Dear Vincent,
Tentu kau tidak akan pernah membaca surat ini. Bahkan jika waktu itu kau tidak memutuskan untuk menembakkan pistol itu ke bagian atas perutmu, tetap saja kau tidak akan pernah membaca surat ini. Kita memang hidup di dua masa yang terpisah begitu lebar dengan banyak peristiwa diantaranya. Tapi, aku tetap saja ingin menulis surat untukmu.
Jujur saja, meskipun kau masuk dalam daftar pelukis favoritku, namamu tidak berada di urutan pertama. Untuk seorang awam sepertiku, lukisan-lukisan Claude Monet rasanya lebih menyentuh. Mungkin karena kesannya lebih lembut dan romantis, sementara lukisanmu kadang misterius dan sedih. Tapi Vincent, aku selalu ingin mengenalmu lebih dari aku ingin mengenal Monet. Entah kenapa. Mungkin karena kau terlihat eksentrik dengan topi jerami dan pipa itu, mungkin karena kau memotong telingamu sendiri, atau mungkin karena kau bilang kau bunuh diri.
Kau memang tidak mengenalku, Vincent. Tapi kau perlu tahu, di masaku ini, setiap orang yang jatuh cinta dengan lukisan tahu siapa kau. Meskipun begitu, aku tidak mengenalmu dari galeri seni. Aku justru pertama kali mendengar namamu dari dari Josh Groban. Lagu-lagu pemuda bersuara bariton ini banyak mengisi hari-hariku ketika aku berusia belasan. Dia menyanyikan satu lagu lama yang kemudian menjadi salah satu kesukaanku. Judul lagu itu seperti namamu, dan lagu itu juga menyebut-nyebut salah satu lukisanmu, lukisan tentang bintang-bintang yang dulu kau lukis di asilum St. Paul, jauh di pelosok St. Remy-de-Provence, Perancis. Dari semua lukisanmu, aku paling suka dengan lukisan itu.
Jadi sebelum aku berangkat ke Eropa, aku sudah memutuskan aku harus kembali ke Amsterdam dan mengunjungi museum yang menyandang namamu. Ini adalah harapan no. 8 di daftar bucket list yang pernah kubuat.
Akhirnya awal tahun lalu aku bisa mengunjungi tempat itu dan masuk lebih dalam ke hidupmu. 'Vincent, mengapa kau memutuskan mati?' adalah pertanyaan yang aku bawa ketika aku memasuki museum yang terletak di Paulus Potterstraat 7, Amsterdam, itu. Kau yang melukis keindahan ladang gandum, rangkaian bunga matahari dan ranting-ranting almond blossom pasti mengerti bahwa dunia ini tidak separah kelihatannya. Tapi hidupmu mungkin memang berat. Kau banyak melukis tapi sepanjang hidupmu hanya ada satu lukisan yang terjual. Kau juga mungkin merasa menjadi benalu karena hidup bergantung pada adikmu. Entahlah, Vincent. Kadang aku merasa aku terlalu naif memandang dunia ini.
Tentang karyamu, di museum ini aku tidak menemukan The Starry Night yang menjadi kesukaanku. Karyamu yang satu itu berada di kota, yang menurut Frank Sinatra, tidak pernah tertidur. Ya, dia ada di New York, Amerika Serikat. Pernahkah kau membayangkan lukisanmu akan melakukan perjalanan ke tempat sejauh itu? Menurutku tidak. Kau tahu, aku belum pernah mengunjungi kota itu dan sebelumnya aku tidak punya alasan untuk kesana. Tapi untuk melihat lukisanmu itu, aku pikir aku perlu menginjakkan kaki di kota itu suatu hari nanti.
Tapi bahkan tanpa melihat The Starry Night, rumah karyamu di Amsterdam itu sangat menarik. Aku membutuhkan waktu tiga jam lebih untuk menikmati setiap lukisan, membaca setiap keterangan dan merenungi semuanya.
Di lantai pertama aku dikejutkan dengan lukisan-lukisanmu yang cenderung gelap. Aku tidak tahu apapun tentang teknik melukis, walaupun aku tahu aku penggemar aliran impresionis dan pasca impresionis. Aku tidak begitu mengerti tentang permainan cahaya atau bayangan atau sapuan kuas. Aku hanya merasakan warna dan tema. Aku merasakan cerita yang ada di dalamnya. Tapi sungguh, Vincent, melihat lukisanmu yang berubah, aku tahu dirimu juga berubah. Paris mengubahmu, memberi warna dan cerita-cerita baru pada kanvasmu. Bahkan kelemahan jiwamu juga memberi ruang pada ekspresi-ekspresi baru di karya-karyamu.
Aku tahu, pada akhirnya ini adalah tentang melakukan apa yang kau benar-benar kau sukai.
Tapi, Vincent, mengapa kau memutuskan mati?
Karena ketika aku membaca surat-suratmu untuk ayah, ibu dan kakak-kakakmu, aku menemukan pria yang perhatian dan lembut hati. Mereka masih memiliki manuskrip surat-suratmu itu. Kau menulis surat secara berkala, kadang dalam bahasa Perancis kadang bahasa Belanda. Kau menceritakan hari-harimu di Perancis, apa yang kau lihat, apa yang kau rasa. Aku suka pilihan katamu, Vincent. Tahukan kau kalau kau sangat deskriptif? Mungkin karena ini pula kau bisa membuat lukisan yang begitu kaya.
Jadi, sekali lagi, mengapa kau memutuskan mati? Dan mengapa kau membawa misteri kematianmu itu sampai ke dalam kubur?
Karena, tahukah kau, ada anggapan saat itu kau tidak bunuh diri. Orang bilang, ada segerombolan anak-anak yang bermain dengan pistol dan tanpa sengaja menarik pelatuknya hingga pelurunya menembus tubuhmu. Kau terlalu lembut hati untuk membiarkan anak-anak itu menjadi penyebab kematianmu.
Jadi, karena itukah kau memutuskan mati? Untuk membawa rahasiamu sendiri?
Tentu kau tidak akan pernah membaca surat ini. Bahkan jika waktu itu kau tidak memutuskan untuk menembakkan pistol itu ke bagian atas perutmu, tetap saja kau tidak akan pernah membaca surat ini. Kita memang hidup di dua masa yang terpisah begitu lebar dengan banyak peristiwa diantaranya. Tapi, aku tetap saja ingin menulis surat untukmu.
Jujur saja, meskipun kau masuk dalam daftar pelukis favoritku, namamu tidak berada di urutan pertama. Untuk seorang awam sepertiku, lukisan-lukisan Claude Monet rasanya lebih menyentuh. Mungkin karena kesannya lebih lembut dan romantis, sementara lukisanmu kadang misterius dan sedih. Tapi Vincent, aku selalu ingin mengenalmu lebih dari aku ingin mengenal Monet. Entah kenapa. Mungkin karena kau terlihat eksentrik dengan topi jerami dan pipa itu, mungkin karena kau memotong telingamu sendiri, atau mungkin karena kau bilang kau bunuh diri.
Kau memang tidak mengenalku, Vincent. Tapi kau perlu tahu, di masaku ini, setiap orang yang jatuh cinta dengan lukisan tahu siapa kau. Meskipun begitu, aku tidak mengenalmu dari galeri seni. Aku justru pertama kali mendengar namamu dari dari Josh Groban. Lagu-lagu pemuda bersuara bariton ini banyak mengisi hari-hariku ketika aku berusia belasan. Dia menyanyikan satu lagu lama yang kemudian menjadi salah satu kesukaanku. Judul lagu itu seperti namamu, dan lagu itu juga menyebut-nyebut salah satu lukisanmu, lukisan tentang bintang-bintang yang dulu kau lukis di asilum St. Paul, jauh di pelosok St. Remy-de-Provence, Perancis. Dari semua lukisanmu, aku paling suka dengan lukisan itu.
Gambar dipinjam dari sini |
Jadi sebelum aku berangkat ke Eropa, aku sudah memutuskan aku harus kembali ke Amsterdam dan mengunjungi museum yang menyandang namamu. Ini adalah harapan no. 8 di daftar bucket list yang pernah kubuat.
Akhirnya awal tahun lalu aku bisa mengunjungi tempat itu dan masuk lebih dalam ke hidupmu. 'Vincent, mengapa kau memutuskan mati?' adalah pertanyaan yang aku bawa ketika aku memasuki museum yang terletak di Paulus Potterstraat 7, Amsterdam, itu. Kau yang melukis keindahan ladang gandum, rangkaian bunga matahari dan ranting-ranting almond blossom pasti mengerti bahwa dunia ini tidak separah kelihatannya. Tapi hidupmu mungkin memang berat. Kau banyak melukis tapi sepanjang hidupmu hanya ada satu lukisan yang terjual. Kau juga mungkin merasa menjadi benalu karena hidup bergantung pada adikmu. Entahlah, Vincent. Kadang aku merasa aku terlalu naif memandang dunia ini.
Tentang karyamu, di museum ini aku tidak menemukan The Starry Night yang menjadi kesukaanku. Karyamu yang satu itu berada di kota, yang menurut Frank Sinatra, tidak pernah tertidur. Ya, dia ada di New York, Amerika Serikat. Pernahkah kau membayangkan lukisanmu akan melakukan perjalanan ke tempat sejauh itu? Menurutku tidak. Kau tahu, aku belum pernah mengunjungi kota itu dan sebelumnya aku tidak punya alasan untuk kesana. Tapi untuk melihat lukisanmu itu, aku pikir aku perlu menginjakkan kaki di kota itu suatu hari nanti.
Tapi bahkan tanpa melihat The Starry Night, rumah karyamu di Amsterdam itu sangat menarik. Aku membutuhkan waktu tiga jam lebih untuk menikmati setiap lukisan, membaca setiap keterangan dan merenungi semuanya.
Di lantai pertama aku dikejutkan dengan lukisan-lukisanmu yang cenderung gelap. Aku tidak tahu apapun tentang teknik melukis, walaupun aku tahu aku penggemar aliran impresionis dan pasca impresionis. Aku tidak begitu mengerti tentang permainan cahaya atau bayangan atau sapuan kuas. Aku hanya merasakan warna dan tema. Aku merasakan cerita yang ada di dalamnya. Tapi sungguh, Vincent, melihat lukisanmu yang berubah, aku tahu dirimu juga berubah. Paris mengubahmu, memberi warna dan cerita-cerita baru pada kanvasmu. Bahkan kelemahan jiwamu juga memberi ruang pada ekspresi-ekspresi baru di karya-karyamu.
Aku tahu, pada akhirnya ini adalah tentang melakukan apa yang kau benar-benar kau sukai.
Tapi, Vincent, mengapa kau memutuskan mati?
Karena ketika aku membaca surat-suratmu untuk ayah, ibu dan kakak-kakakmu, aku menemukan pria yang perhatian dan lembut hati. Mereka masih memiliki manuskrip surat-suratmu itu. Kau menulis surat secara berkala, kadang dalam bahasa Perancis kadang bahasa Belanda. Kau menceritakan hari-harimu di Perancis, apa yang kau lihat, apa yang kau rasa. Aku suka pilihan katamu, Vincent. Tahukan kau kalau kau sangat deskriptif? Mungkin karena ini pula kau bisa membuat lukisan yang begitu kaya.
Jadi, sekali lagi, mengapa kau memutuskan mati? Dan mengapa kau membawa misteri kematianmu itu sampai ke dalam kubur?
Karena, tahukah kau, ada anggapan saat itu kau tidak bunuh diri. Orang bilang, ada segerombolan anak-anak yang bermain dengan pistol dan tanpa sengaja menarik pelatuknya hingga pelurunya menembus tubuhmu. Kau terlalu lembut hati untuk membiarkan anak-anak itu menjadi penyebab kematianmu.
Jadi, karena itukah kau memutuskan mati? Untuk membawa rahasiamu sendiri?