Teman saya bilang, Chiang Mai adalah kota yang diterangi cahaya lentera. Saya datang ke Chiang Mai dengan harapan akan menyaksikan lentera-lentera bersinar. Tapi ternyata, lentera hanya ada saat perayaan. Di hari biasa, Chiang Mai adalah tipikal kota-kota di Asia Tenggara: pedagang kaki lima yang merebut tempat pejalan kaki, pengendara motor tanpa helm, juga kabel-kabel listrik yang dipasang rendah dan carut cengkarut. Saya beranggapan kabel-kabel itu benar-benar merusak pemandangan. Begitu rendah posisinya, sampai-sampai ada yang menjuntai begitu saja di depan jendela lantai dua. Siapapun yang memasangnya, sepertinya dia tidak punya selera.
Tapi tentang kabel-kabel listrik itu, ada yang menarik.
Pernah saya melintas di salah satu jalan utama menuju keramaian Night Bazaar. Tiba-tiba di persimpangan saya mendengar suara kicauan burung. Riuh sekali. Yang mengherankan, di jalan itu tidak ada satupun pedagang burung. Bunyi lampu lalu lintas saat berubah merah pun bukan itu.
Saya terus berjalan sambil bertanya-tanya. Selang beberapa waktu saya baru menyadari gumpalan-gumpalan hitam bertengger di bentangan kabel-kabel listrik. Gumpalan yang ternyata adalah burung-burung, jumlahnya puluhan, bahkan sepertinya ratusan. Pepohonan yang jumlahnya terbatas di Chiangmai, rupanya memaksa burung-burung itu memanfaatkan kabel-kabel sebagai tempat beristirahat. Di malam hari, burung-burung itu menghadiahi Chiangmai dengan kicauan. Mungkin hadiah itu khusus untuk mereka yang baru mulai bekerja, seakan malam adalah pagi: pedagang-pedagang di jalanan, pegawai Thai massage yang kena shift malam, atau bahkan para ladyboy semampai di tempat karaoke yang gemerlap.
Ternyata apa yang kelihatannya buruk, tidak selalu benar-benar buruk.
Chiangmai pun begitu.
Sungai Ping seperti sungai di kampung saya. Kotanya pun tidak megah atau artistik. Beberapa tempat bahkan nampak kumuh dan gersang. Pasarnya tipikal pasar oleh-oleh yang menjual buah tangan murah meriah. Tapi, ternyata cukup satu perjalanan ke balik tembok kota tua, saya menemukan pesona Chiang Mai yang sebenarnya.
Berawal dari Tha Phae Gate, pintu gerbang kota tua, saya menyusuri jalan-jalan sempit dengan deretan hostel, kafe, restoran dan toko cinderamata di kanan kirinya. Turis-turis kaukasia berjalan hilir mudik dengan kaca mata hitam dan kulit cokelat diterpa matahari. Tapi, di tengah keriuhan itu, saya juga menemukan banyak Wat, tempat peribadatan kepada Sang Buddha. Jarak dari satu Wat ke Wat yang lain hanya beberapa meter.
Seperti Indomaret, pikir saya.
Entah ada berapa Wat yang saya kunjungi. Yang saya ingat, Wat Chedi Luang Worawawihan adalah yang paling besar. Sama-sama didominasi warna keemasan, tetap saja setiap Wat meninggalkan kesan berbeda. Beberapa terasa sangat tradisional, beberapa lucu, beberapa romantis. Bisa saja setiap orang di kota ini memiliki Wat favoritnya masing-masing. Para orang tua mungkin akan berdoa di Wat Chedi dan menghabiskan berjam-jam untuk bercakap dengan para biksu. Generasi yang lebih muda bisa saja lebih senang pergi Wat Phakao karena ada kafe dan taman bunga. Bahkan, ada pula Wat dengan patung Donal Bebek di pelatarannya. Entah apa yang dilakukan si Donal di pelataran itu.
Menyusuri kota tua yang penuh tempat pemujaan ini, bisa saja Tiga Raja, yang monumennya sempat saya kunjungi, dulunya memang merancang Chiangmai menjadi kota yang menenangkan jiwa. Kalau sekarang Chiangmai berubah riuh, tentu sama karena jaman memang sudah berubah. Tapi diantara gemerlap kafe-kafe, Wat-Wat ini seperti menawarkan tempat beristirahat, untuk sekedar menikmati ketenangan, atau duduk bersama para biksu di salah satu sudut dan bercakap tentang kehidupan.
Chiangmai ini unik sekali.
Lalu dalam perjalanan pulang, lagi-lagi saya berpikir: seperti Chiangmai, apa yang kita anggap buruk, bisa saja tidak benar-benar buruk. Mungkin kita hanya belum mendengar kicauan burung di antara kabel yang silang menyilang. Sama halnya kita tidak menaruh perhatian pada hal menyenangkan yang terjadi di tengah kerumitan hidup. Atau mungkin kita belum sempat menjelajah kawasan kota tua. Mungkin ada gerbang yang memang terlebih dulu harus ditemukan. Mungkin ada tempat semacam Wat yang harus kita datangi. Sama halnya kita selama ini sibuk pada banyak hal yang tidak sesuai harapan, lalu melupakan tempat-tempat dimana kita menemukan ketenangan, dan bahkan jawaban. Bisa saja tempat itu ada pada pelukan orang-orang tercinta, atau pada permohonan yang dinaikkan ke Angkasa.
Saya tidak menemukan lentera-lentera yang saya cari, tapi saya merasa perjalanan ke Chiangmai kemarin adalah perjalanan yang indah. Dan sore itu senja yang saya lihat dari atas pesawat, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, juga sangat indah.
No comments:
Post a Comment