28 Aug 2016

Jogja Versi Kita

Sejak akhir tahun lalu, aku tidak akan bisa mengingat Jogja tanpa aku juga mengingatmu. Kamu, dan perjalanan kita.

Akhir-akhir ini Jogja kembali diingat karena, setelah 14 tahun, Rangga dan Cinta bertemu disana. Pasangan itu sepertinya sudah berubah legendaris seperti Galih dan Ratna atau Jesse dan Celine. Mereka jatuh cinta saat SMA, bersama puisi-puisi dan lagu-lagu masa muda, sampai ketakutan Rangga memisahkan mereka. Lalu, dalam semalam, perjalanan mereka di Jogja mengembalikan kembali segala perasaan. Atau, memang karena sebenarnya perasaan itu tidak pernah hilang, tak peduli jarak New York - Jakarta, tak peduli jarak musim antara perpisahan dan pertemuan.

Mengikuti Rangga dan Cinta, orang-orang kembali ke Jogja. Mereka pergi ke Keraton Ratu Boko, minum kopi di Klinik Kopi, makan di warung Sate Klathak Pak Bari, dan melihat matahari terbit di Puthuk Setumbu. 

Tapi kita punya Jogja versi kita sendiri.

Jogja versi kita adalah tentang perjalanan bersamamu yang tak selalu mudah. Apalagi Jogja adalah bagian dari sebuah perjalanan panjang. Saat kau lelah, kau  tak mudah diajak bicara. Tapi, berjalan bersamaku juga tak selalu menyenangkan. Aku sering kehilangan kesabaran dan berakhir marah-marah. Kau seperti tak peduli dan aku menjadi begitu rumit.

Tapi dulu kau pernah berkata, "Kita berangkat bersama, pulang pun bersama."

***

Kita sama-sama pernah ke Jogja. Kota ini punya banyak sudut untuk dijelajahi. Aku begitu ingin melihat matahari terbit di Puthuk Setumbu atau mengunjungi pantai-pantai indah di Gunung Kidul, tapi menurutmu itu terlalu jauh, waktu terlalu sempit, dan kita terlalu lelah. Bahkan, di Jogja, kau beberapa kali memilih pergi dengan taksi, meskipun kau tahu aku lebih suka naik angkutan umum atau berjalan kaki.

Pada akhirnya kita menikmati Jogja tanpa ambisi. Di kota ini, kita meninggalkan apa yang sering dimuat di buku panduan wisata: daftar harus dikunjungi dan harus dilakukan. Tapi bukankah Jogja memang lebih baik dinikmati tanpa menjadikannya beban di hati?

Kota ini bergelak pelan, demikian pula kita. Siang hari begitu menyengat, berjalan-jalan ke Malioboro bukan pilihan terbaik. Kau lugas menolak ajakanku pergi ke pasar Beringharjo untuk melihat-lihat kain batik. Kau juga tidak tertarik dengan kampung-kampung tua seperti Petandan atau Kota Gede. Akhirnya kita memutuskan menghabiskan waktu di Keraton Jogja. Kau menikmati waktumu disana melihat silsilah raja-raja Jawa. Foto-foto kusam mereka tergantung di dinding, menciptakan suasana yang membuat para pengunjung merasa segan. Teman kita, yang bekerja dekat dengan lingkungan keraton, bercerita tentang seorang raja yang memilih tidak memiliki permaisuri karena cinta sejatinya justru memilih orang lain. Sementara itu, aku mengamati para abdi dalem berjalan hilir mudik. Mereka ini, manusia-manusia yang menemukan arti hidupnya dari mengabdikan diri. Menjadi sederhana, bukan berarti tidak bahagia, persis seperti kota ini.

Jogja adalah kumpulan hal-hal sederhana yang meninggalkan perasaan tak terjelaskan.

Sesederhana duduk melewatkan malam, di atas tikar yang dibentangkan pada trotoar sisi selatan stasiun Tugu. Kau sengaja memilih tempat ini karena konon disana ada angkringan paling tua yang menjual kopi jos, kopi tubruk yang disajikan dengan gelas belimbing, sebutir arang membara dicemplungkan ke dalamnya. Angkringan yang kau maksud bernama Angkringan Lik Man. Disana, kita tidak banyak bercakap. Sesekali kau menggodaku dengan gurauan menyebalkan yang tidak lucu. Butuh satu atau dua bentakan dariku agar kau berhenti. Kita menyibukkan diri makan gorengan, dan kau membiarkanku mencicipi kopimu, bahkan sebelum kau meminumnya. Lalu, entah untuk kali keberapa, kau mengatakan kau  bukan peminum kopi. Kau hanya ingin tahu apakah rasa kopi dengan arang itu benar-benar berbeda. Ternyata bagimu rasanya sama saja, dan bagiku, rasa kopi itu seperti yang dulu sering kucicipi dari gelas Bapak.

Malam itu, meskipun lelah, kau mengikuti kemauanku agar kita kembali ke hostel dengan berjalan kaki.

Mungkin ada yang pernah mengatakan kau egois, tapi denganku kau suka mengalah. Pasti tidak mudah. Kau tidak terbiasa berkompromi untuk orang lain. Sama tidak mudah bagiku, yang terbiasa mengatur hidupku sendiri, mengikuti keputusan-keputusanmu. Tapi kenyataannya, aku bisa menurut dan kau tak keberatan mengalah.

Seperti ketika kau mengikuti kemauanku untuk mengunjungi Lir Space, sebuah kafe di kawasan Baciro, Gondokusuman. Agak sulit mencari tempat itu karena letaknya di tengah perkampungan. Hujan turun tepat saat kita sampai disana. Deras sekali. Kau tertawa begitu langkahmu sampai ke depan pintu dan melihat rak buku besar di dalam. "Seharusnya aku sudah mengira kau akan membawaku ke tempat seperti ini," katamu sambil memasuki ruangan dan menghempaskan badan ke atas sofa.

Bagiku, Lir Space adalah tempat yang menyenangkan. Kau membiarkan aku menikmati waktu bersama buku-buku dan melihat pameran seni kecil-kecilan. Kau membaca Donal Bebek, minum es teh manis, mendengar suara hujan dan menikmati suasana rumah tua. Tidak lama, aku menangkap kegelisahanmu. Duduk-duduk di kafe seperti ini bukan gayamu. Kau mudah bosan, dan bosan adalah pemicu terbaik untuk melakukan hal-hal menyebalkan padaku, yang berakibat pada dua kemungkinan: kemarahan atau ketidakpedulianku. Sore itu aku memilih tidak peduli. Dan kau masih saja bosan.

Kita berdua memang orang-orang yang sulit.

Bahkan melihat-lihat lukisan maestro seperti Affandi pun tidak membuat kita menjadi lebih menyenangkan. Padahal, Museum Affandi itu begitu menakjubkan. Ada tiga galeri yang memamerkan lebih dari tiga ratus lukisan milik Affandi maupun anak-anaknya. Kita bertemu seorang penjaga yang masih saudara dekat Affandi sendiri. Dia menceritakan kisah hidup Affandi, juga cerita di balik beberapa lukisan. Aku begitu menyukai lukisan Place de Tertre yang mengingatkanku pada Montmartre yang kurindukan. Kau sendiri begitu ribut memintaku mengomentari lukisan wanita telanjang yang tak lain adalah istri Affandi. Tak terhitung banyaknya aku harus melemparkan pandangan tajam agar kau berhenti bertingkah. Aku lelah, dan aku sedang tidak bisa diajak bercanda.

Perjalanan memang tidak selalu mudah. Kadang rasanya seperti berjalan diantara kerumunan orang yang menyusuri Jalan Malioboro saat hari panas. Di waktu-waktu tertentu, keadaan bisa sama menyebalkannya dengan tukang becak yang berisik membunyikan belnya sambil berteriak-teriak. Tapi kita belajar untuk tahu diri, setelah Jogja masih ada perjalanan ke satu kota lagi.

*** 

Kita menonton sekuel Ada Apa Dengan Cinta tepat di hari pertama pemutarannya. Ada kenangan tentang Jogja yang muncul tiba-tiba. Ketika layar bioskop memutar adegan Rangga dan Cinta melihat matahari terbit di Puthuk Setumbu, di sebelahku kau bertanya, "Kenapa waktu itu kita tidak kesana?"

"Bukankah waktu itu kau tidak mau?" sahutku, dan kau tidak berkata apa-apa lagi.

Tapi memang lebih baik kita tidak menempuh rute yang sama seperti Rangga dan Cinta. Kita memiliki Jogja versi kita sendiri. Dan aku mengenang Jogja versi kita seperti ini: tentang kau, aku, dan keinginan-keinginan kita yang keras kepala, tentang menikmati ketidaknyamanan namun tetap bersama, tentang kita yang belajar berkompromi dan bertahan sampai akhir perjalanan.


1 comment:

  1. Jogja emang gitu, selalu melekat di hati, bersama kenangan dengan sang mantan. manis tapi cukup menyakitkan, eaaaak

    ReplyDelete