17 Aug 2016

Rasa Syukur Ini Karena Bersamamu

Kalau aku merindukanmu nanti, aku akan mengingat sore saat kita duduk di atas karang, memandang ke lautan. Langit kelabu, tapi hujan sudah berhenti, bahkan gerimis pun sudah tak lagi turun. Pantai Tanjung Tinggi terlihat tenang dan teduh. Batu-batu granit di sekeliling kita nampak begitu pendiam. Kita hanya mendengar deru ombak dan pekik camar yang sesekali.

Ini sore terakhir kita di pulau ini. Dan kita sudah melihat banyak, termasuk melihat bagaimana pulau ini terluka karena anak-anak mudanya kehilangan mimpi. 

Sore itu aku menyadari satu hal: betapa kita sudah begitu saling terbiasa. Kesunyianmu tak lagi meresahkanku, dan langkahku yang kadang tak terencana menjadi wajar bagimu.

Sunguh, bagi kita, bersama saja sudah cukup.

Cukup.

Walaupun hanya duduk di bawah pepohonan di tepi pantai, di warung sederhana yang menjual es kelapa muda. Kita hanya sekilas-sekilas saja bercakap. Kau lebih banyak membaca sementara aku berbaring sambil memejamkan mata. Waktu itu hujan belum turun. Matahari tepat berada di atas kepala dan panasnya terasa menyengat. Kadang aku meninggalkanmu, sendiri berjalan ke pantai, sambil menyenandungkan lagu yang tadi kita nyanyikan sepanjang perjalanan.

Walau makan susah/ Walau hidup susah / Walau ‘tuk senyumpun susah
Rasa syukur ini karena bersamamu juga susah dilupakan

Apa itu namanya? Ketika bersama seseorang sudah cukup menjadi alasan untuk rasa syukur? 

Begitu sederhana, begitu bahagia....


***

Kau selesai membaca bukumu selepas hujan turun. Kita beranjak menuju ke pantai, berjalan di tepiannya, membuat jejak kaki di atas pasir yang sebentar lenyap terhempas ombak. Sore itu, kadang kita berjalan ke arah yang berbeda, menunduk memandang kaki kita sendiri, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi selalu ada waktu kita tertawa bersama, entah menertawakan tiga ekor anjing yang sok sibuk, sampai menebak-nebak bentuk batu karang.

"Coba cari kura-kura berkepala dua!" kataku.

Kau memandang berkeliling. "Mana ada?" sahutmu. Aku hanya menaik-naikkan alis, sampai akhirnya kau menyerah. Aku menunjuk ke karang di sebelah kanan kita. "Ah, iya, memang seperti kura-kura berkepala dua..." katamu.

Di pantai Tanjung Tinggi, waktu berlalu tanpa terasa. Angin bertiup semakin kencang ketika kita akhirnya duduk di atas karang. Mendung tak juga tersibak. Ia berkeras hati menyembunyikan matahari yang sedang beranjak tenggelam. Tapi kita masih saja memandang ke cakrawala. Pantai semakin sunyi dan teduh. Sore itu kau bercerita tentang buku-buku biografi yang kau baca, tentang Hatta, tentang Habibie, tentang Soekarno.

"Yang paling aku tidak habis pikir adalah Soekarno. Bagaimana mungkin dia melamar istri orang, disaat dia belum jadi siapa-siapa. Dia cuma anak kos! Dan dia melamar istri Bapak kosnya, langsung kepada si Bapak kos itu. Gila!"

"Yang lebih gila adalah si Bapak kos itu," kataku. "Kenapa dia tidak mempertahankan istrinya? Jangan-jangan dia memang sudah tidak menginginkan istrinya itu."

Melewatkan waktu denganmu selalu seperti ini, potongan-potongan percakapan yang entah datang dari mana. Begitu acak, begitu menyenangkan.

***

Beberapa bulan lagi, mungkin aku akan berada tepi sebuah pantai yang jauh. Ada rindu yang dibawa buih-buih ombak. Waktu itu, aku akan mengingat puisi yang kau bacakan untukku sore itu, ketika matahari masih begitu terik di Pantai Tanjung Tinggi. Puisi dari Ikal untuk Aling, yang kau bacakan dengan menyebut namaku.

"Gadis Musim Semi, lihatlah ke langit. Jauh tinggi di angkasa. Awan-awan putih yang berarak itu. Aku mengirim bunga-bunga krisan itu untukmu..."

Dan di tepi pantai manapun itu, hatiku pasti dipenuhi rasa syukur.





No comments:

Post a Comment