Matjaz. "Disini tidak ada bedanya menikah maupun tidak."

Saya bilang kepada mereka sembilan tahun bukan waktu yang singkat.

Matjaz menggangguk. "Bagaimana di Indonesia? Apakah kalian diharuskan menikah?"

Lalu mulailah kami berbincang tentang orang tua-orang tua yang menuntut anaknya segera menikah, pertanyaan-pertanyaan 'Kapan menikah?' di pesta-pesta keluarga, dan para lajang yang mulai bosan dengan semua itu.

Tapi jelas, di sebagian besar wilayah Indonesia, ide mengenai pasangan yang tinggal bersama sebelum menikah tidak diterima. 

"Apa yang terjadi kalau ada pasangan yang nekat?", tanya Matjaz lagi.

Saya kontan teringat dengan judul-judul berita di surat kabar, "Pasangan Kumpul Kebo Digerebek Warga." atau "Dipergoki Tinggal Bersama, Pasangan ini Dipaksa Nikah." Akhirnya saya mencoba menjelaskan tentang sanksi sosial yang mungkin terjadi pada pasangan nekat itu. "Our people are very communal. You know, most people mind other's people businesses. It's all about norms." 

"And how about sex? You can't have sex before you get married?", rupanya dia sangat penasaran.

"Memang di kota besar seperti Jakarta, sex without marriage sudah bukan barang langka. But most people in Indonesia will think the opposite way. Bahkan program seperti kampanye Safe sex dengan membagikan kondom gratis bisa menghasilkan demonstrasi besar-besaran dari berbagai ormas. Most of us still think that the safest sex is having it in marriage or having no sex at all."

"Wow, that's hard," seru Matjaz.

Meskipun tidak setuju, saya hanya tertawa. Saya mengambil posisi seperti narasumber yang menjelaskan, bukan meyakinkan bahwa budaya saya lebih baik. Saya hanya memberikan gambaran, bukan membawa lawan bicara saya menuruti jalan pikir saya. Dan saya yakin Matjaz juga mengambil posisi yang sama. Dalam posisi yang kami ambil, perdebatan tidak perlu dilakukan, karena toh kami bicara dalam pondasi yang berbeda.

Tapi bagaimanapun, Matjaz tetap berpikir Indonesia sebagai negara yang cool. "You know, your country is an example of how different people can live together.", katanya saat kami sedang makan pagi. Karmen membuatkan kami pancake lezat dengan selai madu jahe dan selai buah plum bikinan sendiri.

Lalu Matjaz mengambil globenya. Dia mengukur panjang Indonesia dengan jarinya, dan membandingkannya dengan Eropa. "Lihat, negaramu panjangnya setengah benua Eropa! Sangat besar! Dan dengan semua objek yang kamu tunjukkan tadi, some people are indeed luckier."

"Yeah, tapi tetap saja menurut kami Eropa lebih indah, dengan tata kota yang teratur, infrastruktur yang lebih maju, alam yang terpelihara, in my country many people dream to go and even live in Europe."

Benar, rumput tetangga selalu lebih hijau.

Seperti pasangan Nicole dan Alma yang bertamu di malam pertama kami menginap di flat Matjaz. Waktu saya bilang saya suka tinggal di Eropa karena semuanya begitu teratur, Nicole justru bilang, "Iya, disini memang lebih teratur, tapi bukankah itu membosankan?"

Glek.

Mereka sempat tinggal di Bangkok dan begitu terpukau dengan masyarakatnya, terutama pada respon mereka terhadap macet. "Bagaimana bisa mereka semua tetap kalem ketika mobil sama sekali tidak bergerak selama dua jam? They just accept it. Living in Asia is like Zen."

Oh, the same thing happens in Jakarta, batinku. We can't do anything but accept.

Saya jadi berpikir, kalimat "Belajarlah dari orang asing, mereka begitu mencintai Indonesia. Kok kita sendiri tidak?" tidak sepenuhnya benar. Mereka sebenarnya sama saja dengan kita - atau at least, saya - manusia yang melihat rumput tetangga selalu lebih hijau.

Entahlah, saya cinta Indonesia, tapi ide tentang Eropa selalu membuat saya tergugah. Tapi bukankah memang selalu begitu? Seperti Lucy yang memandang negeri di balik lemari sangat menggoda, sampai-sampai dia nekat masuk dan menemukan Narnia. Tapi, bukankah pada akhirnya Lucy tetap pulang?

Saya merasa beruntung setiap belahan dunia ini begitu berbeda, kalau tidak, seperti kata Nicole, pasti sangat membosankan.