14 Dec 2012

Kupang : Jejak Alam dan Para Nelayan

Berada di Kupang untuk urusan pekerjaan, tidak memberi banyak kesempatan untuk mengeksplorasi kota ini. Tapi, bahkan sebelum saya sampai kesana, Kupang sudah seperti sesuatu yang akrab. Lalu ketika saya membuat langkah pertama di bandara El Tari, ingatan saya justru melayang ke Melbourne, Australia. Membayangkan sahabat saya, Wawan, sedang tidur siang di Victoria Park, bersantai di antara tuntutan pendidikan pasca sarjana.

Wawan adalah anak Kupang asli. Nama lengkapnya Wanry Wabang. Dulu, salah satu widya iswara di kelas diklat kami dengan semena-mena memanggilnya Yoseph. Entah kenapa. Lalu, entah dari mana, tiba-tiba muncul pula label Muhammad yang dilekatkan pada namanya. Sejak masa diklat itu, secara informal, namanya berubah menjadi Muhammad Yoseph Wanry Wabang. Seakan belum cukup  aniaya pada namanya, kami memanggilnya Wawan. Mereka yang hanya mendengar panggilannya, akan mengira dia orang Jawa. Nyatanya, Wawan memiliki perawakan khas pria Indonesia Timur: kulit gelap, rambut keriting, mata yang dalam dan suara yang merdu.



Bertiga dengan Inesz, saya dan Wawan adalah rekan senasib dan seperjuangan di tengah tuntutan pekerjaan yang kadang kami anggap tidak masuk akal. Ketika Wawan melanjutkan kuliah ke Melbourne, saya dan Inesz  kerap makan siang hanya berdua sambil membicarakannya. Dulu, kami bertiga pernah merencanakan liburan ke Kupang. Tapi, dengan kesibukan dan harga tiket yang lumayan, semuanya masih jadi agenda.

Mungkin persahabatan dengan Wawan lah yang membuat saya merasa dekat dengan Kupang.

Pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara El Tari tepat setelah hujan  berhenti. Udara cukup sejuk dengan mendung yang masih menggantung. Saya beruntung karena hujan membuat suhu udara menjadi bersahabat. Dalam perjalanan menuju ke hotel, sekali lagi saya merasa beruntung karena mengunjungi Kupang di bulan Desember.

Saya suka pohon. Buat saya pepohonan adalah salah satu prasyarat agar sebuah tempat layak disebut menyenangkan. Menurut Inesz dan Wawan, kalau saya masuk ke dunia dongeng, maka saya akan menjadi peri pohon. Dan di bulan Desember, di Kupang, saya menemukan pohon yang mungkin nanti kalau saya punya rumah dengan pekarangan yang luas, saya akan menanamnya di halaman. Supir kami menerangkan kalau pohon itu bernama  Sepe, tapi bagi saya pohon itu bernama Desember.


Jika kita datang ke Kupang bukan pada bulan Desember, mungkin kita tidak akan bisa membedakan pohon itu dengan pohon yang lain. Batang kayu kecoklatan dengan ranting dan dedaunan rimbun. Biasa saja. Tapi di bulan Desember pohon itu akan berbunga. Tiba-tiba, pohon itu seperti mengenakan banyak hiasan berwarna merah.  Rupanya, bersama mayoritas penduduk kota Kupang, pohon Sepe ini juga merayakan Natal.


Sewajarnya kota yang berada di tepi pantai, Kupang menawarkan pemandangan yang memanjakan mata. Bahkan dari kamar hotel saya, pemandangan pantai juga terlihat di jendela. Tiba-tiba saya ingin tertawa karena teringat Wawan yang tidak bisa berenang. Mungkin masa kecilnya dihabiskan dengan menyanyi di tepi pantai.

Kami sempat mengunjungi Pantai Lasiana. Disana kami bertemu sepasang suami istri yang sedang berjongkok mengamati sebuah baskom berisi air laut. Si istri nampak sibuk mengambil air dari baskom dengan mangkuk kecil, lalu memindahkannya ke ember di sebelahnya. Sementara itu tidak lama kemudian, si suami kembali ke laut, berjalan hingga kedalaman tertentu, sambil membawa alat entah apa namanya, terbuat dari dua bilah bambu dengan jala dan kain-kain.


Ternyata mereka sedang mencari bibit ikan bandeng. Dengan alatnya, si suami akan menampung air laut pada sebuah tabung dari kain dan menuangnya ke dalam baskom si istri. Setelah itu, dengan ketelitian dan mata yang awas, si istri akan mencari bibit ikan bandeng dari air yang diberikan sang suami. Dia menunjukkan kepada kami bibit ikan bandeng itu, warnanya hampir transparan seperti warna air laut. Lembut dan kecil. Saya tidak menyangka bandeng yang biasa saya makan itu berasal dari sesuatu yang rapuh seperti ini.

Dia bilang bibit-bibit ikan bandeng itu akan ia jual.

Ketika si suami kembali sambil membawa pasokan air laut yang baru, saya baru sadar kalau kulitnya kehitaman, sedangkan si istri pipinya kemerahan. Kontan saya teringat dengan petani-petani sayuran di lereng Gunung Merbabu dekat kota saya. Sepertinya mereka yang hidup menggantungkan diri dari alam akan selalu punya tanda yang sama. Jejak matahari pada kulit para lelaki dan jejak angin pada pipi para wanita.



Pantai Lasian, dan pantai-pantai lain di Kupang adalah pantai sederhana dengan orang-orang yang juga sederhana. Sesederhana persahabatan para nelayan dengan alam, musim dan cuaca. Menerima apa adanya. Memang ada beberapa penjual kelapa muda, tapi kedai-kedai itu tidak serta merta membuat pantai di Kupang menjadi turistik. Buat saya itu nilai tambah. Untuk seorang penyendiri seperti saya, kesunyian pantai di Kupang justru melegakan.

Seorang teman saya yang juga pernah berkunjung ke Kupang menganggap Kupang gersang. Tapi di mata saya, hampatan tanah kosoh dengan batu-batu karang itu menjelaskan lebih. Dari tempat gersang itu, seorang fotografer yang handal bisa menghasilkan foto tentang kekuatan untuk bertahan. Dari tempat gersang itu, seorang penulis dengan imajinasi tak terbatas bisa bercerita bagaimana bumi ini sudah begitu tua. Mungkin dulu laut lebarnya hingga ke tempat yang sekarang adalah daratan.

Kami berkeliling kota Kupang dengan mobil. Melewati kompleks gua monyet yang adalah perpaduan gua-gua karang, rimbun pepohonan dan puluhan monyet yang tinggal di dalamnya. Dari bagian atas kota Kupang, lampu-lampu kapal terlihat di kejauhan. Namun jalanan gelap, tidak semua jalan di kota ini punya penerangan. Kami melewati kedai-kedai ikan yang juga menyediakan tempat pembakaran.

Di salah satu kedai ikan bakar, kami bertemu dua turis Italia yang menempuh perjalanan dari kota kecil dekat Verona menuju Sidney, tanpa pesawat terbang. Setelah melewati banyak negara lewat darat dan laut, mereka baru menggunakan pesawat dari Denpasar menuju Kupang. Kata mereka, keesokan harinya mereka akan menuju Pulau Rote dan mengakhiri petualangannya di Sidney.

Salah satu dari mereka adalah fotografer perjalanan dengan spesialisasi foto manusia, bukan pemandangan. Mendengar ceritanya aku menarik pelajaran. Mungkin itu yang menarik di tempat seperti Kupang dan bahkan seharusnya di semua tempat lain. Manusianya. Penduduknya. Bukan cuma alam, pemandangan dan makanan. Seharusnya sebuah perjalanan tidak membuat kita lupa mengenal masyarakatnya. Masyarakat yang menghasilkan apa yang kita sebut budaya dan semua produknya. Pengenalan yang niscaya membuat kita lebih kaya dan bijaksana.




#Masih enam bulan sebelum Wawan pulang ke Indonesia...