Aku menyiapkan hatiku untuk ratusan purnama saat kita tak bisa bersua. Waktu itu rautmu akan serupa bayang-bayang yang setia menemaniku berjalan. Entah kemana nanti kehidupan membawaku pergi.
Karena aku sungguh tak bisa menjawab pertanyaanmu tentang kemana.
“Bisa kemana saja,” jawabku waktu itu.
Mungkin ke tempat orang-orang bermata kecil yang tinggal di antara rumpun-rumpun bambu. Dulu aku suka membaca puisi-puisi yang dikirim dari tempat itu. Puisi-puisi tentang puncak gunung dan sungai mutiara.
Bisa juga ke tempat semarak penuh warna yang orang-orangnya suka menari salsa. Disana matahari bersinar sepanjang tahun seakan setiap hari adalah pesta.
Tapi semoga hidup berbaik hati mengijinkanku kembali pada daun-daun gugur dan rintik hujan yang lembut. Disana ada mimpi masa kecil yang waktu itu aku ceritakan. Tentang kue rempah yang diminum saat minum teh dan pasangan-pasangan yang jatuh cinta.
“Kapan kau berangkat?” tanyamu kemarin. Dan aku masih tidak bisa menjawab.
Hanya saja, saat ini aku memang sedang menyiapkan hatiku untuk sebuah jarak setelah tangan kita selesai dilambaikan. Mungkin waktu itu aku akan menangis, tapi mungkin juga tidak. Karena kamu yang tidak pernah memintaku tinggal adalah sebuah kebahagiaan.
Berjanjilah padaku, nanti ketika aku akan lenyap ke balik ruang tunggu, sebelum pesawat yang akan membawaku menderu dan berlalu, kamu akan melepasku sambil tersenyum. Waktu itu aku akan membiarkanmu menggengam tanganku, meski aku pasti sedang sibuk menguatkan hati dan langkahku.
No comments:
Post a Comment